Rabu, 30 September 2015

Apa Yang Salah Dari Menjadi Karyawan?

I.
Bangun jam empat pagi, berangkat satu jam kemudian. Si kecil masih tertidur. Di jalan, ketemu macet. Sampai di kantor ketemu atasan yang cerewet. Pulang teng-go, atasan kembali mendelik, tapi kerja lembur pun buat apa. Toh kerjaan memang tidak selesai-selesai. Sampai di rumah, anak sudah terlelap.

Ah saatnya akhir pekan. Ajak anak bermain di mall yang sejuk. Belikan mainan, buku bacaan dan makanan enak. Dua hari berharga ini ya cukup lah mengganti kurangnya quality time karena harus bekerja.

Memasuki tanggal 20, saldo rekening semakin tiris. Pulsa handphone hampir habis, ban motor sudah tipis, minuman air lemon diganti jeruk nipis. Sabar, seminggu lagi gajian. 

Akhirnya gajian. Hamdallah. Eh baru berapa detik gajian, aneka cicilan dan iuran telah meng-autodebet rekening. Ditambah lagi pengeluaran rutin lainnya. Seketika, gaji telah hilang dua pertiganya.

Lalu pada akhir tahun, resah menunggu bonus. Atasan kembali memanggil, kali ini ia terdengar lebih bijak daripada motivator. Ia memotivasi dan selalu meminta kita bersyukur, padahal intinya mau memberi tahu jika kenaikan gaji dan bonus tahun ini tidak sebesar sebelumnya.

Tak terasa, setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun berlalu. Masa pensiun di depan mata. Rumah sih sudah lunas, tapi si kecil kini sudah besar. Kebutuhannya makin banyak. Baru kemarin minta dibelikan laptop, sekarang minta dibelikan tablet. Untuk keperluan kuliah, katanya.

Dan kita sudah bisa menakar berapa uang pensiun kita dari besarnya gaji sekarang dan prosentase kenaikan gaji tahun-tahun mendatang. Memang cukup besar, tapi sepertinya tidak cukup besar untuk membiayai hidup dan menikahkan anak. Ah, mau tidak mau, berpikir ulang untuk memulai bisnis. Untuk menyambung hidup. Padahal, sudah tua dan ingin bersantai.

Beginilah kehidupan seorang karyawan alias corporate slave. Sudah kerja keras, di jalan kena macet, diomeli bos, dibayar pas-pasan, pensiun pun tidak seberapa. Pilihan hidup yang salah, ya?

II.
Mengapa tidak memilih profesi lain? Mengapa nyaman, mengapa mau dininabobokan, mengapa rela terus menjadi alas kaki dan orang suruhan? Mengapa mau saja diminta melakukan yang orang lain minta, jika hasil yang didapat toh tidak seberapa?

Mengapa tidak menjadi penulis produktif yang menerbitkan buku untuk menggerakkan revolusi, atau membuat band yang menyuarakan kritik sosial, atau menjadi pembuat film indie, atau menjadi aktor idealis, atau menjadi atlet nasional. Atau... menjadi aktivis, kritikus, atau setidaknya... menjadi singa di media sosial?

Mengapa tidak menjadi pendidik generasi muda, atau menjadi tokoh masyarakat yang mengayomi, atau menjadi pemuka agama yang dihormati?

Mengapa tidak menjadi pengusaha? Selain untungnya lebih besar, juga membuka lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi orang lain.

Setidaknya merdeka, tidak menjadi kacung.

III.
Terkekang dan tidak bebas mungkin menjadi alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang tidak mau menjadi karyawan. Tidak bisa bangun siang, tidak boleh datang telat, dan harus terjebak dalam sistem bukanlah cara hidup yang enak.

Tapi sejatinya, apapun pekerjaan kita, apakah benar kita merdeka sepenuhnya? Mungkin kita tidak punya atasan dan tidak punya obligasi untuk datang tepat waktu ke kantor, tapi pastinya kita tetap dibebani target. Ada sistem dan aturan main yang harus diikuti, hanya saja bentuknya yang berbeda.

