Jumat, 29 April 2016

Menonton Sekuel AADC Setelah 14 Tahun



Ada magis dalam film Ada Apa Dengan Cinta edisi pertama tahun 2002 (menyebutnya demikian untuk membedakan dengan short movie tahun 2014 dan sekuel tahun 2016). Ketika itu, saya baru menjalani tahun pertama kuliah. Diputarnya film AADC serentak nyaris di seluruh bioskop Jakarta menyedot animo banyak penonton. Orang kantoran, mahasiswa, anak sekolah menontonnya. Bioskop pun penuh sesak walaupun pengelola sudah menyediakan empat studio untuk memutar film yang dibintangi Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ini.

Sebagai mahasiswa yang kampusnya berada di Depok, saya dan teman-teman tidak mau tertinggal euforia. Sayangnya saat itu belum ada tuh Margo City dan Depok Town Square (Detos), yang ada bioskopnya. Di Depok, baru ada Studio 21 Plaza Depok, yang film-filmnya sangat out of date. Tapi, kami pantang menyerah. Demi melihat Dian yang gorgeous itu, kami rela bolos pada sebuah jam pelajaran kuliah untuk nonton bareng di sebuah bioskop di Jakarta Selatan. Sebegitunya!

Ketika itu, kami pergi beramai-ramai. Mungkin berenam atau bertujuh, saya lupa jumlah pastinya. Tapi yang pasti: cowok semua. Kasihan ya. Ah tidak mengapa, daripada ngajak teman cewek tapi nantinya kami cuekin karena perhatian kami terfokus pada Geng Cinta, yang punya prinsip ala pendukung parpol "Musuh salah satu di antara kita adalah musuh kita semua"

Sebenarnya, cerita di film AADC 14 tahun silam hanya seputaran drama remaja saja. Kisah percintaan antara Rangga, cowok cool dan misterius tapi puitis dan pujangga dengan Cinta, cewek yang cantik dan populer. Ada pergolakan, pertentangan, friksi yang timbul. Semua masih mudah dicerna dan biasa-biasa saja. Tapi banyak detil-detil di film yang harus diakui, begitu berkesan. Dialog, puisi, lagu-lagu, juga adegan-adegan lucunya.

“Salah gue? Salah temen-temen gue?!” Punchline!

“Basi! Madingnya udah mau terbit!” Unforgettable!

“Pergi sekolah sama-sama, nonton konser sama-sama. Kamu kaya orang gak punya pendirian aja!” Judes tapi keren!

Atau puisi-puisi seperti “Ku lari ke hutan, lalu piknik ke pantai sambil foto kaki di pasir.. Eh maksudnya belok ke pantai. Bosan aku dengan penat, dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika ku sendiri..” karya Rangga yang memenangkan lomba puisi di sekolah. Atau puisi di bagian akhir film “…. Lalu sekali ini aku melihat karya surga dari mata seorang Hawa. Ada apa dengannya? Meninggalkan hati untuk dicaci. Tapi aku akan kembali ketika bulan purnama muncul di New York, untuk mempertanyakan kembali cintanya…”

Lalu soundtrack yang dibawakan dengan apik oleh Melly Goeslaw, hingga kelucuan Mamet, penggemar berat Cinta yang jago bikin lagu, tapi grogi berat ketika mobilnya akan dipinjam sampai kunci mobilnya ketuker dengan kunci rumah, lalu dia ketinggalan di bandara. Juga berantemnya Rangga melawan geng boyband Borne, walaupun buntutnya Borne disiram ice lemon tea di food court Plaza Senayan. Itu semua masih melekat dalam ingatan. Sesuatu yang begitu menggebrak perfilman Indonesia saat itu, dalam pengamatan amatir saya.

