Selasa, 24 Mei 2016

Hopes and Fears

Jika membaca dua kata ini, saya teringat album musik dari band asal East Sussex, Inggris, Keane. Album ini dirilis tahun 2004, yang juga merupakan album perdana mereka. Kebetulan, album perdana ini meraih sukses besar dengan penjualan 5,5 juta kopi di seluruh dunia, juga menempatkan beberapa lagu seperti Somewhere Only We Know, Everybody’s Changing dan This is The Last Time di tangga lagu teratas.

Hopes and Fears, diartikan secara harfiah berarti harapan-harapan (jamak) dan ketakutan-ketakutan (jamak). Sekadar ingin sotoy mengartikannya dengan kata-kata sendiri, saya merasa dua kata yang kontraiktif ini memang begitu sering berjalan beriringan. Ketika kita mendapatkan harapan untuk melangkah, akan timbul rasa takut yang siap menjegal.

Memang dua kata ini sedikit diskriminatif. Jika katakutan selalu mengiringi harapan, maka rasa takut tidak selalu diiringi harapan. Rasa takut kadang benar-benar menjelaskan keadaan yang gawat dan tidak ada harapan untuk memperbaikinya. Jika kita menonton film horror, seringkali tokoh yang telah dihantui rasa takut toh pada akhirnya mati juga. Tidak ada harapan. Sementara jika kita melihat film seperti Die Hard, di mana harapan ada pada seorang John McClane, tetap saja ada rasa takut bahwa McClane akan gagal memenuhi harapan. Apalagi musuh yang dihadapi begitu tangguh, yang wajar saja menimbulkan rasa takut.

Sebegitulah keadaan yang mungkin saya alami sekarang. Yah, tentu saja tidak seperti McClane. Saya tidak sedang menghadapi gembong penjahat berbahaya seorang diri. Tapi dalam lansekap yang berbeda, kini terdapat harapan yang timbul untuk memperbaiki nasib, sekaligus memberikan masa depan yang lebih baik bagi kehidupan keluarga.

Tentu saja harapan besar ini muncul diiringi dengan rasa takut yang tidak kalah besar. Pertaruhannya besar, sebesar hasil yang didapat andaikata berhasil. Ya terang aja, di mana-mana hasil yang besar akan didapat ketika kita berani mengambil risiko yang besar. High risk, high return. Sekarang sudah bukan saatnya lagi memegang prinsip “If you want something, you have to work for it”, tetapi harus selangkah lebih maju lagi: “If you want something you’ve never had, you must do something you’ve never done!”

Ya, rasanya baru kali ini saya akan memutuskan mengambil risiko yang besar. Ada harapan yang begitu besar, tapi diiringi pula dengan rasa takut yang besar. Ada berbagai risiko yang terlalu besar untuk dipertaruhkan, tetapi jika kita tidak berani mengambilnya, tentu saja hidup akan segini-segini aja. Menuruti rasa takut memang akan memberi kenyamanan sesaat, tapi akan lebih sering berakibat pada penyesalan yang permanen. Menuruti rasa takut berarti meremehkan diri sendiri. Meremehkan orang lain memang tidak baik, tapi bukankah meremehkan diri sendiri jauh lebih tidak baik lagi?

Rasa takut ini memang besar, karena usia sudah tidak muda lagi. Jika salah jalan, susah untuk kembali lagi ke jalan yang benar. Jika miskalkulasi, akan sulit untuk memperbaiki. Ibarat kata, saya akan memaku tembok, yang akan menimbulkan bekas lubang jika saya melakukan kesalahan. Sudah bukan lagi belajar menulis dengan menggunakan pinsil yang akan dengan mudah dihapus dengan karet penghapus pinsil.

