Selasa, 15 Agustus 2017

Mimpi 400 Kopi

Saya ini orangnya seneng kalo disuruh nyemangatin atau memotivasi orang lain. Tapi kalo udah menyangkut diri sendiri, saya suka minder. Berbicara soal penerbitan buku La Storia: Kumpulan Cerita Menarik AC Milan Era Berlusconi yang sudah rilis akhir Juli lalu, saya juga mengalami hal yang sama.

Sejak akhir tahun 2016 saat kami mulai sering ketemuan untuk ngobrolin sepak bola dan hal-hal kurang penting lainnya, Syakib, si penerbit buku Kawos Publishing sering meminta saya untuk mempublikasikan buku. Padahal, saya sama sekali tidak merasa punya kapasitas untuk itu. Tapi ketika kami sering ngobrol tentang dunia penerbitan buku dan dunia literasi (tsaaahh), lama kelamaan saya ikuti juga sarannya. Gak ada ruginya kok dicoba, pikir saya waktu itu.

Februari 2017, saya pun mulai mengumpulkan materi tulisan. Beberapa materi sengaja saya ambil dari entri lama blog pribadi dan beberapa tulisan yang pernah saya kirim ke media-media daring. Setelah itu, tulisan saya perbaharui seperlunya, lalu saya gabungkan dengan tulisan-tulisan baru, lalu saya susun berdasarkan tema. Dalam waktu tiga bulan, seluruh naskah rampung, dan saya kembali kepada Syakib.

Tanpa banyak revisi dan komentar, Syakib dan juga Bang Ucup (Andibachtiar Yusuf) menyetujui naskah, lalu kemudian bergeraklah saya mencari teman yang lain untuk membuat desain sampul buku. Untungnya, saya kenal baik dengan Galih Satrio, desainer berbakat yang karyanya sudah go International (dikontrak oleh sebuah media dari Prancis, man!).

Untungnya lagi, kerjasama dengan Galih sangat mudah karena orangnya memang gak ribet. Hanya bermodal percakapan via ponsel, kami ngobrol soal tema buku, konsep sampul, lalu beberapa hari kemudian dia sudah kembali dengan beberapa konsep. Setelah saya kirimkan konsep itu kepada penerbit, mereka tinggal memilih salah satu, lalu kemudian buku siap masuk percetakan. Penerbit memutuskan mencetak 1.000 kopi buku.

Sebelum lebaran, buku naik cetak. Momen ini digunakan penerbit untuk mulai berpromosi. Buku siap dipesan lewat mekanisme PO (pre-order), yang baru akan sampai ke tangan pemesan kurang lebih sebulan setelahnya. Pada fase inilah pesimisme saya kembali muncul. Saya lalu bertanya kepada Syakib, berapa eksemplar penjualan yang dibutuhkan untuk setidaknya “balik modal”, yang kemudian dia jawab “Cukup 400 kopi.”

Dari angka itulah, saya mencanangkan target penjualan 400 kopi buku. Minimalis aja, toh waktu saya menerbitkan buku Piala Dunia bersama Gagas Media tahun 2014, buku itu hanya laku 200an kopi saja.

Setelah lebaran, saya dapat kabar kalau terjadi keterlambatan dari pihak percetakan, yang berimbas pada molornya waktu terbit hingga dua minggu. Saya merasa gak enak dong sama yang udah pesen. Kebetulan, saat itu yang sudah pesan sekitar 100 orang, jumlah yang juga saya gak sangka karena pre-order baru dibuka sekitar dua mingguan.

Bantuan lalu datang dengan masuknya beberapa reseller. Kebetulan, mereka memiliki banyak ‘massa’ dalam bentuk follower di akun media sosial yang mereka kelola. Hasilnya cukup tokcer, karena dari salah satu reseller saja, pemesanan mencapai lebih dari 200 buku. Saya makin kaget karena jumlah ini belum termasuk pemesanan yang dilakukan oleh basis kelompok suporter Milan, yaitu Milanisti Indonesia. Lewat pertemanan Bang Ucup, kerjasama dengan Milanisti Indonesia terealisasi, dengan hasil 400 orang memesan buku saya. Kira-kira setelah pre-order ditutup, sudah ada 800an pemesan yang membeli buku saya. Wow, dua kali lipat dari target awal yang saya canangkan!

