Minggu, 19 November 2017

Radio Retro Pendobrak

"Di sini kita gak muter lagu Ed Sheeran, tapi di sini adanya Eddie Van Halen..."

Begitulah suara sang penyiar radio menyapa pendengarnya, termasuk saya yang secara kebetulan mampir di frekuensi siarannya. Saya langsung tahu, kata-kata itu menandakan bahwa kita berada di "frekuensi" yang sama. Benar saja, sejurus kemudian, lagu Jump milik Van Halen dan kemudian Lithium milik Nirvana meraung dan sesegera mungkin menyemarakkan audio standar mobil saya.

Saya termasuk jarang mendengarkan radio. Karena memang biasanya, radio didominasi musik-musik yang memang sedang terkenal pada jamannya. Kebetulan, zaman ini memang zaman now, zaman di mana musik Linkin Park dianggap lagu jadul.

Tetapi semakin lama saya mendengarkan radio ini, lagu-lagu yang diputar justru berkisar di tahun 80an hingga 90an. Barulah ketika sang penyiar menyempatkan waktu untuk cuap-cuap, dia bilang kalau radio yang bernama MOST RADIO di frekuensi 105.8 FM ini memang hanya memutar lagu-lagu pada era itu. Tidak ada lagu zaman now!

Radio memang memegang peran penting dalam menandai zaman. Program-program yang ditampilkan radio menggamparkan seperti apa keadaan saat itu. Berita-berita, diskusi-diskusi, celoteh dari para penyiar, jokes yang khas, termasuk lagu yang diputar menjadi penanda yang jelas akan sebuah zaman. 

Keberadaan Most Radio ini menandai meningkatnya semangat 80s-90s. Saat ini sudah begitu banyak acara-acara yang mengangkat tema dari dua dekade yang memang selalu dirindukan itu, dan dengan beradanya radio sebagai media yang amat penting dalam menandai sebuah kultur, maka semangat lawas (agar waras) dapat terpelihara.

Dilihat dari sisi lain, maraknya trend generasi zaman 80an dan 90an ini sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Yang kini memberi sponsor dan menanamkan modalnya pada acara-acara dan media tentulah mereka yang besar pada era itu, yang kini sudah mulai "jadi orang" dan mapan secara finansial. Karena itu, bukan hal yang aneh jika mereka yang sudah mampu lepas dari kejaran inflasi dan tidak lagi menunggu-nunggu tanggal gajian itu sudah bisa memikirkan hal lain. Mereka ingin memberi ruang kemunculan kembali artis-artis favorit pada saat mereka tumbuh dewasa.

Keberadaan radio yang khusus memutar lagu-lagu era lawas harusnya sih memberi efek yang lebih masif. Jika acara-acara konser lawas hanya bersifat insidentil dengan mengedepankan nostalgia, kemunculan radio yang bisa didengar setiap saat menandakan keinginan besar untuk membawa era keemasan itu kembali ke era sekarang. Semangat untuk mendobrak dan terus eksis di tengah kejenuhan (dan mungkin sedikit rasa prihatin) kepada generasi kekinian.

Selamat datang, Most Radio!

Kamis, 16 November 2017

Padi Reborn dan Musik Zaman Now

Apa saja yang memiliki embel-embel "zaman now", sebuah frasa yang begitu sering digunakan tahun 2017 ini, memang seperti disikapi dengan sinis. Tidak terkecuali musik zaman now. Musik kekinian disebut banyak orang tidak dibalut dengan kualitas tinggi sebagaimana musik-musik zaman sebelum ini. 

Bahkan jika dibandingkan musik-musik yang muncul tahun 2000an awal, musik zaman now terdengar begitu jauh kualitasnya. Sang pembawa acara konser Padi Reborn, konser yang menampilkan band yang begitu besar namanya tahun 90an akhir dan 2000an awal yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta, mengucapkan kalimat penutup acara yang begitu lugas. "Terima kasih, Padi. Dengan begini, kids zaman now jadi tahu seperti apa musik yang berkualitas." Well..