Jelang tahun kesepuluh saya bekerja di bidang pajak ini, rasanya inilah langkah terbesar yang akan saya ambil, sekaligus keputusan terberat yang akan saya buat. Memang belum pasti jadi, tapi memikirkannya saja sudah membuat makan-tidur tak enak. Badan masih di sini, tapi hati tidak lagi. 
Rabbi anzilni munzalan mubarrakan wa anta khairul munzilin.

Jumat, 13 Mei 2016

Penakluk Panggung

Jika sedang menjelang hari besar, misalnya ujian, rapat penting atau bertemu orang penting, biasanya saya merasa gugup. Yaa saya rasa orang lain pun demikian, namun memang cara menunjukkannya yang berbeda-beda. Kalau saya, biasanya jadi kurang enak makan dan tidur. Makanan enak pun rasanya jadi biasa saja, dan durasi tidur jadi berkurang.

Kemarin, semestinya saya gugup. Kenapa? Karena saya harus manggung untuk mengisi acara kantor. Bukan sembarang acara kantor, karena kalau dalam ukuran saya sih, acaranya cukup megah. Seluruh duta dari produk, yang tentu saja para artis, diundang untuk menghadiri acara. Lalu apa hubungannya dengan acara manggung saya? Ternyata, mereka menjadi juri yang akan menilai penampilan kami di panggung.

Beberapa jam sebelum tampil, ternyata saya tidak merasakan kegugupan yang keterlaluan. Saya seperti sudah biasa saja, mungkin pengaruh umur. Masak sih sudah di usia ini masih demam panggung seperti anak SMA yang baru kali pertama manggung di pentas seni? 

Tapi, ternyata rasa gugup itu muncul ketika nama grup kami dipanggil ke atas panggung. Ketika kaki melangkah ke bibir panggung dan melihat ke arah penonton, tiba-tiba panggung besar ini seperti berubah menjadi atap gedung yang tinggi. Penonton yang mungkin jumlahnya hanya ratusan, tapi kelihatannya ribuan. Apalagi, tiga orang aktris ibukota kemudian memandangi kami satu persatu seperti juri di acara kontes bakat televisi nasional.

Saya juga tidak memegang instrumen yang menjadi kebisaan saya yaitu drum. Lagi-lagi dalam grup, saya mengalah dan memegang gitar. Padahal, jari-jari tangan sudah kaku, selain itu, saya juga tidak pernah jago bermain gitar.

The show must go on. Saya pun memasang perangkat gitar dan efeknya, lalu menghubungkannya ke peralatan amplifier besar. Terdengar suara nyaring perangkat enam senar yang saya genjreng halus, dan spontan membuat penonton menengok ke arah saya. 

Ternyata pertunjukan berjalan lancar, kecuali suara senar satu saya yang ternyata fals. Saya kepedean sampai lupa menyetemnya. Ah untung saja suaranya tertutup kerasnya gebukan drum. Tanpa terasa, kami pun selesai, lalu turun menuju backstage. Kami pun saling bersalaman, lalu kemudian para bos datang ke backstage, juga untuk memberi selamat.

Tanpa saya sadar, keringat bercucuran. Kaos saya basah keringat, dan mulut saya luar biasa keringnya. Air mineral pun langsung saya tenggak sebotol penuh untuk mengganti cairan yang terus terbuang. Tidak lama, para duta produk inipun masuk ke backstage. Mereka kegerahan di luar, dan mencari pendingin ruangan yang dipasang di backstage. Kami pun berfoto bersama, dan mereka tidak keberatan menanggapi banyak pertanyaan dari teman-teman saya. 

Tidak lama, salah satu duta produk pun melangkah santai ke panggung, berbicara dengan lantang dan lancar tanpa sedikitpun ada nada kegugupan. Mereka tersenyum dan tertawa tanpa terlihat terpaksa. Memang sudah pekerjaan mereka untuk menaklukkan panggung demi panggung, seperti halnya saya yang sehari-hari berkutat dengan kertas kerja berisi angka-angka njlimet.

