Selasa, 26 Januari 2016

Finansial Keluarga



Saya bukanlah seorang ahli keuangan. Di samping tidak mengambil jurusan keuangan ketika kuliah, saya juga tidak bekerja sebagai pengelola keuangan perusahaan, ataupun konsultan keuangan. Kedangkalan ilmu yang saya miliki inilah yang membuat saya sering terperosok dalam ‘jebakan finansial’.

Jebakan finansial berupa apa? Ya misalnya duit sudah habis sebelum gajian, gak punya dana darurat saat kepepet, gak punya aset dan gak punya investasi. Boro-boro mikirin hari tua, buat memenuhi kebutuhan sehari-hari aja udah ngos-ngosan. Buat orang kota yang selalu berkejaran dengan inflasi, apalagi buat para kelas menengah yang sulit menurunkan gaya hidup, hal ini tentu saja bencana.

Anda tidak perlu mengkhawatirkan kondisi finansial jika: 1) Anda anak pengusaha kaya yang warisan perusahaannya gak bakal habis tujuh turunan. 2) Anda seorang aktor atau aktris terkenal, penulis laris atau musisi kenamaan yang punya banyak passive income. 3) Anda seorang atlit berprestasi yang kaya raya dan masa pensiunnya sudah dijamin pemerintah. 4) Di bawah rumah Anda terdapat harta karun yang telah terkubur 1000 tahun bernilai triliunan rupiah.

Jika Anda tidak termasuk dalam golongan-golongan di atas, maka kita senasib. Hehehe. Ya, berhubung kita senasib, saya sekadar ingin berbagi cara agar kita bisa bertahan menghadapi badai finansial.

Tambah Sumber Pendapatan

Kebanyakan dari keluarga jaman sekarang punya dua sumber penghasilan, yaitu dari si ayah dan si ibu yang bekerja sebagai karyawan. Penghasilan dari bekerja sebagai karyawan disebut employment income. Saya tidak ingin memasalahkan ibu yang boleh bekerja atau tidak, tapi di sini kita bisa lihat bahwa mereka melakukan itu demi mendapat tambahan ‘sumur’ penghasilan. Hal ini memang penting karena jaman sekarang banyak ancaman PHK, di mana kalau satu sumber ditutup, maka kita masih bisa mengandalkan sumber yang lainnya.

Tapi sebenarnya sumber penghasilan tidak hanya dari employment income. Jika mau berpikir lebih kreatif dan gak gengsian, kita bisa membuka sumber penghasilan lain, misalnya dengan berdagang. Orang Indonesia termasuk konsumtif, jadi jangan khawatir dagangan gak laku. Tinggal pilih aja yang bener dan bikin program promosi yang tepat

Selain berdagang, bisa juga kita menyediakan jasa. Jasa apa aja asalkan halal. Bisa jasa penitipan anak, membuka bimbel di rumah, menjadi penulis lepas, komentator, pesepak bola tarkaman, konsultan cabutan, atau apa saja. Orang-orang Indonesia tuh males-males. Mau beli makanan di gedung sebelah aja nyuruh orang, mau beli sayur di supermarket aja nyuruh orang. Ini peluang!

Lakukan Investasi

Jaman sekarang, banyak bener pilihan investasi yang berseliweran. Ada yang risiko tinggi, ada pula yang rendah. Pakai ilmu yang udah kita dapat untuk memilih jenis investasi yang sesuai dengan kantong kita. Kalau belum ada ilmunya, ya belajar. Hati-hati pula dengan investasi bodong, investasi penipuan atau investasi-investasi gak jelas. 

Gimana caranya supaya gak ketipu? Pilih investasi yang jelas dan resmi, yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga yang sudah punya reputasi bagus dan jelas aturan mainnya, jelas sumber pendanaannya. Lagi-lagi, saya gak mau mendebatkan masalah haram dan halal di sini. Jangan percaya sama investasi-investasi yang terlihat too good to be true, yang bisa menghasilkan puluhan kali lipat dari dana awal yang kita investasikan. Jangan percaya walaupun jika yang menawarkannya adalah teman atau saudara sendiri. Jaman sekarang penipu gak mandang teman atau saudara.