14 tahun berlalu, dan kini muncul sekuel AADC 2 yang serentak dimainkan tidak hanya di Jakarta dan seluruh Indonesia, tetapi juga di Malaysia dan Brunei Darussalam! Popularitas yang nyata adanya karena hasil kerja 14 tahun silam. Ya, begitu banyak tokoh di film AADC seri pertama yang kemudian angkat nama lantaran meledaknya film itu. Sekuel yang tidak pernah diniatkan untuk dibuat, dan mungkin sedikit membuat kita semua mengrenyitkan alis sambil berkomentar "Kok hari gini baru dibuat sekuel. Ceritanya mau kaya gimana lagi? Tokoh-tokohnya udah ketuaan, udah lebih pantes gendong anak."

Saya belum menonton AADC 2 hingga hari ini, dan baru berencana akan menontonnya akhir pekan. Itu pun kalau antriannya tidak gila-gilaan, tapi untungnya alay tidak akan ikut-ikutan karena mereka masih gigit empeng saat Rangga sudah main puisi-puisian dengan Cinta. Mereka gak akan tertarik untuk mengikuti euforia anak-anak 90an ini. Saya sudah mengantisipasi rombongan mamah-mamah muda dan papa-papa buncit seumuran saya yang akan mengantre untuk menonton Dian Sastro dan Geng Cinta -meski tanpa Alya- yang pantas menobatkan diri sebagai geng mamah muda 30an yang paling memukau seantero Indonesia. 

Saya, dan juga mungkin saja rombongan mamah-mamah muda dan papa-papa buncit penggemar junk food, berita politik dan barang diskonan ini, sepertinya tidak terlalu berharap bahwa jalan cerita AADC 2 akan sebegitu bagusnya. Hanya saja kami merasa wajib mengulangi euforia AADC 2002 yang teramat berkesan, walaupun harus menitipkan anak-anak yang fotonya sering kami upload di media sosial kepada orang tua atau mertua. Seperti memecahkan gelas biar ramai dan mengaduh sampai gaduh, seakan berkata bahwa film ini adalah representasi generation Y kelahiran 80-90. Lalu beberapa hari ke depan, kami akan menertawakan meme-meme yang akan menjamur di grup whatsapp kami, yang beranggotakan teman-teman lama yang sudah susah diajak kumpul karena berbagai alasan yang kurang prinsipil.

Kamis, 28 April 2016

Kuadran Kehidupan



Kuadran 1: Hanya dalam mimpi saja
Jadi filantropis

Kuadran 2: Sedikit ngayal
Jadi pengusaha sukses yang bisa bantu banyak orang

Kuadran 3: Nekat
Balik lagi ke dunia konsultan pajak yang kerjanya capek tapi karirnya lancar dan duitnya banyak..

Atau, tambah pengalaman kerja sebagai accounting/finance supaya bisa jadi finance controller atau CFO.

Kuadran 4: Realistis
Jadi tax manager di perusahaan sampai pensiun. Kadang sibuk banget kadang enggak. Entah bertahan di perusahaan sekarang, atau pindah ke perusahaan lain.

 ***

Beginikah kuadran hidup saya? Duh, sampai sekarang masih aja galau-galau gak jelas di kuadran 4.

Senin, 11 April 2016

Semua Ada Gilirannya

"Namaku Gerhana. Ya, Gerhana. Aku lahir tepat pada peristiwa gerhana matahari total tahun 1983 ketika tetangga-tetanggaku bersembunyi di rumah karena himbauan pemerintah. Aku menolak bersembunyi kala itu, dan memilih muncul ke alam fana bernama dunia. Himbauan melalui bapak Menteri Penerangan tidak aku gubris, walaupun informasi yang diberikannya adalah atas petunjuk Bapak Presiden.


Seperti halnya gerhana, aku lebih banyak meredup. Sikapku tertutup dan aku kurang suka bergaul, berkumpul, berolahraga, bernyanyi, tampil di depan umum, apalagi bergunjing. Aku jarang berbicara hal yang tidak penting, dan kebanyakan aku hanya mau membicarakan topik yang aku kuasai.