Begitu banyaknya band-band lawas yang melakukan reuni juga diimbangi makin maraknya acara-acara yang mengusung tema flashback, secara khusus adalah tema-tema 90an. Adanya gerakan-gerakan yang cukup marak namun sebetulnya tidak terstruktur ini, menunjukkan keprihatinan para pelaku seni terhadap semakin menurunnya kualitas lagu-lagu zaman sekarang. 

Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang mengubah haluan dari fisik menjadi digital, kini orang-orang cenderung tidak lagi menakar lagu atau musik dari kualitas aransemen yang ciamik dan lirik yang bermakna dalam. Digitalisasi penjualan karya dari musisi ini mengubah cara musisi berekspresi. Mereka kini hanya mengeluarkan lagu dalam bentuk single atau mini-album. Bukan lagi album secara utuh, yang mana dalam satu-dua lagu tercermin identitas dan idealisme seorang musisi (atau sebuah grup band). Contohnya, pada album Pandawa Lima milik band Dewa 19, ada lagu Sebelum Kau Terlelap yang cukup melenceng dari yang biasa mereka bawakan, atau banyak contoh lain di album-album milik Slank atau Gigi. Pendek kata, format album memberi ruang bagi para musisi untuk bernegosiasi dengan produser untuk memasukkan sekian menit idealisme mereka dalam album yang sudah penuh kompromi sana-sini. 

Gaya hidup orang zaman sekarang (khususnya orang-orang perkotaan yang menjadi penikmat karya seni musik) yang cenderung serba instan, terburu-buru, sibuk dan serba ingin cepat memang cenderung mengubah cara dalam menikmati lagu. Lagu-lagu pop ringan yang mudah dicerna, lebih bagus lagi ditambahi bumbu-bumbu kontroversi akan cepat sekali diterima. Atau melihat fenomena baper-baperan yang juga ala kids zaman now, lagu-lagu patah hati yang menunjukkan glorifikasi atas kesedihan menjadi komoditi yang begitu laris bak kacang goreng. Lagu-lagu itupun, karena memang dibuat dengan ringan dan instan, memiliki kisah edar yang mirip: diputar secara masif hingga orang muak mendengarnya, namun kemudian dengan cepat dilupakan dalam hitungan bulan saja dan tergulung lagu-lagu lain yang sejenis.

Maka ketika akhir pekan lalu saya disuguhi konser musik band Padi, yang akhirnya melakukan reuni dengan formasi lengkap, ada rasa haru yang tak terperi (tak terkatakan), juga rasa dahaga yang terpuaskan akan tontonan musik berkualitas.  

Sebelum eranya Payung Teduh, yang lewat lagu Akad-nya berhasil membuat jutaan pria terinspirasi untuk berani melamar kekasihnya, Padi lebih dulu membius anak-anak angkatan zaman saya. Lagu "Begitu Indah", "Sesuatu yang indah" atau "Ketakjuban" menceritakan betapa magisnya saat-saat kasmaran, lagu "Semua Tak Sama", "Seperti Kekasihku", "Kasih Tak Sampai" atau "Patah" mencerminkan susahnya move on, yang boleh jadi disebabkan permasalahan beda kepercayaan seperti yang terangkum dalam lagu "Sudahlah" yang kemudian membuatnya "Terbakar Cemburu" ketika ia menemukan bahwa kekasihnya direbut oleh "Sobat"-nya sendiri.

Berbicara lirik-lirik lagu Padi, mereka seperti sudah merasakan manis, pahit, getirnya dunia percintaan, yang ironisnya mereka sendiri rasakan, bayangan buruk tentang hidup yang tidak selamanya indah dan perjalanan yang tidak selamanya mudah malah menjadi kenyataan yang harus diterima band ini. Lagu "Bayangkanlah" akhirnya menjadi kenyataan hidup, dan Piyu sebagai leader dari band asal Surabaya ini pun mengakuinya, ketika ia sedikit meluangkan waktu untuk melakukan speech singkat sebelum memainkan lagu "Harmony". 