Pasca ditutupnya pre-order, ternyata penjualan tidak berhenti. Masih ada beberapa pemesan lain yang menghubungi pihak penerbit, lalu kemudian dalam waktu kurang dari sebulan setelah pre-order ditutup, ternyata buku sudah habis. Syakib kembali menghubungi saya untuk mengabarkan bahwa cetakan kedua tengah dipersiapkan. Rencananya, 500 kopi akan dicetak untuk memenuhi animo pembeli yang masih berdatangan.

Saya masih tidak menyangka, ternyata penjualan buku sederhana hasil dari kesan-kesan saya mendukung Milan selama lebih dari 20 tahun telah dibaca 1.000 orang. Pemesannya pun hadir dari seluruh wilayah Indonesia. Dari tab mention akun Twitter, beberapa pembeli memfoto buku saya dari daerah tempat tinggalnya masing-masing. Memang kebanyakan masih di wilayah Pulau Jawa dan beberapa lagi di Sumatra, tapi ada pula beberapa pemesan dari wilayah tengah dan timur Indonesia seperti Alor, Palopo, hingga Papua.

Khusus Papua, saya memiliki kesan tersendiri. Kebetulan, Ricardo Salampessy, pemain sepak bola profesional yang bermain di Persipura bersedia menuliskan kata pengantarnya di buku saya. Karena hal inilah, dia kemudian memfollow akun twitter saya! Ketika saya hendak mengirimkannya dua kopi buku, saya pun berkomunikasi dengan dia via whatsapp, juga sempat berbicara via telepon. Gara-gara buku sederhana ini, saya jadi kenal sama pemain tim nasional!

Ini bukannya mau pamer atau gimana. Apanya yang mau dipamerin kalau terealisasinya buku ini lebih karena faktor pertemanan saya dengan para penerbit, bukan karena materi buku yang cemerlang. Karena di buku ini, saya memang lebih banyak membagikan kesan dan membangkitkan memori. Saya yakin sekali kalau ada banyak penulis yang lebih hebat dari saya, juga pengalamannya lebih banyak. Lalu ketika buku ini mendapat sambutan luar biasa, ini pun karena faktor pertemanan Bang Ucup yang sangat luas, hingga bisa mempromosikan buku ini secara tepat sasaran.

Anyway, rilisnya buku ini memberi saya motivasi. Motivasi untuk terus belajar, terus membaca, terus menonton, mengamati dan menghayati setiap pengalaman yang saya dapat. Siapa tahu saya bisa menelurkan karya-karya berikutnya, malah bisa jadi di luar sepak bola. Jika harus menerbitkan buku kedua, tentu saja pembaca mengharapkan pengalaman berbeda, syukur-syukur memberikan manfaat. Karena banyak sekali orang yang mengalami sindrom karya kedua. Begitu banyak karya musik yang cemerlang pada album pertamanya, tetapi melempem di album kedua, hal yang sama juga berlaku di dunia film.

Berawal dari mimpi 400 kopi (ala-ala Mimpi Sejuta Dollar gitu lah), saya pun akan berusaha terus berkarya. Dan karena keinginan menghasilkan karya ini selalu ada, maka tugas saya adalah terus meningkatkan kualitas di segala lini, juga menambah pertemanan dengan banyak pihak yang memang memberikan manfaat.


Kenapa Saya Tetap Gunakan Twitter

Saya udah sering ketemu teman dari sesama Gen-Y yang udah gak main media sosial Twitter. Kebanyakan dari mereka sekarang ini lebih sering berekspresi di Path, Instagram, atau malah balik lagi ke Facebook. Saya gak nanya alasannya kenapa sih, tapi kalo yang Saya duga, kebutuhan berekspresinya aja yang udah berubah.

Di Path, walaupun sekarang udah ada iklannya, kita bisa memposting aktivitas kita bahkan ke hal-hal paling remeh seperti tidur jam berapa, juga mempercantik status dengan #pathdaily. Jumlah teman yang dibatasi membuat Path terasa lebih personal, lalu konten-konten yang ada di dalamnya lebih ringan, dan sepertinya inilah yang menjadi nilai lebih yang dicari-cari.