Hal yang paling kusuka adalah komputer. Di depan monitor tabung, aku bisa tahan untuk duduk berjam-jam. Orang tuaku sering menyuruh berhenti sih, sekadar mencari udara segar, kata mereka, tapi seringkali tak kuhiraukan, dan lama kelamaan mereka bosan. 


Selepas lulus SMA dengan tanpa kesan berarti, aku melanjutkan kuliah ke jurusan teknik informatika. Ini adalah jurusan impianku sedari kecil. Bagaimana tidak, komputer sudah seperti hidupku saja. Di depan layar tabung yang kini berubah menjadi layar datar sentuh, aku seperti bisa melakukan apa saja. Aku seperti bisa melihat dunia.


Menjadi seorang ahli informatika memang menyenangkan. Kamu bisa memilih jalur apapun. Jika ingin tahu bagaimana cara kerja sebuah sistem yang sudah rapi, kamu bisa belajar di perusahaan besar. Kamu juga bisa menjadi konsultan, pembuat program atau teknisi. Aku pernah mencoba bekerja di sebuah perusahaan besar, tapi baru dua bulan aku sudah tidak tahan. Aku tidak cocok bekerja dalam tim, juga hal birokratis dan sistematis yang berlaku dalam perusahaan. 


Keluar dari pekerjaan ini adalah pilihanku. Aku kemudian kembali ke kampus untuk mengajar. Sayangnya, kampusku hanya membolehkan dosen bergelar minimal S2 untuk bisa mengajar mahasiswa S1. Aku pun hanya bisa menjadi asisten dosen. Ya sudahlah kuterima saja.


Menjadi seorang asisten dosen (asdos), aku punya waktu luang lebih banyak. Eits, bukan berarti asdos itu gak ada kerjaannya ya, tapi bukannya mau nyombong nih, seluruh pekerjaan perintilan administrasi selalu bisa kuselesaikan dengan cepat. Sang dosen tetap pun sering memberikan pujian, meski mereka tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah nasibku.


Tidak mengapa, pikirku. Aku bukanlah pecinta uang. Sejak kecil, hidupku memang tidak macam-macam. Aku tidak pernah menikmati kemewahan, maklum saja ayahku hanya karyawan biasa, dan ibuku tidak bekerja. Tapi hebatnya, mereka tidak memintaku untuk jadi orang kaya. Mereka hanya ingin aku hidup jujur, tidak bermewah-mewahan, tidak pelit, tidak mencela, tidak mencerca dan selalu berusaha berbuat hal yang berguna bagi orang lain. Dalam bekerja, ayahku selalu memintaku melakukan apa yang kusenangi, tapi tentunya yang aku ahli mengerjakannya.


“Kalau sudah senang, pekerjaan sudah seperti hobi saja, bukan lagi rutinitas. Tapi kamu harus kompeten!” ujar ayah.


Aku terbiasa memakan nasi kemarin, telur dadar yang dibagi-bagi sekeluarga, makan lauk tempe yang dimakan berbarengan dengan tempe (misal, tempe orek dengan tempe goreng atau tempe oseng) dan sejenisnya. Ayah dan ibu tidak pernah mengajariku kecintaan pada kue ulang tahun, mainan, pusat perbelanjaan atau pusat permainan anak-anak. “This whole world is your playground, my son!” begitu kata ayahku setiap saat.


Oh iya, dalam riset kecil-kecilan yang kulakukan selama senggang mengajar, aku mulai mempelajari aplikasi-aplikasi mini. Itu lho, aplikasi yang sering kita gunakan untuk memesan makanan, mengetahui letak restoran terdekat, atau mengetahui orang sedang makan apa atau jalan ke mana. Aku melihat peluang, dan akhirnya memberanikan diri untuk membuat aplikasi berdasarkan pesanan. Tapi, aku tidak mau menghargainya mahal-mahal. Memang sih membuatnya itu sulit dan amat menyita waktu, belum lagi berapa bungkus rokok dan kopi yang kuhabiskan dalam membuat satu aplikasi. Tapi karena aplikasi yang dibuat memang tujuannya untuk mempermudah hidup orang, buat apa aku mengambil keuntungan terlalu besar? Ah, lagi-lagi prinsip lamaku.