Piyu, seperti seorang yang baru sembuh dari sakitnya, juga seperti musisi yang kembali menemukan instrumen enam senar favoritnya, dengan lugas namun mengharukan menyampaikan tentang permasalahan pribadi yang sempat lama menghinggapinya dan kerikil-kerikil tajam lain yang sempat membuat hiatusnya band Padi, sebelum kemudian memutuskan untuk "turun gunung" dan kembali ke band yang membesarkan namanya.

Untuk Piyu, Fadly, Yoyok, Rindra dan Ari, semoga kalian tidak sekadar reuni. 

Rabu, 01 November 2017

Ayam Saus Coklat dan Makin Ngawurnya Kuliner Jaman Now

Rasanya belum beberapa hari sebuah pengumuman dibuat oleh salah satu restoran waralaba terkenal dari sebuah negara maju. Bahwa mereka, yang mengklaim sebagai pemilik asli resep ayam goreng tepung garing ini mengeluarkan varian saus baru. Setelah varian saus keju cair mereka keluarkan sekitar tahun lalu (dan menurut saya sih fail), kini mereka--seolah tidak kapok--malah mengeluarkan saus dengan rasa coklat.

Ya, coklat. Rasa manis bercampur gurih dan sedikit pahit khas coklat cair ini akan berpadu dengan rasa gurih, asin, garing, dan tekstur basah karena rendaman minyak goreng yang menjadi khas dari ayam goreng tepung ini. Buat gue sih, membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Walaupun kemudian setelah banyak yang mencoba, coklat itu tidak berasa manis, tetapi pedas seperti layaknya saus sambal.

Memang sudah banyak jenis kuliner yang jelas-jelas menyalahi pakem dan "kodrat". Mulai dari martabak yang diberi topping macam-macam, sate ayam yang asin, keju yang menjadi bahan dasar kue bolu (bukannya pelengkap), hingga mie instan yang dibuat dengan rasa macam-macam telah mewarnai khazanah kuliner jaman now yang unik sekaligus nyeleneh.

Sesuai dengan pola pikir out of the box ala Generasi Millenial, Generasi Z hingga kids jaman now, sekarang udah gak jamannya lagi menjadikan bahan terenak dari makanan sebagai pelengkap. Dulunya keju atau coklat menjadi pelengkap kue dengan bahan adonan yang cenderung plain. Karena itu, kita akan lebih menantikan saat-saat menyenangkan yaitu menggado keju atau coklat yang terdapat di pinggiran kue. Karena memang sensasi menyantap keju dan coklat timbul karena begitu jarang dan sedikitnya bahan itu dalam sepotong kue yang kita makan. Ada konsep menunggu dan bersabar yang dimainkan di sini.

Bahan yang sedikit dan jarang tapi nikmat inilah yang dieksploitasi oleh pembuat kue untuk memainkan perasaan si penyantap kue. "Kalau mau ngerasain nikmatnya coklat atau keju, habiskan juga bolu yang rasanya plain ini".

Sekarang kan beda. Dengan prinsip life to the fullest yang diusung manusia-manusia modern, mereka sudah tidak mau lagi merasakan makanan yang rasanya datar, lalu menyisakan bagian enak di ujung. Kalau memang keju dan coklat bisa dijadikan bahan inti, kenapa tidak? Kalo emang rasa enak bisa dimunculkan terus dari awal hingga akhir, kenapa harus dijatah?

Jadinya sekarang, seluruh proses pencernaan mekanik yang dilakukan oleh mulut dan gigi kita berisi substansi-substansi "berat" yang rasanya kuat. Sehingga bagi kita yang tidak terbiasa, akan mudah sekali menimbulkan rasa begah.