Instagram, yang kini hanya kalah jumlah penggunanya dari Facebook dan Youtube sebagai platform social networking, juga menawarkan hal lain kepada para Gen-Y. Berjamurnya akun-akun produk begitu memanjakan para Gen-Y yang sedang tinggi hasrat berbelanjanya.

Lalu bagaimana dengan Twitter? Siapa yang bisa tergelak dan tergerak dengan barisan kata-kata yang hanya terdiri dari 140 karakter? Hanya berbentuk tulisan pula, tidak pakai meme lucu. Mengunggah gambar dan video juga dirasa kurang asik di Twitter, karena ya Twitter itu terlalu massal. Kecuali jika kita gembok akun Twitter supaya hanya di-follow oleh orang-orang yang kita mau, follower di akun kita itu bermacam-macam orang, dan saya rasa sih follower Anda gak akan tertarik juga melihat foto selfie yang sedang makan bakso kuah saat hujan turun. Alasan kita mem-follow seseorang atau sebuah admin di Twitter, menurut saya lebih karena kebutuhan akan informasi, bukan kepengen tahu kisah personal.

Dilihat dari tampilan, Twitter juga sangat old fashioned. Fungsi Twitter yang paling hebat paling dibuatkan chirpstory, tentu membatasi tendensi para netizen budiman yang senang berkomentar atas segala sesuatu, walaupun yang bukan pada bidang keahliannya.

Tentang banyaknya yang kembali ke Facebook, Saya sih melihat alasannya karena di platform ini, para netizen Gen-Y bisa dengan leluasa membagikan apa saja di wall teman-temannya, terutama pandangan politiknya. Dengan mantra “Feel free to unfriend/unfollow kalo gak nyaman”, dan dengan motto “pilihan saya paling benar dan yang lain salah”, para netizen garis keras yang juga membela suatu golongan dengan militan ini merasa enak-enak saja untuk mem-posting konten yang mengamini pemikiran mereka.

Tapi buat saya sih, Twitter tetap paling nyaman. Selain karena kesederhanaan dan kemudahan menggunakannya tadi, tetap saja berita-berita yang berseliweran ini lebih cepat saya dapatkan dari Twitter. Selain itu, karena memang sudah lama menggunakannya, saya juga sudah follow akun-akun yang memang asik, juga beberapa “teman Twitter” yang asik diajak ngobrol. Well, di Twitter juga banyak yang snob dan sok tau sih, tapi untungnya ada fitur “Mute”, dan untuk beberapa orang yang emang bener-bener bikin males, saya bakal unfollow. Dan alasan terakhir, di Twitter ini saya gak di-follow sama saudara atau teman kantor! Itu penting banget demi kebebasan nge-twit. Hahaha.

Rabu, 02 Agustus 2017

Di Indonesia, Kita Tidak Boleh Kehilangan

Andibachtiar Yusuf, atau dikenal dengan nama panggilan Ucup, seorang sutradara film dan penggemar fanatik sepak bola, baru saja merampungkan bukunya yang berjudul Menjadi Indonesia. Tanpa bermaksud jadi spoiler, salah satu dari kumpulan esai pendek itu berisi tentang pengalamannya membandingkan penanganan kehilangan barang antara di Indonesia dengan negara-negara yang lebih maju dan teratur seperti Jepang.

Ucup menceritakan bahwa jika kita kehilangan barang saat berada di negara Jepang, maka kita tidak perlu khawatir karena kemungkinan besar bahwa barang kita itu akan kembali secara utuh. Saya juga pernah mendengar cerita dari teman yang lain yang juga pernah mengunjungi negeri Matahari Terbit itu. Ia pernah melihat sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan tanpa ada seorangpun yang berani menyentuhnya. Jangankan ngambil, megang aja enggak! Lalu menurut informasi yang dia dapat dari orang-orang, ponsel berjenis iphone itu nantinya akan diambil kembali oleh pemiliknya, karena ia akan mudah saja melacak melalui aplikasi pelacak ponsel hilang. Selain itu, CCTV juga ada di mana-mana, dan jika Anda nekat mengambil iphone itu, maka siap-siap saja diciduk polisi. 

Meski demikian, orang-orang Jepang ini tentu saja sudah tahu bahwa mengambil yang bukan haknya adalah kejahatan. Dan tanpa adanya ancaman penangkapan, mereka sudah tahu kalau iphone itu bukanlah miliknya, jadi mereka tidak akan mengambil. Itulah keteraturan, dan begitulah ciri sebuah negara yang beradab.