Misalnya kita membuka warung bakso di garasi rumah. Kita tetaplah dibebani kewajiban membayar gaji karyawan dan beban operasional lain. Selain itu, tentu saja kita mengambil untung agar kita bisa makan. Apakah semua itu bisa dilakukan sembarangan tanpa aturan dan sistem? Apakah kita bisa membuka warung semaunya, lalu kita tutup saat kita malas berjualan? Kan enggak juga.

Sama halnya ketika kita menjadi musisi, penulis atau aktor. Sudah pasti ada ‘pihak yang lebih berkuasa’ yang meminta kita untuk memenuhi target tertentu. Ada editor, sutradara, produser, manager, bahkan penggemar yang harus didengar permintaannya karena memang itu yang harus dilakukan agar kegiatan tetap berjalan. Bahkan andai memilih untuk berada di jalur independen, tetap saja kita ‘terbebani’ untuk memenuhi keinginan orang lain.

Teman saya yang seorang pengusaha pun, nyatanya sering bekerja hingga larut malam di kantor sewaannya demi menyelesaikan sebuah proyek. Selain memenuhi kepuasan diri, tentu saja ia melakukan ini demi kepuasan klien. Hal yang sama juga berlaku untuk pekerjaan 'non-kantoran' yang lain.

Entah anda karyawan atau bukan, kita sama-sama bekerja untuk orang lain, atau setidaknya untuk kepentingan yang lebih luas, bukan untuk diri anda sendiri. Ini hanya masalah pilihan hidup dan preferensi. Tidak lebih dari itu.

IV.
Berbicara soal pilihan, saya melihat beberapa faktor cukup berpengaruh pada pilihan hidup seseorang. Saya kenal seseorang yang tidak mau kerja kantoran. Dia memilih untuk mengelola klinik milik keluarga. Dulu sih dia pernah kerja kantoran, tapi gak tahan karena sering dimarahi bos. Dalam hal ini, saya berkesimpulan bahwa dia memiliih untuk hidup selow karena merasa ortunya udah tajir melintir dan untuk itu gak perlu berusaha keras seperti kebanyakan orang.

Ada juga yang memilih untuk tidak kerja kantoran karena preferensinya (dan ketidaksukaannya) pada ideologi tertentu. Ya, kalo itu sih biar saja kita kembalikan kepada masing-masing orang.

Bukan bermaksud mencari pembenaran, tapi menurut saya tidak ada yang salah dari menjadi karyawan kantoran. Jadi karyawan itu seperti belajar hidup. Kita belajar untuk diinjak-injak orang, tidak digubris orang, dijadikan 'sapi perah' supaya kita tidak sombong dan mau belajar. Bahwa di satu sisi masih banyak orang yang lebih pintar daripada kita, dan di lain sisi masih banyak yang begitu bersyukur bisa diterima sebagai pegawai kantoran karena keterbatasan skill yang dia punya.

Yaaa, dunia kerja kantoran memang penuh dengan orang-orang brengsek yang senang sikut-sikutan demi mendapat simpati dari atasan, demi besarnya jumlah bonus dan insentif.

Menjadi karyawan juga bisa membuat kita miskin empati, dan hanya peduli pada kubikalnya saja. Seorang karyawan kerap kehilangan ketajaman pikiran karena terbiasa mengerjakan hal sama bertahun-tahun. Menjadi penghuni zona nyaman yang sudah pasti akan kelabakan jika diminta melakukan hal yang di luar kebiasaan.

Tapi banyak juga kok yang hidupnya tertolong oleh perusahaan. Tertolong karena menjadi karyawan. Ada seorang karyawan yang sejak muda sudah terserang stroke, tapi perusahaan membiayai pengobatannya dan tetap mempekerjakannya hingga ia pensiun. 