Dalam bekerja, aku sering sendirian. Aku butuh ruangan sepi yang jauh dari orang-orang. Jauh dari suara orang-orang yang hobi mengobrol dan bergosip pada jam kerja. Jika mentok, aku bisa bertanya kepada komunitas pencinta teknologi informasi, atau membaca buku, atau mencari sendiri via internet. Di zaman seperti ini, kamu seperti bisa melakukan semua sendiri. Ehm, tidak semuanya sih.


Jadi, beginilah hidupku sekarang. Membuat aplikasi-aplikasi sederhana, dari aplikasi billing kasir hingga efek gitar. Dari kuesioner evaluasi dosen sampai games teka teki silang. Lumayan uangnya bisa kutabung, sebagian kuberikan kepada orang tua. Buatku, jumlahnya sudah sangat besar mengingat konsumsiku yang sehari-hari tidak banyak. 


Hobiku makan di warteg, paling keren di warung sate kambing. Ngopi? Ah ngapain ke kafe sejuk yang mahal jika lebih enak nyeduh kopi instan di kamar yang kacanya dibiarkan terbuka. Travelling? Aku tidak terlalu suka.


Saat iseng, aku membuka salah satu akun media sosial. Beberapa teman yang kukenal mengunggah foto-foto mereka. Di tempat kerja, di rumah, di tempat berlibur, di pusat perbelanjaan, di restoran, di mana saja. Bersama siapa saja, melakukan apa saja. Ada pula yang terus menerus membagi artikel parenting. Kuabaikan saja karena tidak ada yang menarik. 

Lalu perhatianku terpusat pada postingan salah seorang teman lama. Ia berdiri di samping sebuah mobil SUV besar, yang kurasa sih miliknya. Lalu ketika melihat koleksi fotonya yang lain, terpampanglah begitu banyak pose selfie dari dalam mobil itu. Sambil menyetir, memakai kacamata rayben, memasang wajah (sok) cool… Ah aku tidak tahan untuk keluar dari profilnya.


Aku melihat temanku yang lain. Ia memasang foto rumahnya, juga anak-anaknya, juga seluruh tempat berliburnya. Sepertinya ia ingin semua orang tahu seluruh aspek kehidupannya. Lalu ada yang berdebat soal politik, padahal perkataan mereka tidak ada isinya sama sekali. Lalu ada yang gemar menasihati dan memberi motivasi. Mengapa mereka sebegitu butuh perhatian sih? Aku hanya memandangnya dengan datar, lalu kembali menutup aplikasi media sosial berciri khas warna biru ini.


Media sosial berlambang burung yang kemudian kubuka. Ternyata isinya sebagian besar hanyalah keluhan-keluhan dari beberapa teman yang kukenal. Tentang bagaimana tempat kerjanya yang tidak enak meski gajinya besar, tentang mahalnya biaya bensin untuk menyokong pergaulan mereka. Ah, orang-orang ini. Apakah mereka tidak pernah bersyukur atas apa yang mereka dapatkan? Yang kulihat, hidup mereka sudah sukses dan mapan, istri/suami mereka rupawan, anak-anak mereka lucu.. Tapi mengapa curhatan mereka seperti orang yang hidupnya penuh penderitaan?


Kemudian aku membuka akun media sosial yang lain, kali ini yang berciri khas warna merah. Ah tidak.. ternyata semakin tidak keruan saja. Foto roti bakar aja kok dipajang. Lalu semua orang dengan drama kehidupannya yang aku sendiri tidak mau tahu. Ah sudahlah, percuma aku membuka tiga akun tadi. Aku pun membatalkan niat untuk membuka akun penyimpan foto-foto.


