Senin, 27 Maret 2023

Si Paling Jepang

"We don't know what we've got 'til it's gone."

Itu kata-kata yang sudah biasa kita baca. Jangan-jangan di truk Pantura juga ada grafitinya.

Coba yang lain. 

"Kita tidak pernah tahu hal yang benar-benar diinginkan sampai kemudian merasakannya sendiri."

Mungkin itu yang gue rasain ketika bulan lalu berkunjung ke Jepang. Sebelumnya, Jepang gak pernah masuk bucket list negara yang ingin gue kunjungi. Buat gue, negara ini sebatas memori masa kecil lewat cerita-cerita anime maupun dramanya. Bagian dari invasi budaya besar-besaran sebelum kini tentara budaya ber-skin care Korea Selatan mengambilalih. Tapi saat justru gak semua yang diinginkan bisa tercapai, yang gak terlalu diinginkan malah dapet.

Ya namanya juga lyfe...

Dari dulu, gue bukan si traveller. Berjalan cepat di bandara, berkumpul di keramaian atau mendatangi destinasi wisata populer yang penuh dengan manusia masih kalah menarik ketimbang chill di kamar sambil dengerin musik metal atau dengerin cerita serem atau pengalaman lucu orang-orang di Spotify atau Youtube.

Wisata pantai? Rasanya nongkrong berjam-jam di pinggir pantai yang terik sambil foto kaki nginjek pasir bukan kegiatan favorit gue buat chill. Vitamin sea? Wah, apalagi itu. Gue yang nyebur kolam aja ogah, apalagi nyebur ke laut. Lo bisa bilang gue si anti air deh.

Mendaki gunung? Tidak, saya bukanlah Ninja Hattori. Buat gue, naik gunung itu (apalagi yang gak terlatih dan cuma ikut-ikutan) adalah bentuk mencari bahaya dan jadinya malah ngerepotin orang. Kalo cuma jalan-jalan santai ke daerah pegunungan sambil makan Indomie dan jagung bakar sih masih ok lah.

Pilihan lain yaitu city tour masih kerap gue lakukan, tapi ya terbatas sekali. Hak cuti yang diberikan kantor pada kenyataannya sulit digunakan dengan maksimal. Sekalinya cuti, pasti diiringi rasa tidak tenang, yang akhirnya cuma bisa liburan sebentaran banget. Kalo cuma sehari-dua hari menjelajahi sebuah kota, rasanya kurang eksplorasi. Alhasil, jadilah gue gak benar-benar menaruh minat lebih untuk travelling sebelum pensiun dari kerja.

Tapi perjalanan ke Jepang bulan lalu boleh jadi sedikit mengubah pandangan gue terhadap banyak hal. Tentang negara itu sendiri dan tentang travelling

Kesempatan mengunjungi Jepang tiba-tiba datang. Kantor tempat bekerja mengadakan outing karyawan ke luar negeri pada awal tahun 2023. Sedianya, kami akan berangkat ke Turki, namun karena pihak travel mengabarkan potensi badai salju pada tanggal keberangkatan, terpaksa tujuan dialihkan. Berkat kerja keras dari tim panitia, akhirnya malah jadi berangkat ke Tokyo.

Gue bukan wibu, alias golongan penggemar budaya dan cara hidup orang Jepang yang memang unik itu. Apresiasi gue terhadap Musik dan film Jepang pun ada di level yang biasa-biasa aja. Sebelum berangkat, gue jadinya berekspektasi akan mengunjungi sebuah negara maju, sibuk, padat, dan ramai di mana-mana. Buat kaum introvert, sepertinya akan melelahkan secara sosial.

Singkatnya, kami sekantor mendarat Bandara Internasional Narita. Di tempat kedatangan turis yang berjarak sekitar 3 jam dari pusat kota Tokyo ini, gue seperti merasakan dunia yang benar-benar berbeda dalam segala hal. Kelelahan fisik dan sosial segera terganti dengan banyak pengalaman baru.

Matahari emang bersinar terang, tapi angin dingin menusuk tulang. Suhu sisa-sisa musim dingin tentu cukup menantang bagi kita-kita orang tropis yang biasanya baru pergi ke daerah Lembang aja udah kedinginan. Untungnya udah siap dengan pakaian-pakaian winter sonata season yang tebal dan ngabisin ruang koper.

Vending machine atau mesin penjual minuman otomatis jadi hal yang cukup menarik perhatian. Gak nyangka aja ada vending machine berisi banyak pilihan minuman yang begitu gampang digunakan. Bukan hanya menyediakan minuman dingin, tapi juga hangat. Maap kalo norak. Narik duit Yen juga ternyata bisa dilakukan di Seven Eleven, tau gitu ngapain banyak-banyak nukar duit dari Money Changer di Jakarta..

Begitu menaiki bus yang mengantar ke pusat kota, gue yang sebetulnya masih ngantuk karena gak bisa tidur di pesawat malah batal tidur. 

Pemandangan baru ini sangat sayang untuk dilewatkan. Mobil-mobil yang tertib adalah hal ternyaman yang gue lihat. Rasanya hampir gak terdengar sahut-sahutan klakson atau pekik amarah dari sesama pengendara mobil, juga gak ada motor boti alias bonceng tiga. Meski umumnya orang Jepang nyetir dengan kecepatan tinggi, tapi gak ada pengemudi ugal yang saling memotong jalan, menyelak antrian, putar balik sembarang, parkir sembarang, lawan arus, atau berperilaku gagah-gagahan lainnya yang biasa kita lihat di negara Konoha.

Dilihat dari bentuk bangunan, ternyata kota yang dulunya bernama Edo ini gak futuristik-futuristik amat. Memang kota megapolitan berpenduduk 37 juta jiwa ini sudah lama dibangun dan ditata. Beberapa gedung di kawasan Sudirman, Kuningan atau SCBD bahkan terlihat lebih menarik ketibang sejumlah bangunan tinggi di Tokyo yang terlihat agak jadul. Bedanya, ya tata kotanya lebih rapi. 

Belum lagi bicara keteraturan lain. Gue lihat sendiri kebiasaan mereka berbaris, mengantre, menjalankan semuanya sebagai sebuah order in chaos, sekaligus jaga kebersihan. Benar-benar bangsa yang mengagumkan. Makanan dan minuman? Tentu saja kesempatan makan tempura, sushi, salmon sashimi, teriyaki, katsu atau karage langsung di tempat asalnya adalah kisah menarik buat diceritain, walaupun gue tetep kangen ketoprak yang berantakan dan bubur ayam yang asin pedes gurih.