Asuransi
Ini bukan iklan, dan saya juga bukan agen asuransi. Tapi yang pasti, kita gak pernah tahu umur kita, atau bagaimana kondisi kesehatan kita di masa mendatang. Saat lagi produktif, selalu sisihkan buat ikut asuransi. Yang produk apa? Terserah. Baca sendiri. Cari tau sendiri.

Dana Darurat

Gaji kita biasanya hanya cukup untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin. Buat makan, transport, cicilan, sekolah anak, peralatan rumah tangga, perlengkapan anak, dan biaya sosial. 

Tapi jangan lupa kalo kita juga punya mobil atau motor. Yang namanya mobil atau motor bukan cuma butuh diservis berkala, tapi juga bisa aja rusak parah. Ban perlu diganti, spare part perlu diganti. Hal yang sama juga berlaku buat barang-barang elektronik yang kita punya. AC, TV, komputer, mesin cuci, gadget juga ada umurnya. Gimana kalo tiba-tiba ngadat? Masih mending kalo cuma ngadat.. Gimana kalo rusak?

Pertanyaan berikutnya, berapa jumlah dana darurat yang dibutuhkan? Wah kalo soal ini banyak versi yang pernah saya baca. Ada yang bilang setidaknya enam kali pengeluaran bulanan, dengan asumsi kalau sewaktu-waktu kita jadi korban PHK (amit-amit), maka kita dapat bertahan tidak hanya dari uang pesangon, tapi dana ini akan berfungsi sebagai penyambung hidup sembari mencari pekerjaan baru. 

Ada pula yang bilang setidaknya sepuluh kali atau dua belas kali pengeluaran bulanan. Dengan asumsi, sumber employment income hanya satu. Mau berapa pun jumlahnya, tergantung dari kenyamanan masing-masing orang.

Hidup Sederhana

Terkait hal ini, ada kata-kata bijak yang RT-able: Rejeki dari Allah pasti cukup untuk hidup, tapi tidak akan cukup untuk gaya hidup.

Ngomong sih gampang, tapi praktiknya?

Pertama kita bikin rekapitulasi berapa biaya bulanan yang kita keluarkan, lalu kita breakdown berdasarkan kelompok: cicilan, sekolah anak, makanan buat di rumah, makan buat di kantor, transport ke kantor, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan anak, dan juga biaya sosial.

Kalo cicilan kan gak bisa diganggu gugat, gak ada cara lain selain cepet dilunasin. Begitu pula sekolah anak. Di luar itu, rasanya bisa disiasati, apalagi biaya sosial. Kalau memang kita pengen ngirit sebulan, ya mau gak mau kita harus tegas menolak ajakan nongkrong dari teman selama sebulan itu. Atau biaya makan di kantor misalnya, bisa disiasati dengan membawa makanan dari rumah. Selain lebih hemat, juga lebih sehat.

Kurangi juga ngemil, karena selain gak sehat buat jantung, juga gak sehat buat kantong. Gak berasa kan kita beli minuman botolan sehari dua botol, belum lagi ngerokok dan ngopi. Berapa yang bisa dihemat jika kita bisa ngerem pengeluaran-pengeluaran ini?

Jangan Pelit

Saya pernah dengar ungkapan dari seorang teman: “Jangan mau hidup bersama orang pelit. Berapapun yang elo punya, gak bakal bisa menikmati.” 

Atau ada pula ekspresi seperti “Orang pelit, kuburan sempit.”

Ya, begitulah pandangan umum tentang orang-orang pelit.

Tadi disuruh hidup sederhana, tapi abis itu bilang jangan pelit. 

Sederhana itu beda tipis dengan pelit, man. Sederhana itu bisa membedakan mana keinginan mana kebutuhan, tapi kalo pelit cenderung destruktif atau malah bisa menghambat rejeki orang lain. Yang wajib dikeluarkan, seperti pajak, memang gak bisa dihindari. Apalagi zakat, jangan coba-coba gak bayar deh.

Jangan juga salah fokus; kita gak sayang beli smartphone seharga 7 juta, tapi berat banget ngeluarin uang sejumlah sama untuk ganti kulkas dan mesin cuci yang rusak. Kita juga pelit beliin mainan buat anak, padahal kita sendiri buat nongkrong di café mahal gak sayang :)

Kita juga wajib ngasih ke orang tua, selama mereka masih ada. Lalu kepada tetangga dekat yang membutuhkan, lalu kepada saudara dan kerabat. Jika ingin kredibel, bisa juga kita salurkan melalui yayasan resmi yang sudah jelas amanah.