Hingga aku merenung, mencoba membandingkan hidupku yang tenang dan terlalu sederhana ini dengan hidup mereka yang serba wah dan sehari-hari dijalani dengan drama. Memang, tidak ada yang bisa dibandingkan, karena apa yang kuhadapi dan mereka hadapi jelas berbeda. 

Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa aku hidup tidak merasa perlu untuk meneyenangkan orang lain dan tidak perlu memamerkan pencapaianku untuk memuaskan diri. Aku juga tidak pernah membandingkan kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Dan bagiku, uang bukanlah hal yang memperbudakku dalam melangkah. 

Aku tidak punya banyak harta, tapi tidak punya hutang. Aku memang belum punya anak dan pasangan, tapi hei, jalanku masih panjang.... Semua ada gilirannya, semua ada periode naik dan turunnya masing-masing. Ada yang sukses di usia muda, ada pula yang baru sukses di usia senja. Bukan berarti hidupmu lebih baik dariku, dan juga sebaliknya. Kita semua menunggu giliran, hanya saja kita harus bersiap dan memantaskan diri untuk siap saat nomor kita dipanggil."

(Terbangun)
Aduh, mimpi ini lagi.

Senin, 04 April 2016

Truk Gandeng



Mengapa ajang-ajang besar olahraga diadakan secara empat tahunan? Bukan tiga, dua atau malah setiap tahun? Kalau membaca sejarahnya, mungkin akan terasa membosankan, tapi kurang lebih alasannya adalah karena sudah tradisi. Olimpiade sebagai kejuaraan olahraga antarnegara tertua di dunia sudah menggunakan format empat tahunan ini, yang kemudian turut diadopsi oleh kejuaraan-kejuaraan sepak bola dunia seperti Piala Dunia, dan kejuaraan antarbenua lainnya.

Empat tahun dirasa cukup ideal untuk mempertemukan lagi atlet-atlet yang bertanding. Dalam waktu empat tahun, rasa penasaran yang timbul sudah mencapai puncak, keinginan untuk menjadi juara sudah menggebu-gebu, dan persiapan sudah sangat matang. Kejuaraan yang seru dan kompetitif adalah hal yang dicari, yah meskipun dalam rentang empat tahun sudah pasti akan banyak yang berubah. Pelatih berubah, anggota tim berganti.

Kebetulan, empat tahun juga menjadi rentang waktu yang paling lama bagi saya untuk bekerja di sebuah perusahaan. Di tempat kerja saya yang sebelumnya, saya bertahan selama empat tahun tiga bulan. Pada hari-hari terakhir di sana, saya sudah merasakan kejenuhan luar biasa dan kehilangan motivasi bekerja. Saya merasa mentok, tidak dapat berkembang dan ujung-ujungnya sudah tidak betah.

Saya kemudian pindah ke tempat kerja sekarang, dan tanpa terasa kini sudah empat tahun saya bekerja di sini. Cukup lama, dan ternyata sekarang saya mulai dihantui perasaan yang sama seperti saat tahun terakhir di kantor lama.

Bosan. Mentok.

"Ku jemu dengan hidupku
Yang penuh liku-liku.."

"Kerja keras bagai kuda
Dicambuk dan didera
Semua tak kurasakan
Untuk mencari uang"

"Kurasa berat... kurasa berat
Beban hidupku..."

"Ku tak tahu... ku tak tahu
Ku jemu!"

Kali ini tentu saja situasinya berbeda. Banyak kesempatan memang, tapi pertimbangannya juga banyak. Sudah terlalu banyak perubahan dalam empat tahun ini, dan perubahan-perubahan ini ternyata membuat saya semakin sulit bergerak. Ibarat mobil, saya sudah bukan lagi mobil sedan yang bisa seenaknya melaju, mengerem, berbalik arah atau mencoba-coba jalan yang baru. Saya kini sudah seperti truk gandeng yang lamban, yang muatannya banyak dan berat, yang hanya bisa melewati jalan tertentu, yang tujuannya sudah ditetapkan oleh majikan...

Oke, itu pembahasan yang berbeda..