Kembali ke si ayam goreng tepung, kini mereka menambah ramai khazanah kuliner dengan prinsip rasa yang dibikin "tabrak-menabrak" dengan kehadiran saus coklat. Rasa asin, gurih, manis, pedas dan pahit akan bertemu dalam satu ruangan di lidah, ditambah aroma coklat yang bertabrakan dengan gurihnya tepung dan renyahnya rendaman minyak goreng. Lidah kita inilah yang akan memberi pesan kepada otak tentang bagaimana rasanya sajian baru ini, apakah enak atau tidak. 

Tentunya, semua orang memiliki selera yang berbeda, dan satu realita yang memang mengesalkan: kita tidak bisa menghakimi hal subjektif yang sudah menyangkut selera. Seberapapun anehnya orang ini memakan ubi goreng dengan saus sambal, atau memakan tahu goreng dengan gula halus, atau mencocol pizza dengan kecap manis.

Sekarepmu lah, coy!

Jumat, 20 Oktober 2017

Embrace The Slow Culture: Kerja 4 Hari Seminggu

Ada tujuh hari dalam satu minggu. Bagi pekerja kantoran, lima hari di antaranya adalah hari kerja dan dua hari sisanya menjadi hari libur. Ada juga beberapa kantor yang memberlakukan enam hari kerja dan satu hari libur. Karena itulah di kalangan pekerja sangat lazim dijumpai jargon I don't like Monday, karena hari Senin adalah yang mengawali pekan melelahkan.

Bagi kantor akuntan, konsultan atau pekerjaan profesional lainnya, jam kerja malah lebih tidak jelas. Sudah senin sampai jumat pergi pagi pulang pagi, sabtu dan minggu pun dihajar lembur. Pekerja proyek malah bisa lebih gila lagi. Bisa-bisa, dalam seminggu, para pekerja hanya bisa makan dan tidur sekadarnya. Namun dengan catatan, para pekerja profesional ini memiliki jam kerja yang lebih fleksibel dan mereka bisa mengambil jatah istirahat panjang setelah proyek selesai.

Inilah yang berlaku di dunia secara umum. Perusahaan-perusahaan itu terus bergerak mencari laba, bekerja demi kepentingan yang ujung-ujungnya mengalir ke pemilik modal yang terus berusaha meningkatkan kekayaannya. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjanya juga butuh uang untuk membiayai kebutuhan narsis hidup yang kian hari kian mahal saja. Juga membayar utang-utang mereka yang telah terlanjur terjerat tipu daya lembaga pemberi utang.

Saya juga seorang pekerja, dan saya bekerja keras karena memang butuh. Tapi kadang saya mikir, di dunia yang semakin serius dan semakin banyak menggerogoti sumber alam, uang yang berputar kebanyakan mengalir kepada golongan tertentu saja, dan tingkat stress yang semakin tinggi, apa gak sebaiknya kita sedikit mengerem?

Mengerem maksudnya gimana? Ya kalo bagi saya sih simple. Kenapa gak mengurangi hari kerja, bukan lagi jam kerja. Kenapa seluruh dunia gak mau mencoba mengurangi hari kerja dari lima hari (standar) menjadi empat hari. Empat hari kerja, tiga hari libur. Enak, kan?

Mungkin saran ini terdengar bodoh, sebagian juga mungkin berpikir saran seperti ini hanya datang dari seorang pemalas yang gagal menaklukkan dunia. Ya suka-suka aja, tapi gue punya poin dalam usulan yang kedengarannya silly ini. Sekaligus menyanggah stereotip yang menganggap orang-orang selow adalah mereka yang pemalas.

Kita sudah terlalu banyak mengeruk kekayaan alam dan membuat polusi. Jika satu hari diliburkan dan sebagai gantinya orang-orang akan berdiam di rumah (atau piknik), tentu konsumsi energi dan pemakaian komoditas untuk produksi akan berkurang. Kenapa car free-day gak diberlakukan dua hari dalam seminggu? Berkurangnya konsumsi energi dan pemakaian komoditas ini tentu akan mengurangi polusi di bumi yang lapisan ozon-nya mulai menipis ini.