Kerapian dan keteraturan bangsa Jepang khususnya orang Tokyo ini punya sisi lain lho. Dari tulisan-tulisan orang asing yang sempat berkunjung atau menetap di Jepang, mereka bilang kalau orang Jepang punya cara pandang yang agak secluded alias kurang peduli dengan dunia luar. Imbasnya, mereka bangga dengan bangsa sendiri (yang mana adalah hal wajar pada titik tertentu) dan cenderung memandang negatif para gaijin atau orang asing kayak kita gini. Istilahnya xenophobia, kalo kata orang-orang di disiplin Ilmu Sosial.

Apa iya seperti itu?

Emang sih, orang Jepang terbiasa hidup di lingkungan yang bisa dibilang homogen. Suku bangsa asli mereka yang paling banyak diketahui orang mungkin hanya Yamato, Ainu, atau Ryukyu. Bahasanya pun sependek pengetahuan gue juga tidak banyak berbeda, hanya aksaranya (Katakana, Hiragana, Kanji) yang berbeda namun serupa secara fonetik.

Dalam periode kunjungan yang begitu singkat, gue malah gak terlalu melihat fenomena ini. Yang ada, mereka cenderung cuek kepada kami para gaijin. Artinya, gak ada pandangan-pandangan aneh dan sinis kepada kami... malahan mereka seperti tidak memedulikan aktivitas kami para turis yang sebentar-sebentar berfoto atau melakukan hal-hal norak khas turis pada umumnya.

Dari pengalaman langsung berinteraksi, justru mereka bersikap baik dan helpful ketika ditanya cara memesan makanan atau ditanya peron kereta yang benar. Para pengendara juga dengan senang hati memberi jalan kepada kami pejalan kaki, dan sebaliknya jika kami pejalan kaki membiarkan mereka lewat, mereka akan mengangguk dengan sopan. Ya mereka mungkin cuek, tapi gak seperti robot kok. 

Pada akhirnya, kota Tokyo memang punya banyak wajah. Modern dan mewahnya Ginza, meriahnya Harajuku menjadi satu dengan keasrian Taman Yoyogi dan tradisionalnya Kuil Meiji Jingu. Dari Nishi Kasai yang seperti Little India menuju Marunouchi yang SCBD banget, dari Asakusa yang seperti Pasar Baru dan distrik anime Akihabara yang begitu menyala dan berwarna, hingga Pasar Ikan Tsukiji dan kawasan orang tajir Roponggi Hills yang belum sempat dikunjungi. 

Belum apa-apa sudah bikin pengen balik lagi. Travelling ternyata gak buruk-buruk amat jika kita pergi ke tempat yang tepat. Memang betul sih keramaian Tokyo begitu cepat bikin batere sosial habis, tapi dengan menyendiri sejenak di kafe jadul Asakusa ternyata cukup membantu.

Ah, dasar Si Paling Jepang.

Jumat, 12 Maret 2021

Kelas Tiga Dua

Udah tahun 2021 masih ngeblog? Di Blogspot?

Mungkin akan terlihat sangat outdated, saat kebanyakan orang berdiskusi dengan riuh rendah di ruang virtual iOS 13 ke atas (baca: Clubhouse), atau menulis di penyedia layanan blog yang lebih baru dan segar macam Medium atau Wattpad. Tapi berhubung di Clubhouse sedang tidak ada hal menarik dan saya juga malas untuk membuat akun Medium ataupun Wattpad, ya sudahlah di sini saja.

Menulis pun sudah bukan lagi kegiatan yang sering saya lakukan. Alasan kesibukan, adanya writer's block, atau lebih suka menuangkannya dalam media lain menjadikan blog ini berdebu tebal, bahkan saya sampai sulit mengenali tulisan saya sendiri.

Sekarang sudah tahun 2021. Setahun sudah pandemi berlalu. Ketika melihat postingan para pengguna media sosial yang semakin absurd, mengada-ada, sok keras, tidak boleh bertanya umur, agama, hingga jenis kelamin bayinya yang baru lahir, saya pun merasa rindu untuk menulis lagi daripada ikut larut dalam sirkus yang sebetulnya bukan urusan saya itu.

Sebetulnya saya sedang tidak ada ide menulis, tetapi tiba-tiba salah seorang kawan lama sejak jaman SMP, yang sebut aja namanya Cumi, menelpon saya. Ngobrol singkat sekitar 10 menit dengan bapak tiga anak ini, pikiran saya melayang ke sekelompok teman-teman sekelas pada saat saya masih SMP, yaitu kelas 3-2.

Boleh jadi, kelas ini adalah favorit saya selama mengenyam bangku pendidikan formal. Saya memiliki memori yang masih cukup segar ketika diajak membahas kejadian-kejadian 25 tahun silam, dan seingat saya, di kelas inilah saya merasa segalanya masih menyenangkan.

SMP adalah masa-masa di mana kita mencoba berbagai hal baru. Beda banget dengan masa SMA yang sudah mulai dihantui pikiran macam-macam seperti mau kuliah di mana setelah lulus, atau apa yang harus saya ucapkan ketika berpapasan dengan sosok yang dikagumi. 

Di SMP, khususnya di kelas 3-2 ini, kami pun mengalami cerita lucu. Ada di antara kami yang melakukan eksperimen dengan bahan kimia seperti spirtus untuk bisa membuat api seperti pesulap. Ada yang memenangkan hadiah judi jackpot di terminal bus demi membeli sebatang cokelat untuk gebetan, bahkan ada dua orang kawan yang sampai tercebur ke selokan besar hingga basah kuyup hanya karena berebut petasan cabe rawit. Kalau peristiwa ini terjadi sekarang, mungkin mereka sudah mendapatkan jutaan view untuk kategori konten Kowe Tak Sayang-Sayang.  

Kami tidak akan lupa, ketika salah satu dari kami menyeletuk omongan bapak guru Bahasa Indonesia yang sedang mengajarkan peribahasa, atau ketika menguping kunci jawaban ulangan IPS di kelas sebelah, atau ketika kami mematahkan mata bor guru pelajaran tambahan Teknik Elektro akibat mengukir nama-nama panggilan kami di bangku dan meja kelas. 

Kami juga tidak pernah lupa ketika salah satu dari kami celananya robek ketika melakukan pemanasan di pelajaran olahraga. Oh iya, di pelajaran olahraga ini juga kepala kami pernah digebok pakai bola basket gara-gara ketahuan memotong jalan saat disuruh pemanasan mengelilingi sekolah. Tapi, kejadian ini tidak membuat kami semua mengadu ke orang tua. Selain itu, tidak akan ada cerita orang tua kami gantian melabrak atau melaporkan guru ke polisi gara-gara mereka memarahi atau menghukum kami.

Andaikan dulu sudah ada smartphone dan media sosial, mungkin kelas kami akan viral, baik karena keisengan atau kelucuan. Bedanya, dahulu tidak ada istilah "demi konten". Segala kenakalan itu memang apa adanya dan tanpa rekayasa. Tanpa didorong keinginan untuk eksis.