Tentu sulit membandingkan negara-negara maju itu dengan Indonesia. Malah bisa jadi sepuluh jilid buku sendiri untuk itu. Tapi ya memang benar, di sini tuh memang harus ekstra waspada. Semenit saya barang kita tinggal tanpa pengawasan, maka sudah berpindah tangan secepat kilat. Saya sendiri sering mendengar cerita tentang hilangnya ponsel teman saya akibat dia kelupaan meninggalkannya di toilet kantor. Padahal, toiletnya ada di kantor, bukan di tempat umum.

Sementara saya juga pernah mendapatkan pengalaman yang tidak kalah ngenes. Ketika sedang terburu-buru, saya melupakan ponsel yang saya tinggal di atas mesin ATM di sebuah minimarket modern di Depok, dekat dengan rumah saya. Sepuluh menit setelah saya menyadari, ponsel itu sudah raib, dan ketika saya lacak melalui aplikasi, ponsel telah berpindah 10 km ke arah Ragunan! Hebatnya lagi, mas-mas petugas minimarket yang saya minta tolong untuk mengakses CCTV, kerjanya sungguh lambat luar biasa. Dia meminta izin kepada saya untuk mengecek komputer CCTV dari dalam kantor, lalu kembali ke saya 30 menit kemudian hanya untuk mengabarkan bahwa ia tidak bisa memutar balik (rewind) CCTV karena ia lupa password! Kompetensi dan komitmen mas-mas ini betul-betul tiada banding! Benar-benar layak dihadiahi penghargaan sebagai karyawan teladan seumur hidup, dan benar-benar layak tampil di TV nasional untuk menerima hadiah sepeda dari bapak presiden!

Sebetulnya dia menawarkan bantuan lain, yaitu mengakses lewat CCTV yang ada di mesin ATM, tapi dia langsung membeberkan berbagai keruwetan khas birokrasi, yang mana saya harus mengisi Berita Acara ini-itu, melapor kepada si itu dan si anu. Apa saja ia katakan untuk membuat saya mengurungkan niat. Hebat betul, kan?

Ya, saya memang akhirnya mengurungkan niat, dan si mas-mas itu akan melanjutkan hidup dengan membawa serta keteladanannya dalam bekerja, sambil mengunyahi produk mecin, menenggak multivitamin berkarbonasi satu pak sehari, dan memberi komentar cerdas pada artikel politik di Facebook. 

Selain karena ponsel yang hilang itu bukan jenis iphone yang mahalnya naudzubillah, saya juga telah memblok data-data ponsel saya, termasuk melakukan reset password semua akun media sosial yang saya punya. Tidak lupa, saya pun mengikhlaskan kehilangan ini sembari berharap si maling mendapatkan hidayah karena bela-belain segitunya ngambil ponsel yang harganya sungguh tidak seberapa!

Tapi tetap saja, ini menunjukkan sisi bobrok kelakuan rakyat yang suka maling dan gak jujur, karyawan toko yang gak kompeten dan gak mau susah, dan segala perangkat keamanan yang hanya jadi pajangan.

Setelah membaca buku Ucup dan membandingkannya dengan situasi sehari-hari, rasanya memang benar bahwa Menjadi Indonesia bukanlah hal yang gampang. Kita harus waspada pada barang milik sendiri, karena kalau sudah ketinggalan, agak sulit rasanya berharap ada orang berhati budiman yang sukarela mengembalikannya kepada kita. Saya malah pernah dengar cerita teman saya yang kehilangan STNK motor, lalu si penemu STNK mendatangi rumahnya untuk mengembalikan, tetapi terus terang meminta imbalan dengan jumlah besar. "Yah, masih lebih murah kan mas, daripada ngurus STNK baru di Samsat?" Betul-betul potret manusia yang memiliki sifat tulus, ikhlas, ridho, berjiwa perwira yang layak dilestarikan serta namanya diabadikan sebagai nama kantor Samsat. 

Jangan pula berharap banyak pada sistem yang ada, karena biasanya cuma pajangan doang.  

Saya tidak bilang tidak ada orang seperti itu di Indonesia ya, tidak maksud melakukan generalisasi. Hanya saja sangat jarang.