Diam-diam, saya kagum dengan mereka yang begitu mudahnya menaklukkan panggung. Terlepas dari fakta bahwa itulah pekerjaan mereka sehari-hari. Tapi bagi saya, para penakluk panggung ini tidak hanya mengandalkan tampang yang memang sudah rupawan sejak lahir, tapi juga mampu menyampaikan pesan dan mengarahkan massa seberapapun sulitnya situasi. Di belakang panggung mereka memang seperti orang biasa. Mereka bercanda, merokok, tidak lepas dari gadget. Wajah mereka pun lelah dan terlihat bosan seperti menunggu kapan hari ini akan berakhir. Tapi pada saat mereka berada di panggung, seluruh kelelahan dan kebosanan itu sirna, berganti dengan antusiasme dan senyum yang terlihat tulus.

Memang dunia ini adalah panggung, bukan? Walaupun jaman sekarang kita bisa mencari panggung di dunia maya. Di twitter, begitu banyak orang yang sebegitunya cari panggung. Ada yang marah-marah, goblok-goblokin orang, ngeyel, sampai ngehina-hina karya orang. Ah, coba aja lakukan itu semua di atas panggung nyata yang ditonton oleh follower-followernya. Ada pula mereka yang cuma berani ngomong di belakang, tapi ketika disuruh tampil di panggung? Alasannya sebanyak spesies nyamuk di dunia ini.

Saya iri pada kalian, para penakluk panggung.

Bubur Ayam



“Bubur ayam!” Begitulah jawaban saya ketika ditanyakan pilihan menu sarapan pagi, apapun tandingannya. Misalnya ketika diminta memilih “mau sarapan telor dadar, nasi uduk, lontong sayur, nasi goreng atau bubur ayam?”

Untuk persoalan ini, otak saya telah meringankan pekerjaannya dengan secara otomatis memilih bubur ayam.

Buat saya, bubur ayam juga bisa dinikmati pada malam hari saat perut masih lapar-lapar nanggung. Untuk mengenyangkan perut, saya biasa mampir ke kios bubur ayam dekat rumah sebelum pulang.

Bubur ayam amat jarang menjadi teman bersantap siang, karena memang jarang yang menjual bubur ayam siang hari. Bubur ayam juga jarang saya konsumsi ketika bepergian bersama keluarga di akhir pekan, karena biasanya kami mencari makanan nasi atau mie. Karena itulah tempat makan bubur ayam favorit saya tidak jauh dari sekitaran tempat tinggal, yaitu di daerah Depok.

Sepanjang yang saya pernah lihat, kebanyakan bubur ayam di Depok berasal dari Cirebon. Bubur ayam Cirebon ini memiliki ciri kaldu yang bersantan plus kecap asin sebagai pelengkapnya. Lalu untuk topping, dicampurlah bawang goreng, daun seledri, kacang kedelai dan suwiran ayam yang banyak/sedikitnya tergantung kemurahan hati si Abang. Tidak lupa kecap manis, sambal, kerupuk dan emping sesuai selera. Secara tampilan, bubur ayam ini begitu sembrono, berantakan dan merakyat. Apalagi dalam meracik semangkuk bubur ayam, si abang tidak menggunakan apapun untuk menutupi tangannya, jadi yah kalo abangnya habis ngupil ya berarti rejeki buat yang beli. 

Ada tiga tempat bubur ayam khas Cirebon di Depok yang saya suka datangi, yang pertama tentu saja yang di dekat komplek perumahan Kavling Kujang. Di sini, si Abang bubur menjual semangkuk bubur ayam seharga 7 ribu rupiah saja. Kalau kesiangan dikit, antriannya minta ampun. Dia datang jam 7 di depan komplek perumahan, dan biasanya jam 10 dagangannya sudah ludes.