Saya pun mengingat satu persatu wajah kawan-kawan lama yang memorinya masih menyangkut di kepala saya. Beberapa di antara mereka sudah menikmati hidup dengan cara mereka sendiri dan sudah melangkah jauh dari masa lalu itu. Keisengan, kenakalan, atau kekonyolan sudah nyaris tidak ada lagi. 

Di usia yang sudah menjelang 40, kami mungkin telah menjadi bapak-bapak yang jokes-nya tidak lagi lucu, atau sudah menjadi mas-mas di kantor yang hobi menasihati anak-anak baru dengan kisah pelajaran hidup, atau menjadi mbak-mbak yang suka dengerin lagu lawas semodel Britney Spears, Avril Lavigne atau Sixpence None The Richer, yang kemudian heran ketika ada anak-anak kelahiran 90an akhir yang tidak tahu lagu-lagu sepopuler ini. 

Mungkin juga di antara kami sudah ada yang halaman rumahnya dipenuhi koleksi tanaman hias atau kolam ikan hias. Rasanya dengan begitu, sudah pasti sosok konyol, iseng, dan nakal waktu itu sudah berlalu dan berubah menjadi sosok yang penuh pertimbangan (baca: tua).

Melihat dan membayangkan itu semua, saya pun tersadar bahwa kini sudah waktunya kembali bekerja. Perjalanan memang masih panjang. Masih setengah jalan. Sebagian dari kami telah merintisnya sejak lama, sebagian lagi ada yang baru memulai, sebagian lagi baru berpikir untuk memulai. Tidak ada menang atau kalah dalam hal ini, karena semua orang punya linimasa dan pergumulan hidupnya masing-masing. Kecuali, mungkin bagi yang punya privilege.

Ketika hidup penuh dengan jejalan quotes jukstaposisi menyeramkan berupa "Don't waste your time or time will waste you" yang menggambarkan betapa kerasnya hidup, ketika semua email bertuliskan "urgent", ketika percakapan whatsapp penuh dengan pengingat tenggat waktu pekerjaan yang tiada akhir, dan ketika grup whatsapp penuh dengan pusaran informasi yang tidak semua tervalidasi, maka memori kelas 3-2 menyadarkan untuk sejenak berhenti memikirkan itu semua, sembari membayangkan betapa enaknya menjadi anak sekolah pada masa-masa itu. Kalau kata Padi Reborn, "Bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari.."

Ingatlah bahwa kita pernah ada di suatu era di mana kita masih bisa melakukan kesalahan tanpa khawatir berlebihan pada konsekuensinya. Pada era itu pula, kita hanya perlu sedikit khawatir memikirkan jalan pulang agar tidak ketemu tukang palak yang suka nongkrong di pos ronda perumahan. Yang suka melakukan bullying beramai-ramai kepada kita yang berjalan sendiri-sendiri.

Sabtu, 24 November 2018

Timnas Senior yang Berprestasi di Level Junior Namun Melempem di Level Senior

Tanpa bertanding, kiprah tim nasional (timnas) senior Indonesia dipastikan terhenti di babak penyisihan grup Piala AFF 2018. Kepastian ini diperoleh setelah kesebelasan Filipina berhasil menahan imbang Thailand dengan skor 1-1 pada hari Rabu (21/11). Dengan demikian, Indonesia yang baru meraih tiga poin dari hasil satu kemenangan atas Timor Leste dan dua kekalahan dari Singapura dan Thailand, tidak dapat mengejar poin Thailand maupun Filipina.
Kegagalan ini sebetulnya patut disayangkan. Pasalnya, Indonesia mengukir hasil-hasil positif dalam turnamen-turnamen kelompok usia muda sepanjang tahun 2018. Diawali timnas U-16 yang berhasil meraih gelar Piala AFF, lalu diteruskan timnas U-23 yang berhasil menembus babak 16 besar Asian Games, hingga timnas U-19 yang nyaris lolos ke Piala Dunia U-20 andai tidak dikalahkan Jepang. Penampilan bagus di Piala AFF 2018 bagi timnas senior semestinya dapat menjadi penutup yang manis yang dapat memberi afirmasi bahwa sepak bola Indonesia memang tengah bangkit.
Dengan kegagalan di Piala AFF 2018 ini, apakah dapat diartikan bahwa sepak bola Indonesia kembali jalan di tempat, atau malah mengalami kemunduran karena pada ajang yang sama tahun 2016, Indonesia berhasil melaju hingga ke babak final?
Kalimat-kalimat menghibur seperti “Timnas Indonesia mendapatkan pelajaran berharga dari pergelaran Piala AFF 2018” kurang tepat untuk digunakan pada kegagalan kali ini. Pasalnya, kalimat-kalimat sejenis inilah yang kerap kali diapungkan sebagai pelipur lara tiada guna setiap tim nasional menemui kegagalan. Pada kenyataannya, tidak ada pelajaran yang diambil, dan prestasi tim nasional senior tetaplah seperti ini.
Namun demikian, tidak adil apabila publik melampiaskan kekecewaan karena kegagalan ini kepada staf pelatih maupun pemain. Bagaimanapun, mereka telah berjuang dan bertarung dengan kemampuan terbaik. Jangan lupakan bahwa pelatih maupun pemain yang ada merupakan produk dari pembinaan dan kompetisi yang ada.
Berkaca dari dua hal tersebut, publik dapat menilai sendiri apakah PSSI selaku induk organisasi sepak bola Indonesia telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Terdapat beberapa hal yang cukup mengganggu persiapan tim nasional jelang Piala AFF bergulir, yaitu masih berlangsungnya kompetisi liga dan juga kepastian mengenai pelatih yang memimpin tim.
Idealnya, kompetisi liga sudah selesai ketika Piala AFF berlangsung, sehingga klub maupun pemain dapat berkonsentrasi penuh dalam mendukung agenda tim nasional. Namun apa daya, kita tentu ingat ketika proses dimulainya liga beberapa bulan lalu terus diganggu kejuaraan-kejuaraan seremonial penuh pencitraan tak berfaedah, hingga pelaksanaan liga diundur.
Permasalahan selanjutnya timbul terkait pelatih. Kepastian tentang status Luis Milla Aspas, pelatih yang membesut tim nasional sejak tahun 2016, baru didapat kurang lebih sebulan sebelum Piala AFF dimulai. Lagi-lagi, Milla menuding PSSI tidak profesional dalam menjalankan kontrak karena beberapa bulan menunggak gaji. Meski pihak PSSI belakangan mengungkapkan bahwa persoalan ini telah selesai, Milla sudah kadung kecewa. Target tinggi tetapi gaji telat dibayar? Bukankah upah harus dibayar sebelum keringat kering? Kalau prinsip sesederhana ini saja tidak paham, tidak usah berani deh pasang target tinggi.
Bima Sakti kemudian ditunjuk sebagai pelatih kepala setelah Milla tidak memperpanjang kontrak. Meski ia merupakan asisten pelatih asal Spanyol ini dalam dua tahun terakhir, namun karena minimnya pengalaman, hasil yang terlihat di lapangan pun terlihat. Permainan tim nasional Indonesia, meski terlihat masih menggunakan pendekatan yang telah diwariskan Milla, namun tidak menunjukkan kematangan taktik.
Hal ini terlihat jelas dari tiga laga yang telah dijalani, di mana tidak terdapat pergantian cara bermain untuk menanggulangi permainan lawan, karena yang semata dilakukan sebatas mengganti pemain yang ada dengan pemain yang berkarakter serupa. Febri Haryadi dan Irfan Jaya dirotasi dengan Riko Simanjuntak dan Andik Vermansyah. Hanya sebatas itu saja. Tanpa bermaksud mengecilkan peran Bima Sakti, dari sini barulah terasa betul hilangnya senetuhan dari Milla.
Meski demikian, publik patut melihat sisi positif bahwa terdapat kemajuan yang sebetulnya sudah diperlihatkan oleh timnas Indonesia, juga sepak bola Indonesia secara umum pada tahun 2018 ini, walaupun sedikit. Beberapa di antaranya adalah sudah kuatnya karakter permainan tim nasional dari segala kelompok umur. Tim nasional U-16 maupun U-19 sudah mampu bermain dengan sabar, penuh percaya diri, tidak lagi mengandalkan dribel yang heroik dan kutak-kutik terlalu lama, juga insting-insting naluriah tak terukur yang sejenis.
Namun tetap saja, kemajuan ini harus menular ke timnas senior. Di level senior inilah prestasi diharapkan datang, bukan di level junior. Pertanyaan klasik yang belum kunjung terjawab pun kembali mengemuka: Mengapa timnas Indonesia berprestasi di kelompok usia muda, namun jeblok di level senior? Dari situlah PSSI dapat mengevaluasi efektivitas kompetisi usia muda dan kompetisi liga profesional, pembenahan kualitas wasit, dan pendidikan pelatih. Karena prestasi timnas akan banyak tergantung dari efektifnya program-program itu.