Jangan pelit juga untuk ngeluarin duit pergaulan. Memang perlu dibatasi jangan sampai kebobolan, tapi kalo sampai bikin kita jadi gak mau ketemu teman sama sekali pun tidak baik. Gimanapun, teman akan banyak menolong. 

Berdoa
Last but not least, berdoa :)

My Circle



Beberapa waktu lalu, saya membaca postingan galau seorang teman di sebuah media sosial. Saya lupa kata-katanya, intinya sih ia merasa kesal dan sedih karena tidak dianggap sebagai inner circle oleh temannya.

Apa sih inner circle itu sehingga seseorang bisa gusar jika tidak dimasukkan ke dalamnya? Kalau menurut definisi yang saya baca lewat googling, inner circle adalah “a small, intimate, and often influential group of people.” Ada juga yang mendefinisikan sebagai “a clique or a group of people or who share a common interest, aim or purpose.”

Dari dua definisi tadi, ada beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk menjadi sebuah inner circle. Pertama, adanya kumpulan orang. Selanjutanya, kumpulan tersebut hanya berisi kelompok kecil, berhubungan dekat, memiliki kesamaan tujuan dan ketertarikan. Berbeda dengan organisasi atau perkumpulan, inner circle jauh lebih informal dan santai. Tidak memiliki target yang ingin dicapai, tapi hanya ingin berkumpul saja. Atau jika tidak bisa berkumpul, setidaknya berbicara secara virtual pun bisa. Lebih santai tapi lebih akrab.

Saya sudah sering menuliskannya, dan tidak pernah bosan saya bilang kalau semakin kita dewasa, maka alokasi waktu untuk berkumpul bersama teman akan semakin berkurang, dan untuk itu kita akan selektif untuk mengalokasikan waktu yang sedikit itu untuk dihabiskan bersama orang-orang yang kita inginkan saja. Begitulah penerapan inner circle dalam lingkup pribadi.

Saya sendiri tidak terlalu mementingkan inner circle saya, karena saya tidak punya lagi geng pertemanan yang benar-benar dekat dan begitu sering menghabiskan waktu bersama. Yang kini saya lakukan adalah membentuk circle pertemanan saya sendiri, yang terdiri dari lingkaran terdekat yang berisi sedikit orang saja, hingga lingkaran terjauh yang berisi semakin banyak orang. Tanpa harus menyebut nama, beginilah lingkaran pertemanan saya:

Lingkaran Pertama – Best Friends

Istimewa. Berisi orang-orang yang satu pemikiran, satu visi, dan banyak kesamaan hobi dan ketertarikan, terlepas dari pencapaian dan kemampuan ekonomi kami. Ngobrol sama mereka gak ada habisnya. Orang-orang ini juga mampu mengerti becandaan saya, tahu baik-jeleknya saya, ngerti history saya dan mereka menerimanya dengan baik. Dan mereka gak judging! Setidaknya saya punya tiga orang di lingkaran ini, dan kami masih sering ketemu dan ngobrol tanpa harus merasa terganggu. Untuk lingkaran ini, sibuk hanyalah mitos. Saya akan menyediakan waktu untuk bertemu mereka.

Lingkaran Kedua – Good Friends

Dengan orang-orang ini, saya menyimpan respek, begitu pula sebaliknya, walau tanpa harus diungkapkan berlebihan. Orang-orang ini juga memiliki kesan baik secara keseluruhan, walaupun tidak selalu satu visi, kadang berbeda selera musik dan tempat berlibur favorit, juga berbeda cara hidup secara umum. Setidaknya saya punya 10an orang di sini. Saya mengingat hari-hari spesial mereka, mengucap doa tulus untuk mereka, dan tidak menolak kalo mereka ajak makan-makan.

Lingkaran Ketiga – Allies

Lingkaran ini berisi rekan-rekan seprofesi atau satu hobi yang baik. Bisa juga isinya kenalan-kenalan random yang bertahan cukup lama karena kesan yang baik. Mereka lebih dari sekadar rekan kerja, dan kadang-kadang menghabiskan waktu bersama di luar pekerjaan. Tidak jarang mengalami cekcok, tapi biasanya dapat diselesaikan dengan elegan, walaupun dengan agree to disagree. Biasanya berkumpul dalam rangka seremonial, dan setidaknya mereka ini akan saya sapa dalam hari-hari besar keagamaan.