Intinya, bumi ini bergerak terlalu cepat, dikeruk terlalu banyak, dengan diisi orang-orang yang terlalu serius, tamak dan rakus. Kita kurangi saja kecepatan ini biar orang-orang makin jadi lebih tenang. Di jaman yang katanya akan menuju akhir ini, menurut gue sih baiknya kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk tidur siang, mengantar anak ke sekolah, mendekatkan diri kepada Tuhan, atau memakan pisang goreng di teras rumah. Siapa sangka bahwa hidup lebih santai malah bakal lebih banyak mendatangkan makna dan memberikan manfaat. 

Lagipula kalau lagi di kantor, bukankah kebanyakan dari kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk ngobrol gak jelas, melipir ke sana-sini sebelum dan sesudah makan siang, membaca artikel politik yang dibuat pekerja hoax, ribut sama teman lama di facebook, kepo sama gosip artis di akun gosip instagram atau main game online? 

Gue sih yakin, kalo lagi di rumah, kalian jarang melakukan kegiatan-kegiatan ini. Di rumah, kalian akan lebih berdaya guna. Menemani anak bermain, membetulkan kran bocor, mencuci mobil dan motor, mengecat pagar, mengantar orang tua kondangan, mengantar istri ke pasar, dan lain-lain. Lebih berguna, bukan? Let's just embrace the slow culture!

Atau, cobalah berhenti sejenak dan lihat apa saja yang sudah kalian lewatkan. Anak yang tiba-tiba sudah besar tanpa kalian pantau perkembangannya, orang tua yang sudah kalian cuekin, teman lama yang sudah lama kalian tidak hubungi, buku-buku yang plastiknya belum dibuka, atau hobi-hobi yang sudah lama kalian tinggalkan. Pastinya dunia tidak sesempit kubikel kerja kita.

Lagian kalo kita sudah gak ada lagi di dunia, emangnya perusahaan kita bakalan ingat? Kalau kita resign, kita akan mudah digantikan. Kita tidaklah lebih dari sebuah baut kecil dalam sebuah mesin yang besar. Yang mengenang kita adalah keluarga kita, dan jangan lupa kalo kita akan dikenang berdasarkan apa yang kita perbuat selama hidup.

Selasa, 10 Oktober 2017

Untuk Kita, Makhluk Akhir Zaman

Ada dua jenis ceramah atau kajian agama Islam yang gue suka, yaitu yang membahas tentang sejarah dan yang membahas tentang akhir zaman. Dengan belajar sejarah Islam, kita bisa tahu urutan peristiwa yang terjadi pada saat lahirnya agama Islam hingga sekarang. 

Apa yang membuat Islam pernah berjaya hingga ke daratan Andalusia, lalu apa yang menyebabkan runtuhnya khalifah pada tahun 1920an. Dengan belajar sejarah, percayalah bahwa iman kita bakal bertambah. Ini penting banget supaya kita gak terkontaminasi sama fitnah-fitnah yang memang menjadi ciri khas akhir zaman.

Bagaimana dengan belajar tentang akhir zaman? Mempelajari soal ini, berarti kita mempelajari masa depan. Kita memang tidak pernah tahu betul apa yang bakal terjadi, tapi semua memang sudah dituliskan. Lagi-lagi, kita harus mengimani apa yang sudah ditulis dalam kitab suci Al Qur'an dan hadis-hadis sebagai bagian dari Rukun Iman. 

Kalo kita pelajari semua, memang terkesan seram dan penuh huru-hara serta kehancuran. Banyak hal menyeramkan yang akan terjadi. Lalu pertanyaannya, apa yang harus kita perbuat?

Tidak lain, kita diminta untuk terus menjalankan hidup. Gue sendiri pernah mendengar sebuah perkataan bijak, bahwa jika kita mengetahui besok adalah hari kiamat tetapi di tangan kita ada sebuah bibit tanaman, maka kita tetaplah menanam bibit itu. Begitulah sikap kita sebagai Muslim.  