Minggu, 14 Oktober 2018

Karena Jakarta Memang Keras

Beberapa waktu silam sempat baca thread di Twitter tentang kerasnya hidup di beberapa kawasan di Jakarta. Buat anak yang hidup normal dari kecil, lalu sekolah dengan bener, lalu dapet kerjaan di perkantoran mewah, mungkin hal-hal begini gak pernah ditemui, hanya sebatas dengar cerita orang lain. Buat yang kesehariannya kerja di kantoran mewah, lalu menghabiskan weekend nongkrong di mall besar, tinggal di perumahan mewah atau apartemen yang selalu dijaga satpam, mungkin kerasnya ibukota hanya mitos.

Tapi pasti ada aja lah pengalaman-pengalaman menyebalkan sekaligus ngeri-ngeri sedap meski hanya sesekali. Misalnya ketika kebetulan harus naik kendaraan umum karena suatu keperluan mendesak, ketika tidak sengaja berjalan melewati pasar atau terminal, ketika transit di stasiun untuk menuju ke suatu tempat, atau ketika terpaksa berjalan menyusuri titik-titik yang dikenal rawan kejahatan.

Tatapan-tatapan kosong tak bersahabat, maling-maling kelas teri yang senantiasa mengincar apa yang kita kenakan bagai gerombolan hyena, hingga polah preman yang memang selalu ingin mencari masalah. Inilah yang harus siap kita hadapi sebagai pengais rejeki ibukota.

Gua sendiri punya beberapa pengalaman soal itu. Gak banyak sih, dan mungkin buat elo yang baca, mungkin gak seberapa.

Preman di Stasiun Juanda
Banyak sekali kejahatan terjadi dengan latar belakang stasiun kereta. Waktu stasiun dan kereta rel listrik Jabodetabek belum serapi sekarang, gerbong kereta dan stasiun kereta adalah rumah bagi bermacam-macam orang. Pedagang asongan, pengamen, pengemis, preman, pengangguran, tukang parkir, anak punk, alay, anak sekolah, karyawan, orang tua. Ada pula suara tangisan bayi, pekikan emak-emak bercampur jadi satu dalam etalase komunal yang membikin hati tidak nyaman. Jangan pula coba-coba masuk ke toiletnya.

Waktu masih SMA, gue dan beberapa kawan pengen nyari sepatu di daerah Pasar Baru, makanya gue naik kereta sampai stasiun Juanda supaya ngirit ongkos dan waktu tempuh. Baru aja turun, suasana di stasiun udah bikin kewaspadaan meningkat. Bau pesing bercampur bau sampah makanan-makanan busuk sudah menyambut ketika baru melangkahkan kaki ke peron. Sejauh mata memandang, banyak gelandangan tidur di bangku besi atau bersandar seadanya di pilar-pilar. Lalu di tangga, banyak pengemis duduk berbaris. Di lantai bawah, ada sekelompok bapak-bapak main catur sambil memegangi puntung rokok yang sudah mau habis, sekelompok tukang ojek main gaple sambil teriak-teriak, anak-anak kecil berlarian sambil saling berteriak dengan makian kasar, juga preman-preman lokal yang memerhatikan penumpang yang baru turun.

Gue menangkap beberapa pasang mata preman itu mengintai kami, anak-anak sekolah lugu yang seperti mangsa lemah bagi mereka. Benar saja, ketika mendekati pintu keluar, salah seorang preman yang usianya seumuran kami memanggil-manggil dari kejauhan. “Woi! Woi! Anak mana lo pada? Ayo pada ke sini!” 

Sebuah panggilan familiar buat kami, anak-anak sekolah 90an yang sering menghadapi teror pemalakan dari anak sekolah lain atau dari preman sekolah yang sedang mencari jati diri. Kami mempercepat langkah. Si preman pemula tahu gelagat kami yang berusaha kabur. Tak mau kehilangan mangsa dan gagal dalam proses inisiasi di tongkrongan, dia mulai berlari kecil. "Senior-seniornya" hanya memerhatikan dari jauh. Mendengar langkah itu, kami bergegas masuk ke komplek pertokoan Pasar Baru yang ramai. Kami berhasil lolos, sementara si preman bau kencur itu mengoceh dan mengancam. “Awas lu pada nanti ye, gue tungguin lo di pintu keluar!”

Ancaman itu membuat perasaan tidak tenang. Kami lalu mencari-cari rute lain untuk jalan pulang dan memilih naik bus Patas AC buat pulang ke rumah.