Lingkaran Keempat – Colleagues

Agak formil, atau profesional. Masih berada dalam lingkaran selama masih saling membutuhkan. Biasanya berisi rekan kerja yang baik dan asik, atau tetangga yang ramah dan suka membantu. Saya memegang prinsip don’t shit where you eat terhadap mereka. Selama masih saling respek dan tidak ada masalah besar dalam pekerjaan, maka semua akan baik-baik saja. 

Lingkaran Kelima – Good People

Orang-orang seperti ini bukanlah teman baik saya, tapi ada hal baik yang bisa saya contoh dari mereka. Berisi orang-orang yang pernah mengerjakan proyek singkat atau kegiatan bersama. Misalnya teman satu komunitas, atau mentor dalam pekerjaan.

Lingkaran Keenam – Derailed

Orang-orang ini pernah jadi teman baik saya, tapi waktu kemudian membuat kami lupa satu sama lain. Atau misalnya karena pernah ada hal gak enak yang membuat hubungan merenggang. Dan semakin merenggang. 

Contoh:
Misalnya, dulu pernah temenan, tapi misalnya pacarnya salah paham sampai marah-marah. Jadi males dong gue. Not worth fighting for.

Misalnya lagi nih, dulu pernah temenan baik, tapi karena dia pernah gak ngebalikin barang yang dia pinjem, atau ngebalikin tapi udah jadi rusak dan dia gak tanggung jawab, nah ini yang gue males.

Lingkaran Ketujuh – Cuma Kenal Aja

Pernah satu sekolah, pernah satu kantor, pernah satu kuliah, jadi teman di media sosial tapi dari dulu tidak pernah bener-bener dekat. Jika melihat profil mereka, hanya untuk kepo. Jika bertemu di jalan, mungkin akan mengobrol basa-basi saja. Atau mereka yang hanya menghubungi kalau ada perlunya doang.

Contoh pembicaraan: Cuaca cerah ya? Jalanan macet ya? Kereta penuh ya? BBM mahal ya? Pemerintah kok begini ya? Barcelona menang terus ya? Pertanyaan yang gak perlu dipikirin serius jawabannya.

Lingkaran Selanjutnya – Gak Usah Kenal

Yang pernah ngutang tapi gak bayar, yang pernah nipu mentah-mentah, yang pernah nyolong, yang pernah menghina, yang pernah nyakitin dengan omongan dan perbuatan, yang seringnya manfaatin doang, yang bener-bener beda visi.

Jumat, 15 Januari 2016

Dari Tragedi Ke Komedi



Kemarin, 14 Januari 2016, patut dicatat dalam sejarah bangsa ini. Serangan teroris yang menyasar daerah pertokoan Sarinah Thamrin, yang bisa dibilang jantungnya kota Jakarta menelan dua korban jiwa tak berdosa, dan Jakarta kemudian digelayut rasa takut. Teror dilanjutkan dengan tebaran pesan singkat berisi ancaman peledakan bom dan serangan lanjutan di beberapa titik keramaian, ditambah kabar akan sosok teroris berjubah putih bermotor trail yang siap memberedel senjata AK-47 kepada siapa saja yang dilihat.

Kepanikan sempat tersebar selama beberapa jam pertama. Informasi 'katanya si ini' dan 'katanya si anu' beredar viral tanpa filter, entah benar atau bohong. Pesan-pesan tadi membuat banyak orang takut, tempat berjualan pun ditutup, karyawan dipulangkan, dan sebagian pengelola gedung menyuruh penghuni tetap di dalam karena menanggap di luar tidak aman.

Tapi hanya beberapa jam saja, bangsa ini mampu mengubah tragedi menjadi komedi, tanpa mengurangi rasa hormat pada korban jiwa. Pesan-pesan menakutkan tadi ternyata hanyalah hoax belaka. Padahal di tempat kejadian, para casual crowd yang menyikapi hal ini dengan bergairah. Maklum saja, sehari-harinya mereka lebih sering mengrubungi dan memfoto korban kecelakaan atau shooting sinetron. Sekarang mereka bisa dapat foto atau video eksklusif berisi baku tembak polisi dengan teroris!