Ada juga teman saya yang lima belas tahun lalu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, tapi diterima kerja oleh sebuah perusahaan sebagai tenaga admin, lalu dia dibiayai kuliahnya oleh perusahaan dan kini dia merintis jalan sebagai seorang lawyer.

Oke, yang barusan itu terdengar seperti versi kesekian dari konsep American Dream, tapi yang sulit pun banyak. Dan baru saja, saya bersalaman dengan seorang office boy yang pensiun setelah 35 tahun bekerja di perusahaan. "Saya cuma lulusan SMP, alhamdulillah kantor ini mau mempekerjakan saya dalam waktu yang lama. Walau banyak anak muda, tapi saya dipertahankan sampai pensiun."

Hidup seorang karyawan seperti itu. Monoton, robotik, membosankan dan tidak dihargai. Tapi buat sebagian besar orang, itulah satu-satunya pilihan hidup. Tidak ada salahnya menjadi karyawan, seperti halnya tidak ada salahnya menggeluti profesi lain.

Selasa, 15 September 2015

Bahaya Kesempurnaan

Baru-baru ini saya melihat postingan yang cukup mengena, dan akan saya sadur dengan tulisan yang kurang lebih seperti ini:

I.
Beberapa orang menjalani hidupnya dengan lurus, gak neko-neko, dan tanpa kesusahan berarti.

Sebut saja si A. Ia terlahir dari orang tua yang kaya. Bukan hanya kaya, tapi juga terpelajar, terpandang, terkenal dermawan, alim dan santun.

Sudah bisa ditebak, hidup si A selanjutnya amat lurus dan halus. Nilai sekolahnya baik, diterima di universitas favorit, lalu mendapatkan IPK tinggi. Sesudah lulus, ia dengan mudah diterima kerja di perusahaan besar.

Perempuan pun ngantri untuk menjadi pasangannya, dan akhirnya ia memilih wanita cantik, sehat, pintar juga sukses. Seperti dirinya. Sebelum memasuki usia 30, mereka menikah.

Setelah menikah, mereka langsung menempati rumah sendiri. Hubungan si A dengan mertua berjalan baik, dan vice versa dengan pasangannya. Dan betapa bahagianya karena mereka langsung dikaruniai momongan. Bukan hanya satu, tapi dua. Anak-anak mereka pun tumbuh sehat, dan mereka dididik dengan baik. Ketika mulai bersekolah, anak-anak mereka amat cerdas dan berprestasi.

Si A tidak pernah mengeluh di media sosial. Lha memangnya apa yang mau dikeluhkan? Foto-foto di media sosialnya adalah sebagian dari koleksi mobil-mobil mahal miliknya.
Lalu mereka kerap berlibur ke destinasi wisata dunia. Amerika Serikat, Eropa, Asia, Antartika (eh..). Dan ketika anak-anak sudah tumbuh remaja, si A dan pasangan menunaikan ibadah haji. Dan selang beberapa tahun, mereka sekeluarga besar menunaikan ibadah umrah.

Si A juga seorang pria setia. Tidak pernah melirik wanita lain sedikitpun dalam hidupnya. Sama halnya dengan pasangannya. Tidak heran, rumah tangga mereka adem ayem jauh dari keributan.

Hidup yang sempurna bukan? Ya, secara garis besar begitu. Memang ada pertengkaran, friksi dan sedikit beda pendapat. Semisal, tahun ini berliburnya ke pantai bukannya gunung, atau soal mengganti pajangan lampu kristal yang menurut si A sudah usang tapi menurut istri malah klasik. Atau semacam pertimbangan apakah si kembar akan bersekolah di Harvard atau Oxford. Atau, tentang si kembar yang rebutan mobil Audi ketika mereka mau pergi ke rumah teman.

Friksi-friksi semacam itulah.

Kehidupan seperti ini, coba tanyakan kepada diri anda sendiri, apakah anda menginginkannya? Saya bertaruh bahwa seperti inilah kehidupan yang sebagian besar dari kita inginkan.