Sopir Taksi Jagoan
Masih di stasiun, kali ini kejadiannya di stasiun Jatinegara. Gue bersama keluarga ketika itu baru pulang dari Surabaya. Bokap memang gak biasanya ngajak turun di stasiun ini, karena biasanya kami turun di Gambir. Alasannya lebih dekat menuju ke rumah. Kami pun mendapati suasana kumuh di stasiun itu, berbeda jauh dengan di Gambir.

Baru kami turun dan hendak mencari taksi, bapak-bapak paruh baya menawarkan ‘bantuan’. Ia lalu membawa kami ke sebuah taksi yang bukan Blue Bird. Ketika sampai, sopir taksi bermata sayu ini hanya diam saja. Ia tidak membantu membawakan barang, dan ketika kami masuk pun ia sama sekali gak tersenyum. Gue mulai merasa khawatir.

Keanehan berlanjut. Setelah menyalakan mesin, si bapak-bapak calo tadi mengetuk jendela sopir dengan kasar, yang kemudian dibuka dengan gestur malas dari si sopir sayu. Si sopir lantas mengeluarkan uang seribuan untuk si calo, yang langsung dibalas dengan gebrakan. “Kok cuman seceng? Kurang nih!” bentak si calo. “Ah bacot lo!” Si sopir taksi yang tadinya tak bersuara tiba-tiba berteriak seperti itu sembari melemparkan uang logam seratusan ke arah si calo dengan kasar. Gue yang duduk di kursi depan kaget, sementara bokap dan nyokap mencoba menyarankan si sopir untuk memenuhi permintaan si calo.

Tapi si sopir tetap bergeming. Ia malah bergegas jalan, kali ini sambil mengeluarkan makian selangkangan ke si calo, yang kemudian dibalas dengan pukulan ke body mobil. Taksi pun meninggalkan stasiun Jatinegara dengan tergesa, dan gue terdiam. Baru beberapa detik menginjakkan kaki di Jakarta udah ketemu beginian. Beginilah wajah asli kota ini.

Sepanjang jalan, si sopir taksi sama sekali gak mengajak ngobrol. Ia nampak masih kesal. Tambahan lagi, kelihatannya doi baru mengalami malam yang berat. "Mungkin baru ribut sama istrinya," batin gue. Cara menyetirnya jadi ugal-ugalan, tapi gue gak berani negor. Paling-paling hanya nyokap gue yang sesekali memekik karena ketakutan, dan bokap gue sesekali ngingetin dia untuk pelan-pelan. Tapi tetap aja si sopir jagoan ini gak menggubrisnya.

Untungnya, perjalanan ini berhasil kami lalui dengan selamat sampai di rumah. Nyokap pun langsung protes ke bokap. “Udah deh, lain kali turunnya di Gambir aja.”

DVD Binatang di Glodok
Dulu pas eranya DVD dan VCD, banyak yang berburu film porno di kawasan Glodok. Bener aja, pas gue ke sana bareng teman-teman, kepingan DVD bercover gambar porno ini sampai berkarung-karung banyaknya. Dijual murah pula di tempat emperan pinggir jalan. Kalo gak salah, harganya cuma 4 ribu rupiah per keping.

Ada satu teman gue yang tergoda untuk beli, tapi dia kemudian kecele karena begitu dipasang di pemutar film, isinya adalah video kehidupan aneka binatang, beda jauh dengan covernya. Padahal, tempat yang beneran jual film biru itu letaknya agak masuk ke dalam, dan film-film itu letaknya disamarkan dengan film-film normal lain. Harganya pun lebih mahal, di kisaran 10 ribu - 20 ribu per keping.

Anak Orang Kaya Manja Setan Jalanan
Pernah suatu kali gue pulang larut malam sekitar jam dua pagi karena harus menyelesaikan pekerjaan mendadak di kantor. Saat itu gue bawa mobil sendirian. Lagi enak-enak nyetir dengan kecepatan sedang di dekat Pasar Rumput, mobil di belakang gue main-mainin lampu dim. Gue waktu itu di ruas kanan. Bukannya dia lewatin gue dari kiri, dia malah terus main-mainin lampu jauh supaya gue yang minggir.

Karena lagi malas meladeni, gue pun mengalah dan minggir. Mobil geblek itu pun melewati gue sambil main-mainin pedal gas.

Tibalah gue di sebuah lampu merah, dan gak taunya mobil laknat itu sedang berhenti. Saat sejajar, gue sempat tengok ke kaca mobil itu, yang ternyata gelap. Gue gak mikir macem-macem sampai kemudian dia kembali mainin pedal gas. Norak banget, kaya anak kecil baru pertama kali nonton Fast & Furious.

Lampu berganti hijau, dia tancap gas dan ngebut. Gue cuma geleng-geleng lalu kembali ambil jalur kanan.

Eh gak lama kemudian, gue melihat lagi mobil sinting itu berjalan pelan di jalur kiri. Gue lewatin aja dong, walau pikiran mulai was-was. Bener aja, beberapa detik kemudian si jahanam kembali beraksi main-mainin lampu dim. Kali ini gue mulai kesel, dan gue bersikeras gak mau minggir. Gitu terus kejadiannya sampai lampu merah lagi. Dia kembali menyejajarkan mobilnya dengan gue, tapi tetep gak buka kaca, hanya main-mainin pedal gas.

“Dasar anak kecil cemen. Mungkin di sekolahnya dia terlalu sering kena bully kakak kelas.”

Dia pun terus melakukan itu. Mengintimidasi dengan lampu dim dan mengikuti gue sampai ke Depok! Gue pun berencana ngerjain anak ileran ini dengan membawanya ke daerah dekat rumah dan gue supaya dia kesasar biar tau rasa. Untungnya dia kayaknya udah bosen dan mungkin dia sadar karena udah main kejauhan. Mungkin juga udah ditelpon sama bokapnya yang nyariin mobilnya. Pas gue akhirnya belok ke arah jalanan dekat rumah, dia pun gak ikutan belok. Pastinya dia tersadar tiba-tiba sampai di planet Depok. Lumayan deh, gue jadi gak ngantuk, dan tanpa gue sadari, hanya setengah jam gue habiskan perjalanan dari kantor ke rumah, padahal biasanya satu jam lebih. 