Iman kepada hari kiamat menjadi bagian dari Rukun Iman. Kalo kita gak percaya sama hari kiamat, berarti kita gak percaya sama Rukun Iman, yang dengan kata lain, kita gak percaya sama agama kita. Sorry to say, ini adalah sebuah penghakiman yang sangat jelas terang benderang.

Percaya sama hari kiamat, kalo menurut gue, bukan sekadar percaya lalu menjalani hidup tanpa mempersiapkannya. Karena kita punya ilmu dan punya waktu, sudah seharusnya kita rajin membaca dan mencari tahu seperti apa tanda-tanda kiamat. Persiapan fisik memang perlu, tapi lebih perlu lagi adalah persiapan dalam hal keimanan dan mengumpulkan kebaikan agar kita gak bergabung dengan golongan yang salah pada saat huru-hara besar itu terjadi. Karena konon, "golongan yang salah" itu malah sudah membaca lengkap hadis-hadis yang berasal dari nabi kita, dan karena memang mereka pada dasarnya kaum yang ingkar, mereka malah sudah mempersiapkan diri dengan cara mereka sendiri berdasarkan hadis nabi kita yang sudah mereka baca!

Dengan mengetahui tanda-tanda kiamat, kita akan mampu membaca zaman. Sudah berada di fase manakah kita. Tanda-tanda yang kita alami sudah banyak sekali. Gue gak akan jelaskan panjang lebar, silakan buka Youtube dan ketik tentang akhir zaman, di sana bakal banyak banget kita temui ustadz yang membahasnya dengan selengkap-lengkapnya. Memang ada ustadz yang membahasnya dengan terlalu banyak memakai metode “cocoklogi”, yaitu metode yang mengubung-hubungkan peristiwa satu dengan yang lain, padahal belum tentu benar. 

Saran gue, ambil aja ilmu dan ingat hadits-haditsnya, tapi gak usah terlalu dipikirin “cocoklogi-nya”. Tidak perlu sampai meledek apalagi menghina ajaran yang datang dari orang-orang yang ahli agama. Karena sebaik-baik umat di akhir zaman, adalah mereka yang tetap menegakkan keimanan, terlebih mereka yang berdakwah. 

Buat apa takut belajar tentang akhir zaman, padahal kita ini ya makhluk-makhluk akhir zaman. Semua bakal terjadi, hanya masalah waktu aja, entah akan terjadi di zaman anak-anak atau cucu-cucu kita, atau malah terjadi pada kita sendiri. Gak ada cara lain selain mempertebal keimanan dan mempersiapkan generasi penerus yang juga paham dengan situasi ini, biar mereka gak salah langkah dan salah pilih.


Kamis, 05 Oktober 2017

Where Have You Been All My Life, Rosanna?

Rosanna. Sudah pasti Rosanna adalah nama seorang wanita, bukan nama mas-mas. Tipikal cewek populer jaman SMA dan jadi rebutan pas jaman kuliah. Cewek idaman yang diperebutkan cowok-cowok, tapi mereka tetap berlaku sopan kepadanya karena memang kualitasnya bukan bohongan dan perilakunya tidak murahan.

Cewek bernama Rosanna ini telat gue kenal. Ehem, maksudnya dalam hal ini, lagu berjudul Rosanna milik band Toto ini benar-benar terlambat gue denger. Semuanya gak sengaja. Gue yang kesal karena music player di mobil tiba-tiba rusak, terpaksa menyetel radio. Padahal gue termasuk jarang dengerin radio karena ya namanya radio kan umumnya pasang songs jaman now, yang gue gak terlalu cocok.

Untungnya ada beberapa radio memang yang memiliki program semacam flashback, atau sengaja memainkan lagu-lagu dari era lawas, di mana saat itu musik benar-benar digarap seperti layaknya musik beneran. Songs jaman past emang beneran berkualitas. 