II.
Tapi coba lihat bahaya terselubung dari kehidupan seperti ini. Katakanlah ada si B, salah satu teman sekolah si A yang kehidupannya begitu bertolak belakang.

Si A memang pandai, dan karena itulah ia selalu mendapat nilai yang baik semasa sekolah, dan juga karir yang cemerlang. Si B sebaliknya. Ia tidak dikaruniai otak encer dan rezeki sebanyak si A. Si B tidak pernah mendapat pekerjaan tetap. Apa komentar si A soal si B?

"Ah emang dasar si B aja orangnya males." 

Si A memang begitu mudah mendapat jodoh, yang cantik dan pintar seperti Shizuka pula. Bagaimana dengan si B? Jodohnya bisa dibilang telat, itupun dijodohkan orang tuanya. Lalu apa komentar si A?

"Hahaha. Ya wajar lah orang macam si B mana ada yang mau?? Masih untung dia dijodohin, akhirnya nikah juga deh."

Si A begitu cepat mendapat anak, lalu bisakah ia menahan diri untuk tidak mencibir teman-temannya yang susah mendapat anak? Ok, mungkin untuk yang satu ini bisa. Lalu ketika melihat anaknya si B yang kurang berprestasi, bagaimana komentar si A?

"Tuh liat, bapaknya aja kaya begini, gimana bisa ngedidik anak? Udah lihat nilai raport si kembar? Nanti saya pajang deh di semua akun media sosial saya."

Si A begitu akur dengan mertuanya, vice versa dengan pasangannya. Lalu mampu gak si A untuk tidak meledek si B yang kerap bermasalah dengan mertua? Si A malah berkomentar begini:

"Harus bisa dong mengambil hati mertua. Tapi ya emang susah sih kalo masalahnya ekonomi."

Si A memiliki media sosial yang enak dipandang, atau.. ehm.. bikin iri. Tapi mampukah ia menahan diri untuk tidak mencibir koleksi ikan cupang milik si B?

"Udah gede masih aja maen ikan cupang! Harusnya tuh koleksi otomotif! Kayak gue!"

Si A begitu sering pergi ke luar negeri bersama keluarga. Begitu banyak negara mereka jelajahi. Lalu mampukah ia menahan diri untuk tidak pamer? Dan mampukah ia untuk tidak mengomentari liburan si B yang hanya ke Kebun Raya Bogor atau Kebun Binatang Ragunan?

"Oi! Emangnya gak bosen ke situ-situ doang?"

Si A juga begitu alim. Ia tidak sulit melangkahkan kaki untuk sholat di awal waktu dan berjamaah, juga melakukan sholat sunah, sholat tahajud, hingga bersedekah, berzakat dan berhaji. Dan segala bentuk ibadah lainnya. Lalu mampukah ia menahan diri untuk tidak riya, tidak menulis status yang memamerkan ibadah. Dan.. Apakah dia mampu menahan diri untuk tidak mencibir si B yang kualitas ibadahnya masih amat jauh di bawahnya?

"Woi! Solat apaan luh udah jam segini? Kaya gue dong kalo solat itu tepat waktu!"

Terakhir, si A begitu setia. Lalu mampukah ia menahan diri untuk tidak mencibir si B yang suka ngegodain tetangga rumah sebelahnya? 

"Lo emang gatel ya! Emangnya lu kepengen kaya si C yang bercerai? Lihat tuh, mempertahankan rumah tangga aja dia gak mampu!"

III.
Tanpa sadar, kita melakukan ini. Saya juga masih melakukan sebagian dari tulisan di atas, kok. Sebagai manusia, memang sudah sifat dasarnya yang ingin dipuji orang, senang dibilang berhasil. Senang disanjung padahal yang kita perlihatkan (terutama di media sosial) adalah sisi yang baik-baik dari kehidupan kita.

Sebaliknya kita kadang dengan entengnya menilai dan mengomentari kehidupan orang lain, padahal kita tidak cuma tahu sedikit. Kita dengan mudahnya mencibir sebuah persoalan padahal kita keliru melihat konteksnya. Ngomong emang gampang.