Sebetulnya masih ada pengalaman-pengalaman unik lain. Contohnya: Sekelompok preman menyiram kaca dengan air sabun keruh dan memaksa minta duit, tukang parkir yang seenak jidatnya minta bayaran 20 ribu, pemotor yang nabrak spion tapi ketika diklakson langsung mengacungkan jari tengah, anak-anak kecil yang menunggui gue selesai makan lalu meminta sisa tulang ayam, aktivis kampus bohongan dengan jaket seadanya yang meminta-minta uang untuk membantu korban bencana, para pengemis yang menggunakan monyet untuk meminta-minta di dekat pintu tol, abang opang di kawasan industri yang terlihat gusar ketika tahu gue menggunakan ojek online, gerombolan berpeci yang menggetok mobil taksi yang gue tumpangi karena mereka anggap menghalangi jalan, mas-mas alim yang masih keranjingan judi bola, seorang mantan teman kantor yang dipenjara gara-gara menggelapkan uang klien, expat mantan kantor yang hobi bawa mbak-mbak idabul ke dalam ruangan kerjanya, sopir taksi bapak paruh baya yang dikasih tau jalan malah ngeyel dan marah-marah gak jelas, sopir ojek yang ngajak ngobrol terus-terusan ujung-ujungnya minjem duit dan ugal-ugalan ketika gak dikasih pinjem, penjaga toko yang judes dan sering ribut soal uang kembalian, operator pom bensin yang ngakalin meteran bensin, operator pintu tol yang sengaja ngejatohin uang kembalian, mekanik bengkel yang suka nawarin suku cadang "belinya lewat saya aja, mas", sopir taksi yang marah ketika uang kita kegedean, sopir taksi yang ngoceh gak habis-habis ketika diminta mengantar ke jalan tembus yang sempit, motor yang lewatin trotoar dan lebih galak ketika ditegor, preman komplek sok galak di komplek (tapi cemen di luar komplek), pak ogah yang memaki ketika gak dikasih uang, tukang parkir minimarket yang menyumpahi tabrakan ketika gak dibayar oleh seorang ibu-ibu motor matic, peminta sumbangan bermodal map lusuh dan kertas entah asli atau bohongan, pengamen yang cerita baru keluar dari penjara, mbak-mbak penjaga toko baju metal yang minta nomor henpon, tukang tambal ban yang menolak kerjaan dengan alasan sudah malam, bapak-bapak yang pura-pura salah ambil tas di restoran, bapak-bapak yang asal ambil koper di bagasi bandara, bapak-bapak komplotan copet henpon di angkot, dan lain-lain. 

Bad souls di Jakarta inilah yang ikut membentuk Jakarta yang keras. Mereka di sekitar kita, dan karena itu kita harus 'sadar ruang'.

Minggu, 23 September 2018

Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar

Pada suatu sore yang sejuk, gue sudah berseragam lengkap di pinggir lapangan sepak bola. Mamang manajer tim meminta gue bersiap-siap untuk masuk. 

"Dit, sana pemanasan, bentar lagi elu masuk," pintanya. 

Gue pun bersiap mengenakan sepatu berwarna putih yang sudah kesempitan, juga kaus kaki yang tidak standar karena terlalu pendek. Kardus air mineral pun gue sobek untuk gue jadikan pelindung kaki karena gue gak bawa. Gue pun bangkit melakukan pemanasan seperti layaknya atlet betulan sambil sesekali menengok ke arah penonton yang mulai membludak. Seperti ingin menyapa mereka, atau sekadar melambaikan tangan seperti seorang superstar. Tapi niat itu gue urungkan, dan itu sama sekali tidak gue sesali.

Tapi sejurus kemudian, ketika si Mamang bersiap menyerahkan secarik kertas pergantian pemain untuk diberikan kepada panitia pertandingan, gue mendadak berubah pikiran.

"Bang, gue kagak jadi main deh."
"Lah, emangnya ngapa?"
"Kagak ngapa-ngapa, ngasih kesempatan aja buat yang muda-muda"

Mamang manajer yang juga didampingi Pak RW pun hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan gue ini. "Ah elu. Bisanya ngeles doang." Gue pun nyengir-nyengir.

Mungkin ini telat banget, tapi ketika selangkah lagi melangkah ke lapangan, tiba-tiba gue seperti kembali ke dunia nyata. 

Pikiran kembali ke kubikel kantor, laptop, dan ordner. Bayangan kehidupan monoton penuh dengan kepura-puraan itu. Tapi ya namanya juga butuh.

"Kok bisa-bisanya di umur segini gue melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat saat berakhir pekan. Badan mulai melebar dan memasuki fase degeneratif, rapor merah di medical report...bisa-bisa gue ambrol di tengah lapangan. Hmm, tapi gue harus sok cool dan gak banyak omong soal ini." Pikir gue dalam hati.

Gue pun kembali duduk, melepas sepatu, mengganti kaus, membeli telor gulung dan menyesap kopi sachet (gak mau main bola, tapi makan sembarangan. Sama aja dong, Maleehh), lalu menikmati jalannya pertandingan sebagai penonton. Nyaring sekali terdengar suara pemandu pertandingan berlogat Betawi-Depok yang begitu kocak terdengar. Juga terdengar sayup-sayup pekikan dan teriakan emak-emak yang khawatir anaknya kena sleding. Man, betapa indahnya sore itu. Kadang, elo hanya harus menikmati hal-hal kecil untuk mengadapi permasalahan besar seputar menjadi orang dewasa. Kejujuran, spontanitas, dan tertawa lepas memang obat mujarab setelah sehari-hari jaim dan bermain peran menghadapi orang-orang, yang sebetulnya tidak ingin kita hadapi.

Tapi hal ini juga membuat gue berpikir keras. Sepuluh-lima belas tahun lalu, gue bisa memohon-mohon untuk bisa main di lapangan ini di hadapan banyak orang, tapi ketika kini kesempatan itu datang, gue malah melewatkannya. Agaknya, impian ini sudah lama terevisi, dan kejadian ini hanya memberi afirmasi saja.

Gue tahu, saat itulah gue sudah kehilangan sebuah kehilangan besar. Ini senada dengan judul sebuah artikel bucin dari buku serial Chicken Soup yang gue baca pada tahun 90an akhir. Sebuah cerita yang intinya tentang cowok yang nyesel karena gak berani ngajak jalan gebetannya. Kala itu, gue membaca artikel itu untuk meyakinkan diri dan berani mendekati gebetan. 

Dan, gue sekilas menertawai diri kenapa dulu sempat jadi bucin. Untung aja gak sempat jadi seperti si Bujang Rimba, yang sering muncul di iklan pas lagi nonton Youtube itu.

Balik lagi ke soal hilangnya sebuah kehilangan besar tadi, gue baru sadar bahwa gue kini sudah sangat kehilangan rasa kehilangan tidak main sepak bola. 

Menjadi dewasa telah membunuh keinginan-keinginan lain yang dulunya mudah saja untuk dilakukan. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak pikiran ini-itu, yang padahal belum tentu terjadi. Tidak lagi mau bermain bola semakin menegaskan hal itu. 

Pada akhirnya, gue punya versi sendiri tentang "Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar." bedanya, ini bukan lagi soal bucin seperti dulu. Lebih gawat lagi, ini sudah seperti membuang separuh jiwa jauh-jauh demi mempertahankan eksistensi sebagai a professional pretender.


