Selasa, 01 Mei 2012

Rockstar (Wannabe)

Almost Famous
Izinkan saya untuk mellow dan galau, sekadar menunjukkan bahwa saya hanyalah manusia biasa. Tiba-tiba saat ini saya terserang rasa ini. Kalo anak-anak sekarang sering dan mudah mengucapkan kata “galau” dan dengan mudahnya update status semacam ini atau ngetweet semacam ini, maka saya bukanlah mereka.  
Tapi kali ini, saya benar-benar tidak tahan. Bukan, bukan perempuan yang bikin saya galau. Bukan pula kisah cinta picisan yang membuat saya kepikiran. Kegalauan saya dimulai saat playlist lagu di handphone memutar lagu “Patah” karya band fenomenal Indonesia, Padi. Selanjutnya saya refleks memainkan semua album band yang dipimpin oleh seorang gitaris gondrong bernama Piyu itu.
Lagu-lagu itu sangat membawa memori ini ke masa lalu. Masa dimana semuanya menyenangkan dan tanpa beban. Lagu-lagu itu sering saya kulik bareng teman-teman satu band, lalu membawakannya di panggung-panggung kecil. Kami mengombinasikan lagu-lagu itu dengan tembang garang Metallica, Mr. Big maupun Megadeth. Sebuah kebahagiaan yang sederhana. Sekumpulan anak muda yang memberontak.
Lalu saya chat dengan teman-teman saya seperjuangan dulu. Kami mengingat-ingat masa itu. Bersama-sama kami menjelajahi panggung demi panggung indie musik Indonesia. Disukai, dibenci, dipuji, ditatap sinis sudah biasa. Tapi kebersamaan kami selalu terjaga. Ditengah mulai basinya musik rock dimata anak-anak muda, kami tetap setia di jalur itu. Jalur classic rock dan metal.
Pada akhirnya kami meninggalkan peralatan musik karena realita. Kami tidak cukup berkemauan keras untuk mengejar mimpi itu, mimpi menjadi rockstar. Waktu mengalahkan kami, kami dihadapkan pada pilihan mengejar pendidikan formal dan pekerjaan kantoran dibanding menjadi musisi. Pada akhirnya, kami semua memilih yang pertama.
Saya tidak pernah akan lupa. Bersama merekalah idealisme bermusik saya terpenuhi, tidak seperti yang terjadi belakangan ini dimana saya dipaksa “mengelus” drum, bukan memukulnya. Bersama merekalah energi dan pengaruh musik rock terus bersemayam didalam diri. Bersama merekalah saya mengaktualisasikan diri. Tidak peduli apa kata orang.
Tapi itu dulu. Kini kami makin disibukkan dengan realita dan baru, yaitu hidup berkeluarga. Waktu semakin berkurang, semakin langka untuk berkumpul bersama memainkan harmoni dan lantunan nada rock dan metal. Kini kami lebih terpanggil oleh tangisan bayi dan perkataan lembut sang istri.
Kami hanya bisa mengangguk-angguk dalam earphone kami di kubikel kerja kami. Kami hanya mendengarkan lagu rock kesukaan kami keras-keras disaat semua orang sudah pergi, disaat mereka yang telinganya tipis itu menghilang. Lagu-lagu yang menemani saat kami berkarya, saat kami menunggu, saat kami di perjalanan. Lagu dengan tema yang sama seperti yang dulu. Lagu rock!
Kami mengaum dalam kesunyian, tapi percayalah semangat Rockstar kami tidak pernah padam!
Saya pernah gondrong!!