Kita amat mudah membanggakan apa yang kita punya. Anak, istri/suami, kekayaan, jabatan, pekerjaan, koleksi barang, gelar, kualitas ibadah, bahkan lingkar otak. Dan tidak jarang kita menganggap rendah orang yang memiliki sebaliknya.

Ah, betapa tidak mudahnya menjadi manusia, bukan? Kata orang, kefakiran dekat dengan kekafiran. Tapi ternyata, kesempurnaan juga dekat dengan itu, bukan?

Apa Yang Salah Dari Obrolan Haha-Hihi?

Beberapa kali, pertemuan atau acara nongkrong dengan seorang teman batal terlaksana. Sebabnya, bagi saya cukup mengejutkan. Dia bilang: Ini mau ngomongin proyek besar atau cuma haha-hihi?

Atau jika dalam sebuah grup whatsapp, ada saja yang protes jika terdapat percakapan haha-hihi. “Ini ngomongin apaan sih? Gak penting. Emang gak pada kerja? Kenapa gak posting hal-hal yang bermanfaat?”

Saya hanya terdiam jika mendengar jawaban seperti itu, meski dalam hati tertawa. Tertawa iba. Man, kalo mau cari yang penting, buka aja email kantor. Kalo mau cari yang bermanfaat, ya nonton aja video motivasi.

Di era modern ini, orang-orang sepertinya terlalu serius. Waktu adalah uang, percakapan harus penting, pertemuan harus membahas proyek dan ide-ide besar. Segala tindak-tanduk seperti harus diukur dengan manfaat. Kalo gak ada untungnya buat dia, ya buat apa didatengin?

Baiklah, kawan. Mengerjakan sesuatu yang berguna, yang penting, yang bernilai, yang bermanfaat, yang ‘ada duitnya’ akan membuat kita (tampak) keren.

Tapi, tidakkah kita semestinya bisa menikmati hal-hal kecil di balik proyek-proyek besar yang sudah terbiasa dikerjakan dari balik meja kerja dan ruang meeting? Salah satu poin dalam catatan penting Si Colombus dalam fim komedi zombie, Zombieland, menyebutkan bahwa kita perlu “Enjoy Little Things”. Lalu dalam salah satu skena, muncullah adegan Colombus bersama Wichita, Tallahassee, dan Little Rock memporak-porandakan sebuah toko suvenir indian hingga berantakan. Lalu selepasnya, mereka terkekeh puas.

Kita yang sudah terbiasa dengan pekerjaan robotik keteraturan jadwal, tenggat waktu, atau target tentu saja sesekali membutuhkan situasi senggang. Sejenak bebas dari ‘ciuman Dementor’ yang sehari-hari sudah kita telan bulat-bulat demi mengepulkan dapur dan memenuhi isi lemari es untuk sebentar saja menikmati hal-hal yang bodoh. Atau apa saja yang membuat kita terbahak.

Sekali-dua kali meluangkan waktu untuk berbicara hal remeh temeh, saya rasa tidak salah. Terlebih untuk bercanda, menertawakan diri sendiri, mengenang kelucuan-kelucuan yang pernah terjadi.

Saya ingin sedikit menyadur kalimat dari sebuah tulisan yang, mohon maaf, saya lupa siapa penulisnya. Intinya begini: Hidup yang sudah singkat ini, akankah menyenangkan jika hanya diisi dengan memori akan endless meeting, omelan atasan, target yang terus dinaikkan, bonus yang tak pernah (dirasa) cukup, dan uang pensiun yang tak seberapa?

Ya, betul sekali kawan. Memang seperti inilah pilihan hidup yang dijalani. Sebagian orang berhasil menjalani hidup seperti idealismenya, tapi saya yakin lebih banyak orang yang cara hidupnya sudah dipilihkan oleh takdir, atau memang sudah terjebak dalam sistem. Dan gak ada yang salah di antara semua itu. Yang penting buat saya mah bisa hidup tanpa nyolong, nebeng, nipu, nyusahin atau nyakitin orang. Jadi orang bener.