Minggu, 16 September 2018

Mobius, Gagalnya Sebuah Honey Trap

Buat yang doyan dengan film-film spionase namun kental dengan drama dan percintaan, film Mobius (2013) bisa menjadi pilihan. Gue baru nonton film ini semalam ketika ditayangkan di TV kabel, dan karena serunya film ini, gue sampai rela melewatkan sebuah pertandingan Serie A Italia pada jam yang sama.

Spionase memang sebuah kegiatan rahasia pemerintah untuk tujuan tertentu. Yang terlibat dalam praktik ini bukan orang-orang sembarangan. Meski hanya tahu dari film, namun tentu saja ini menggambarkan kenyataan yang ada. Film mungkin memberi terlalu banyak bumbu untuk kepentingan penikmatnya yang memang menantikan sebuah pertunjukan, dan bahkan bumbu-bumbu ini kadang mengalahkan esensi dari filmnya. Ibarat masakan, kadang sambalnya lebih utama ketimbang daging atau ayamnya. Tapi di Mobius, unsur drama dari sebuah operasi honey trap saja sudah jelas akan mengalahkan tujuan utama dari operasinya. Di sini, justru intrik dan roman dari dua tokoh, yaitu Gregory Lioubov dan Alice Redmond menjadi inti dari film.

Dilihat dari nama, sudah jelas asal muasal dari kedua tokoh ini. Gregory adalah seorang Rusia dan Alice adalah seorang Amerika. Cerita di film ini mengisahkan romansa terlarang yang terjalin antara dua kutub yang berbeda haluan dan tujuan.

Akan tetapi karena mereka berdua berada dalam naungan dua agensi besar, FSB dan CIA, kisah cinta ini berubah dari hubungan sembunyi-sembunyi menjadi sebuah honey trap. Seperti diketahui, honey trap adalah sebuah taktik yang lumrah digunakan dalam praktik spionase, yaitu meminta agen menyamar dan bahkan mengizinkannya terlibat dalam hubungan emosional dan intim dengan salah satu orang penting dari lawan demi memperoleh informasi-informasi yang sifatnya rahasia, yang tujuan akhirnya tentu saja melucuti dan melumpuhkan lawan.

Awalnya, keterlibatan dua agen ini adalah untuk menyelidiki seorang oligarki Rusia, Ivan Rostovskiy. Berlatar Eropa (Monako, Moskwa, London), film ini juga menyajikan tiga bahasa untuk dialog, yaitu Prancis, Rusia dan Inggris. Rostovskiy dicurigai atas kegiatan-kegiatannya pencucian uang dan kejahatan transaksi finansial.

Gregory dan Alice awalnya berada di pihak yang sama. Alice, seorang ahli finansial yang mengklaim seorang diri meruntuhkan Lehman Brothers ke dalam krisis, juga pernah meramalkan krisis terhadap negara Spanyol, adalah seorang Amerika yang dilarang bekerja di negaranya karena keruntuhan Lehman Bros yang ia sebabkan. 

Ia kemudian diminta untuk menyelidiki Rostovskiy oleh FSB, yang juga bekerjasama dengan agensi Monako dan Prancis. Alice yang memang memiliki pesona, lantas membuat Rostovskiy terpikat dan malah ingin merekrutnya. Rostovskiy bahkan tertarik secara romansa juga kepada Alice. Ketika Alice dianggap tidak terkendali dan malah membahayakan misi, pimpinan FSB meminta Gregory untuk ikut menyeldiki Alice.

Ketika akhirnya Gregory menemui langsung Alice, ia langsung merasakan hal yang lain. Ternyata hal itu juga dirasakan Alice. Singkat cerita, mereka pun melakukan hubungan terlarang dan sering sekali bertemu. Dan ternyata lagi, keberadaan Alice juga dimanfaatkan oleh....CIA. 

Kisah ini kemudian berkembang lebih jauh, di mana keterlibatan CIA yang juga memiliki keinginan untuk menangkap Rostovskiy. CIA pun mengintai dari jauh misi ini bagaikan seekor singa yang sabar dalam mengincar mangsanya. Dalam misi ini, CIA juga melihat peluang lain, yaitu menyabotase FSB. Situasi inilah yang kemudian membuat Alice berdiri di dua pijakan, alias menjadi agen ganda.

CIA pun mengorkestrasi operasi menjadi sebuah honey trap. Mereka menggunakan Alice untuk menyabotase FSB lewat Gregory, padahal Alice juga tidak tahu bahwa Gregory adalah agen FSB. Alice sendiri tidak tahu bahwa hubungan romansanya dengan Gregory dimanfaatkan oleh CIA, karena yang ia pahami adalah bantuannya kepada CIA akan membersihkan namanya di kampung halamannya, tanpa ada sangkut pautnya dengan Gregory atau FSB.

Honey trap ini memang berhasil menyabotase FSB, di mana reputasi pimpinan teras FSB tergerus akibat keterlibatannya di saga Rostovskiy ini. Tapi bagi Alice dan Gregory, honey trap ini ternyata tidak menghalangi romansa yang telah mereka jalin dengan penuh emosional. Pada akhirnya, tagar #lovewins juga berlaku di film ini, di mana hubungan keduanya berlanjut meski awalnya berbeda kubu. Api romantisme ini sukses dikipas-kipasi oleh sutradara Eric Rochant di antara konflik geopolitik tingkat tinggi dan transaksi-transaksi finansial yang bisa meruntuhkan sebuah perusahaan besar atau sebuah negara besar.

Minggu, 05 Agustus 2018

Si Doel The Movie: Galeri Realita Yang Bukan Nostalgia Belaka

Saat para lelaki jomblo akut termehek khusyuk di atas flyover atau di tangga darurat karena 'modus-modusnya' tak kunjung meluluhkan hati para gebetan, Bang Doel malah ikut termenung dan menangis di atas trem yang membawanya ke pusat kota Amsterdam. Padahal, Bang Doel berada di antara dua wanita cantik, Sarah dan Zainab, yang sama-sama mencintainya dengan tulus. Kenapa mesti kaya begitu, Bang Doel? Kok jadi ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi? 

Kira-kira begitulah premis ngasal yang saya pertanyakan kepada Bang Kasdullah, atau dikenal dengan Doel, anak Betawi asli, mantan penarik oplet yang akhirnya sampai juga ke ibukota Belanda, negara yang juga episentrum filosofi Total Football yang termahsyur itu.

Doel yang kembali muncul mewarnai khazanah perfilman Indonesia setelah empat belas tahun lamanya menghilang (tidak pakai istilah purnama, seperti film yang satunya lagi itu), memang pintar sekali menarik minat penonton 90an yang begitu haus dengan yang namanya nostalgia. Berangkat dari serial 'pendobrak' yang mewarnai masa kecil tontonan berkualitas anak-anak 90an, Si Doel pun menjadi idola. Bukan hanya bagi anak Betawi, tapi juga bagi sebagian anak-anak Indonesia.