Yang kedua adalah bubur ayam Cirebon yang ada di dekat kantor PLN Jl Nusantara, Depok. Namanya sesuai dengan lokasi, yaitu bubur ayam PLN. Untuk yang ini, kebersihan cukup diperhatikan oleh penjual. Meracik buburnya dengan penutup tangan yang terbuat dari plastik, estetika penataan bubur pun diperhatikan karena karena kacang, daun seledri dan suwiran ayamnya tidak ditabur jadi satu, melainkan ditata bersebelahan. Mungkin si penjual mencoba mengikuti keinginan mereka yang biasa makan bubur ayam dengan tidak diaduk. Yang saya suka di bubur ayam PLN ini adalah tambahan ati-ampla yang begitu enak dan berbumbu. Harganya masih lebih mahal, yaitu 10 ribu, karena di samping tempat mangkalnya di jalan yang lebih besar, pegawainya juga lebih banyak, walaupun kalau saya tebak sih mereka masih bersaudara. 

Yang ketiga adalah bubur ayam khas Cirebon yang berjualan di dekat perumahan Depok Indah I. Namanya bubur ayam Aroma. Penyajiannya tidak serapi bubur ayam PLN, tapi soal rasa boleh deh diadu. Harganya kalau tidak salah 8 ribu. Yang enak dari bubur ini adalah sate usunya yang begitu berbumbu. Kalau di luar Depok, bubur ayam Cirebon yang enak tuh ada di Jl. Sabang yang dekat Dunkin Donuts. Eh iya, sama satu lagi yang biasa berjualan di depan Menara Batavia.

Selain bubur ayam ala Cirebon, saya juga suka banget sama bubur ayam Sinar Garut yang berjualan di jalan Margonda Raya. Dari namanya saja sudah ketahuan kan asalnya. Bubur ayam ini biasanya bermitra dengan aneka es serut bernama sama. Sehabis makan bubur, memang enak banget minum es serut pakai alpukat dan susu kental manis coklat. Bubur ayam Sinar Garut ini sedikit berbeda dengan Cirebon. Selain tanpa kecap manis, bubur ini juga disiram air kaldu sehingga sangat gurih. Topping-nya berupa cakwe, sementara ayamnya tidak disuwir, melainkan diiris-iris hingga halus. Ayamnya juga digoreng dengan garing, sehingga ketika dimakan, masih ada sedikit rasa kriuk. Oh iya, bubur ini juga tidak pakai krupuk atau emping, tapi memakai cheese stick (cistik). Dibandingkan bubur ayam Cirebon, bubur ayam Sinar Garut berharga lebih mahal.

Bubur ayam Cirebon sudah, Garut sudah, hmm saya juga masih suka makan bubur ayam Tasik yang berjualan di Jl Arif Rahman Hakim. Rumah makan ini sudah ada sejak saya pindah ke Depok (tahun 90an awal). Meskipun terlihat tidak terlalu ramai pengunjung, tapi penggemarnya ada saja, dan menurut saya inilah yang membuatnya awet. 

Yang istimewa dari bubur ini adalah ia selalu dimasak pada saat kita memesan. Tidak ada tuh panci berukuran besar yang dipakai untuk menaruh bubur nasi. Jadi ketika disajikan, bubur masih dalam keadaan panas dan sangat nikmat untuk disantap. Kalau soal tekstur, bubur Tasik ini sepertinya lebih berair ketimbang bubur Cirebon dan Garut. Malah lebih mirip sama bubur ayam ala restoran China.

Di luar bubur-bubur ayam di atas, ada lagi yang enak, yaitu bubur ayam yang ada di Cimahi, Bandung. Saya lupa persisnya di mana, tapi seingat saya dekat dengan Rumah Sakit Dustira dan stasiun Cimahi. Bubur ini berkuah santan, dan begitu ‘berat’ rasanya. Porsinya juga besar, jadi dijamin bikin perut kenyang. Satu lagi kesan, yaitu si ibu penjual yang selalu mengajak berbicara bahasa Sunda, sekalipun Anda merespon dengan bahasa Indonesia.

Ya begitulah saya dan bubur ayam.