Karena jadi orang bener itu susah, makanya kita sesekali butuh 'piknik'. Gak selalu harus pergi ke tempat yang instagram-able atau path-able. Cukup bersenda gurau bersama teman, karena memang itulah yang dicari dari obrolan atau acara nongkrong haha-hihi. Bahwa acara nongkrong bareng, yang meski kadang menelurkan ide hebat, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk melipir sejenak dari rutinitas dan kewajiban. 

Dan untuk itulah, semakin tidak bermutunya obrolan, maka akan semakin menyenangkan pula, bukan?

Sabtu, 12 September 2015

Konser Bon Jovi, Jakarta 11 September 2015: Ketika Jon Bon Jovi Asik Sendiri

Tidak dibawakannya lagu Always, Bed of Roses, I’ll be there for you dan These Days dalam konser Bon Jovi yang berlangsung semalam begitu hangat dibicarakan para penonton konser Bon Jovi yang berlangsung semalam di stadion Gelora Bung Karno. Secara teknis, konser megah yang menjadi tempat berkumpulnya para om dan tante pengidap midlife crisis ini memang nyaris sempurna, hanya saja para penonton masih membawa sedikit rasa penasaran akibat tidak dibawakannya lagu-lagu favorit tadi.

Namun ketimbang membicarakan hal-hal teknis ataupun set-list lagu, saya lebih tertarik mengomentari kejanggalan Bon Jovi tanpa Richie Sambora.

Richard Stephen “Richie” Sambora mungkin saja salah satu manusia yang diberikan bakat seni, atletis sekaligus kharisma oleh Tuhan. Saat masih bersekolah di Woodbridge High School, New Jersey, Sambora adalah anggota tim bola basket yang memenangi kejuaraan negara bagian. Alih-alih mengejar karir bola basket dan melanjutkan ke level NCAA lalu NBA, Sambora lebih memilih menekuni bakat lainnya: musik.

Sambora adalah seorang musisi all round yang bisa memainkan banyak alat musik seperti drum, gitar dan keyboard dengan sama baiknya. Namun di antara seluruh instrumen itu, Sambora lebih menekuni gitar. Musikalitasnya begitu tinggi lewat pengaruh blues, musik klasik dan rock ‘n roll tahun 60an. Selain Jimi Hendrix, George Harrison, Eric Clapton, Jeff Beck, Stevie Ray Vaughan dan B.B. King adalah panutannya dalam bergitar.

Bergabungnya Sambora ke band Bon Jovi seperti ‘meningkatkan level’ musik dari band ini. Tidak hanya aksi panggung yang flamboyan dan enak dilihat, kekompakannya dengan Jon Bongiovi di atas panggung juga menjadi pemandangan ikonik dari setiap konser Bon Jovi. Di dapur rekaman, Sambora juga tidak henti-hentinya menelurkan suara-suara yang begitu mudah membuai membran telinga setiap penggemarnya. Perpaduan lirik puitis ciptaan Jon dan melodi yang digubah dari petikan gitar Sambora bukan sekadar menghasilkan hits secara komersial, tetapi juga eargasm bagi para penikmat musik.

Maka memang sedikit janggal ketika semalam, Jon seperti begitu dominan di atas panggung. Terlalu dominan malah. Tidak ada sosok duet sehati yang biasanya membagi sisi kiri dan kanan panggung, tidak ada yang mampu mengimbangi kharisma alami dan gesture khas rock star Jon seperti halnya ketika Sambora masih menyayat instrumen enam string miliknya.