Film Si Doel sedari dulu memang menawarkan bumbu utama tragedi dan kesedihan, yang tentu saja diselingi komedi dalam bentuk pemarahnya Mandra, liciknya Mas Karyo, genitnya Engkong Ali, dan slebor-nya Atun. Tragedi yang disiarkan memang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Meninggalnya Babe Sabeni, berantakannya percintaan Mandra dengan Munaroh, cinta Koh Ahong kepada Zainab yang terus bertepuk sebelah tangan, hingga kabur-kaburannya Mas Karyo setiap mendengar suara kang kredit panci yang datang menagih hutang.

Kini setelah 14 tahun berlalu dan kembali dalam bentuk film layar lebar, Doel pun masih menawarkan bumbu yang sama. Sebelumnya, saya kasih spoiler alert dulu ya, tapi memang sulit menuliskan komentar film ini tanpa menyebutkan inti ceritanya. Yang jelas,  kemalangan, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, hingga kelucuan yang ditimbulkan Bang Mandra masih menjadi bumbu-bumbu lezat di film ini. Namun jangan khawatir, ada satu lagi tambahan konflik dan haru-biru bagi Bang Doel, yaitu tentang kegetiran hubungan ayah-anak yang terpaksa harus dipisahkan benua dan samudera.

Doel memang masih menjadi potret anak Betawi membanggakan. Diceritakan sebagai satu-satunya anak Betawi yang 'mentas' di kampungnya, dalam artian mampu menyelesaikan kuliah sampai tingkat sarjana, yang oleh Babe Sabeni disebut sebagai 'Tukang Insinyur'. Doel juga mampu 'menyingkirkan' para pesaing dalam memperebutkan posisi di sebuah perusahaan yang bonafide, dan Doel mampu memperistri seorang wanita cantik keturunan Eropa yang kaya raya. Sebuah versi American Dream dari seorang anak Betawi.

Meski kehidupan telah membawanya jauh dari penarik oplet menjadi seorang insinyur lepas, Doel tetap rajin sembahyang dan megaji hingga di negeri Belanda sekalipun. Doel juga masih sering merenung, pola pikirnya makin filosofis, tindak-tanduknya selalu dipikirkan, dan ia juga makin berkharisma. Perangai dan pembawaan seperti inilah yang kemudian membawanya kepada persoalan yang bittersweet dengan dua wanita cantik sekaligus. Sarah dan Zainab sama-sama mencintainya dengan tulus, meski terlihat jelas hati Doel lebih berat ke Sarah.

Penonton pun diajak menyelami sendiri jalan cerita yang terjadi selama empat belas tahun terakhir. Dalam waktu nyaris dua windu ini, banyak sekali yang sudah berubah, yang kemudian makin menambah bumbu tragedi dan kesedihan dalam film. Bang Mandra yang masih membujang dan jadi pengangguran, Atun yang jadi single mother setelah ditinggal mati Mas Karyo, Mak Nyak yang sakit keras, Koh Ahong yang masih aja ngejomblo meski pabrik batako miliknya makin berkembang, hingga Hans dan Doel yang bernasib sama: ditinggal isteri masing-masing.

Balutan tragedi ini bercampur aduk dalam satu bingkai film, yang dengan apik dipaparkan sepanjang kurang-lebih 90 menit lamanya. Menjadikan film ini seperti layaknya galeri realita yang harus dihadapi dengan perjuangan yang tangguh, alih-alih mempertontonkan hegemoni dan hedonisme. Meski berlatar di Amsterdam, namun Hans dan Sarah diperlihatkan memiliki kehidupan pekerja atau usahawan biasa, bukannya sebagai gambaran orang kaya Eropa yang bebas plesiran dan mem-posting makanan enak, karya seni nan eklektik, bangunan kuno Eropa yang kaya akan sejarah, atau suasana pedesaan yang kental nuansa folk seperti halnya gambar dalam kemasan-kemasan produk makanan atau minuman mereka. 

Seperti yang Hans bilang kepada Doel ketika melihat Doel yang asyik menikmati kota, Hans pun mengungkapkan sebuah potret realita. Ia yang sebagai penduduk asli di Amsterdam sudah tidak bisa lagi menyelami kedamaian dan keindahan kotanya sendiri, seperti yang Doel rasakan sebagai turis. Bagi Hans dan jutaan penduduk Amsterdam lainnya, jika malas, maka ia akan tergeser dan tertendang. Amsterdam tidaklah ubahnya Jakarta, ibukota yang lebih kejam daripada ibu tiri.

Doel pun tidak digambarkan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Katakanlah, ia belum mampu memanjat hingga tangga tertinggi di korporasi yang bengis, dan mungkin karena idealismenya, ia memilih bekerja sendiri sebagai tenaga ahli lepas. Doel juga mungkin menjalani hidup seperti kita-kita, yang hidup sebagai bagian dari sandwich generation yang harus menanggung beban bukan hanya untuk keluarga kecilnya, tetapi juga keluarga besar. Mungkin karena alasan inilah, plus karena Emaknya sakit keras, Doel masih tinggal di rumah orang tuanya, bukannya di rumah sendiri yang dicicil dengan program KPR berjangka panjang sekaligus berbunga mencekik seperti yang dialami kebanyakan kita-kita ini, tidak pula mengemudikan mobil Jepang mewah kreditan, malah menggunakan jasa taksi daring ketika berangkat ke bandara.

Tapi dari perspektif film, bisa saja memang kehidupan Doel sengaja dibuat masih menempel dengan masa lalunya. Rumah yang sama, oplet yang sama, warung yang sama. Hanya saja kini Mandra sudah dibikinkan kamar di belakang rumah, tidak lagi dibiarkan tidur di oplet atau bale sambil dinyamukin. Karena Mandra pula, film ini jadi seru dan lucu. Mandra yang multi-talented namun underrated ini memang berjasa besar menyemarakkan film. Bahkan, Mandra tidak hanya menunjukkan kekonyolan yang bikin malu Doel seperti halnya saat ia cuek mengenakan sarung di depan Bandara Schipol. Dalam satu bagian, Mandra juga berubah menjadi sosok paman yang mengemong Doel yang masih saja tidak bisa bersikap tegas kepada wanita-wanita di sekelilingnya meski sudah jadi bapak-bapak. Mandra seolah ingin mengembalikan jati diri Doel sebagai anak Betawi, yang harusnya tetap bersikap santai dan tidak berpikir terlalu berat ketika sedang dirundung masalah.

Tanpa Mandra dan celetukannya, film ini memang hanya nostalgia belaka. Tapi dengan Mandra, film ini membungkus nostalgia yang penuh makna sekaligus canda.