Abang-abang pengais rezeki di sekitaran Thamrin pun tetap berjualan seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan mengaku dagangannya lebih cepat habis. Mereka bertemu dengan para pembeli yang kebanyakan kelas menengah yang punya ponsel pintar dengan kamera canggih dan sering main Path untuk berbagi momen dan mendapat 'love'.

Para desainer grafis beradu kreativitas mengedit foto dengan berbagai teknik memukau, para motivator online dan keyboard warrior yang menjalankan perannya untuk membalikkan teror pesan hoax menjadi pembangkit semangat, tidak ketinggalan random person yang punya kecenderungan untuk mengomentari segala hal, walau terbatas kepada grup whatsapp teman sekolah yang udah susah diajak kumpul ketemuan karena udah sibuk masing-masing dan terbiasa php-in janjian. 

Posting dengan tema parenting modern, tausyiah inspiratif, pandangan politik yang bernas, resep makanan enak yang kebarat-baratan dan desain rumah minimalis di Facebook pun sekilas berganti dengan meme-meme kreatif teror Sarinah (dan tentu saja akan segera balik lagi seperti semula). Belum lagi para stalker medsos yang sempat-sempatnya mencari tahu identitas sang polisi ganteng bersepatu Guc*i dan memakai tas Co*ch, juga polwan-polwan cantik yang tiba-tiba menenteng senapan mesin. Ada yang pakai analisa mata uang rupiah yang bisa tergelincir ke 17 ribu, ada ekonom-ekonom dadakan, ada pula pengamat intelejen beneran, dan ada juga orang biasa yang tiba-tiba bisa jadi pengamat. 

Untungnya awan hitam pun sirna. Semua mengambil peran masing-masing untuk memperbaiki keadaan, dan ternyata dalam hitungan jam saja, tragedi ini berangsur menjadi komedi. Sekali lagi, tanpa bermaksud menghilangkan rasa hormat kepada korban.

Di antara hal-hal tidak jelas dan tidak masuk di akal yang terjadi di negara ini, di antara banyaknya para alay yang naik motor ugal-ugalan bertiga di jalanan komplek, di antara ribut-ribut gak jelas (di Facebook doang sih) antara pemerintah haterz dan pemerintah loverz yang saling gemez, kita memiliki polisi-polisi tangguh, tidak hanya yang tambun saja. Publik kita juga punya karakter cuek, bocor dan bodor –entah karena hidupnya yang terbiasa tertekan, kurang diperhatikan atau memang kurang piknik- yang mampu membalikkan sebuah krisis menjadi euforia hanya dalam hitungan jam. Tagar #JakartaMencekam atau #PrayForJakarta sontak berubah menjadi #KamiTidakTakut, #KamiNaksir dan #KamiJugaNaksir bagaikan pesan kemenangan sekaligus tamparan telak bagi lawan. Untung saja tidak ada yang sampai menceburkan diri di air mancur Bunderan HI saking norakgirangnya.

Tapi apakah peristiwa ini perlu dirayakan seperti kemenangan? Tidakkah kita berpikir bahwa serangan ini bisa diikuti serangan-serangan lain yang lebih rapi dan terencana di waktu dan tempat yang sulit diduga? Jangan lupa, kita berhadapan dengan para ekstrimis yang tidak takut mati, yang sudah menyebabkan begitu banyak korban di belahan dunia lain. Sudah tepatkah reaksi kita untuk mengolok-olok balik mereka? Jika tujuan dari teror ini adalah untuk membuat takut, maka ini adalah kekalahan telak. Pembalasan mungkin datang, tapi biarlah masalah keamanan nasional ini dipikirkan oleh pihak berwenang.

Sementara bagi kita yang awam ini, hidup tidak akan banyak berubah. Tetap saja kita akan menghadapi teror sehari-hari dari kemacetan, pengendara mobil yang sotoy dan suka bawa air soft gun, pengendara motor yang kalo salah malah lebih galakan dia, gaji di kantor yang naiknya sedikit-sedikit, ancaman PHK demi efisiensi (atau demi tidak berkurangnya dividen shareholder), cicilan motor PC* dan N*AX yang kita beli sekaligus saking bingung pilih yang mana, juga tagihan kartu kredit hasil belanja kalap di IK*A, Met*o atau M*ther*are.