Jon dan Richie (oke, sekarang sebut saja Richie) memang bukanlah sosok yang sama. Jon sang quarterback, Richie sang wide receiver, Jon sang rockerbertipe family man yang sayang istri, dan Richie sang pemberontak yang flamboyan. Aksi panggung Jon sedikit mengingatkan pada Bruce Springsteen, sementara Richie seperti versi lain dari Joe Perry. Jika Jon adalah Captain America yang begitu jago dalam pertarungan tangan kosong dan begitu kuat kepemimpinannya, maka Richie adalah Iron Man yang canggih dan memiliki metode sendiri dalam melakukan pekerjaannya.

Tanpa Richie, Bon Jovi memang terus berjalan. Philip Eric Xenedis alias Phil X bukanlah gitaris kacangan. Ia terbiasa bermain dengan musisi-musisi papan atas lain seperti Tommy Lee, Orianthi Panagaris atau Alice Cooper. Tapi dari pemandangan yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri semalam, Jon sedikit mengurangi ‘porsi’ solo dari Phil, seraya membaginya dengan gitaris spesialis tur yang kini dihuni oleh Matt O’Ree.

Saya jadi sedikit dejavu dengan konser Guns ‘n Roses tiga tahun lalu saat Axl Rose membawa tiga gitaris sekaligus untuk mengisi posisi yang biasa diisi gitaris yang tidak kalah ikoniknya, Saul Hudson alias Slash.

Permainan solo bergantian ini justru semakin menegaskan bahwa setidaknya sepertiga dari panggung memang milik Jon seorang. Nyaris tidak terlihat pembagian dua wing lantaran Jon lebih sering bernyanyi di bagian tengah panggung, membiarkan sisi kanan panggung kosong. Tidak kosong-kosong amat sih, karena keyboardist David Bryan terlihat cukup ‘sibuk’ dan mengokupasi area yang cukup besar di panggung.

Saya sendiri sudah mengantisipasi banyak hal, sekaligus tidak berharap terlalu banyak pada kualitas konser. Seperti diduga, ketebalan suara bass drummilik Tico Torres tidaklah terlalu fantastis (setidaknya jika dibandingkan dengan dentuman bass drum Lars Ulrich pada konser Metallica di tempat yang sama tahun 2013), tapi untungnya permainan enerjik dan presisi dari Torres seakan menutupi kurang ‘gahar’nya sound sistem perangkat miliknya.

Konser ini, amat mungkin menjadi konser besar dari sebuah band legendaris terakhir yang saya tonton. Mengharapkan Van Halen datang, mungkin saja sia-sia. Tapi bagaimanapun juga, keinginan untuk bernostalgia sudah tercapai, dan memori demi memori yang terbawa dari setiap lagu yang dibawakan betul-betul terpungut satu persatu, dan meninggalkan kesan tersendiri, yah walaupun dalam beberapa saat ke depan, konser ini akan sedikit demi sedikit dilupakan. Memang sedikit mengecewakan karena tidak ada satupun lagu dari albun These Days yang memang ‘Richie banget’ dibawakan. Untungnya, saya amat sangat terhibur dengan medley mengagumkan lagu Keep The Faith dengan Bad Medicine.

Well, Richie really gave us Something For The Pain.

Senin, 07 September 2015

Tentang Butch Vig dan Kenapa Drummer Juga Musisi

Bagi sebagian orang, peran seorang drummer dalam sebuah band kerap dipandang sebelah mata. Ia tidak lebih dari 'penjaga beat' dari sebuah lagu. Seorang drummer juga disebut tidak wajib mengerti nada. Terdapat kesan bahwa tugasnya hanya memukul gumbrang-gambreng gedebak-gedebuk tek durungdung jess tanpa mengandalkan imajinasi dan kreativitas layaknya seorang musisi. 


Dan karena itulah sampai ada sinisme yang menyebut bahwa seorang drummer bukanlah musisi.



Ruang improvisasi bagi seorang drummer memang cukup terbatas. Seperti disebut di atas, ia cukup 'bermain aman' dan stabil sepanjang lagu. Jika terlalu banyak melakukan improvisasi, malah membingungkan personel lain, dan bisa jadi malah mengacaukan lagu. Maka tidak mengherankan jika dalam banyak kisah, pengakuan musikalitas yang didapat seorang drummer tidaklah sebesar yang didapat oleh vokalis atau gitaris.


Tapi sadarkah bahwa di situlah keunikan peran dari seorang drummer dalam sebuah band. Ia melakukan pekerjaan dengan metode yang berbeda, yang tentunya membutuhkan keahlian khusus. Kemampuannya berupa kordinasi yang baik antara tangan dan kaki, pengaturan tempo dan presisi pukulan belum tentu dimiliki pemegang instrumen lain.


Premis umum bahwa seorang drummer tidak perlu mengerti nada dan musik, menurut saya jelas keliru. Justru jika ingin menjadi drummer yang baik, ia harus mengerti lagu secara utuh, menyeluruh dan mendetil. Atribut ini dibutuhkan demi stabilitas permainan, demi fill yang enak didengar, tapi juga tidak 'datar'. 



Secara kebetulan, belakangan ini saya begitu terobsesi pada sebuah lagu karena permainan drumnya. Lagu yang menjadi obsesi saya kali ini berjudul Tell Me Where it Hurts, karya dari sebuah band alternative rock gaek, Garbage.

Jika tidak besar di era 90an, nama band ini memang cukup asing. Bahkan yang besar di era ini pun belum tentu tahu lagu-lagu band ini. Di Indonesia, band ini tidak mencapai kulminasi popularitasnya, padahal secara worldwide, Garbage telah menjual 17 juta kopi album. Dengan kata lain, di samping memiliki musikalitas cukup mumpuni, band ini memiliki pemerhati dan penggemar setia.

Lagu Tell Me Where it Hurts merupakan single unggulan album mereka tahun 2007 bertitel Absolute Garbage, dan saya menemukannya secara tidak sengaja ketika berselancar Youtube untuk mencari lagu dengan judul sama tetapi versi Kathy Troccoli (juga dipopulerkan oleh band akustik Filipina, MYMP).

Tadinya saya pikir, ini adalah lagu yang sama. Ternyata beda.

Buat kuping saya, ternyata lebih enak.

Kenapa bisa begitu? Salah satunya karena permainan drum yang begitu… begitu mengejutkan. Begitu bernyawa dan begitu menyatu. Bagaimana bisa sebuah aransemen drum yang biasanya hanya untuk mengawal beat sebuah lagu, menjelma sebagai nyawa dari lagu itu sendiri?

Begitu sih yang didengar oleh kuping amatir milik saya.

Lalu siapa sih drummer dari band ini? Usut punya usut, Butch Vig adalah nama drummer ini. Hehe, terdengar lucu ya ejaannya bagi kita orang Indonesia. Maafkan keterbatasan pengetahuan musik saya, tapi alangkah terkejutnya saya ketika mengetahui Vig adalah seorang musisi senior yang kini sudah menginjak usia 60 tahun!

Vig juga bukanlah seorang drummer biasa. Bukan sekadar pengawal irama dari sebuah lagu, tapi juga seorang produser dari album legendaris band Nirvana: Nevermind.

Wow, ini menjelaskan semuanya! Dengan musikalitas seperti ini, saya menjadi mahfum mengapa Vig mampu menciptakan beat dan pattern drum dari sebuah lagu dengan amat sangat menarik. Rasanya sulit membayangkan bagaimana lagu Tell Me Where it Hurts jika diisi oleh drummer biasa, bukan Butch Vig. 

Vig bukanlah sekadar pemain instrumen, tapi juga seorang musisi yang mengerti aransemen lagu, juga seorang produser dengan sentuhan emas. Seperti kita tahu, album Nevermind milik Kurt Cobain cs. menduduki posisi ke-30 sebagai album dengan penjualan terlaris dunia (catatan penjualan resmi sebesar 16,7 juta kopi), juga menjadi semacam album referensi wajib bagi pecinta genre musik Grunge.


Jadi, apakah seorang drummer bukan seorang musisi?