Di sinilah kuping gue bertemu Rosanna. Samar-samar, lagu ini seperti gak asing. Potongan-potongan lagu ini seperti pada part: 

"Meet you all the way...
Meet you all the way... Rosanna, yeah!" 

Part ini sepertinya sering gue denger pada masa yang gue juga lupa kapan. 

Karena jatuh cinta pada pendengaran pertama, gue mencoba melakukan riset sederhana tentang lagu ini. Lagu Rosanna menjadi andalan dalam album Toto berjudul IV. Rilis tahun 1982 dan meledak pada tahun 1983, tepat saat gue lahir. Terdengar masuk akal jadinya, mungkin emak gue pernah dengerin lagu ini pas gue masih bayi. 

Tiga puluh tahun lebih gue terpisah dengan lagu ini, lalu akhirnya ketemu pada saat yang gak diduga-duga. Udah kayak ketemu temen lama atau harta karun aja.. Dan sekarang, gue langsung menempatkan Rosanna di jajaran lagu paling enak yang pernah gue denger. Lagu-lagu lainnya menurut gue adalah Can't Stop Loving You dari Van Halen, Five Magics dari Megadeth, Dancing in the Moonlight dari Thin Lizzy dan You Could Be Mine dari Guns 'n Roses. 

Berusaha terdengar logis, apa yang membuat Rosanna sebegitunya? Gue gak pernah mentingin lirik dalam menilai lagu, tapi kalau membaca cerita di balik judulnya, nama Rosanna "dipinjam" oleh David Paich, si penulis lagu dari Rosanna Arquette, perempuan yang jadi pacar Steve Porcaro, rekan satu band dia saat itu. Lagu ini bukan menceritakan tentang si Rosanna Arquette, karena menurut Paich, lagu ini menceritakan soal high school romance. Nama Rosanna dipilih murni karena enak didengar dan mudah diingat sebagai imaji dari wanita yang disebutkan tadi di awal paragraf.

Lalu dari segi musikal, lagu ini jelas punya segalanya buat jadi superstar. Gampang dicerna, padahal "berat". Ketukan drum Jeff Porcaro yang gak lazim, biasa ia sebut half time shuffle adalah ketukan yang sampai sekarang belum bisa gue tiru. Biasanya, gue gak bisa meniru komposisi drum untuk lagu yang mengandalkan kecepatan atau teknik yang terlalu ruwet. Nah, si Jeff ini, yang udah almarhum, menggunakan pola yang betul-betul jarang digunakan di lagu populer. Terdengar gampang, padahal pas dimainin susah banget. 

Dalam genre jazz, mungkin pola seperti ini sering didengar. Tapi Porcaro memasukkannya di lagu populer yang kemudian bisa diterima oleh khalayak ramai. Tidak salah lagi, Jeff Porcaro adalah seorang drummer sekaligus musisi yang underrated. Dan lagu ini adalah superstar

Belum lagi keyboard solo yang saling bersahutan dengan nada yang ikonik, vokal Bobby Kimball yang sama merdunya ketika menyanyi dengan suara rendah dan tinggi, juga solo gitar dari Steve Lukhater yang gak kalah gahar. Pokoknya gak ada yang ngalahin lagu ini. Jadinya sangat wajar ketika gue bertanya-tanya, ke mana aja sih Rosanna selama ini?

Rabu, 27 September 2017

I Hate Farewell

I have to admit, that I am very suck at saying goodbye. Farewell. I may have pissed or upset with some institutions, e.g. school, workplace, office, campus. But when it’s time to end the tenure then say goodbye to those places.. damn, it wasn't easy.

Once again, I may have pissed or being upset with them. I may have been treated unfairly, or being abused. But when I submitted the letter of resignation, or when I told the authorized person about my intention of leaving, all of the anger turned into sadness and doubts.

Suddenly, everything seems changed. Suddenly, they looked very nice, everything seems fun, and it was like I questioned my decision of leaving. I felt like my decision of leaving based on emotional rather than rational reason.

“Is this the right decision? Haven’t I put my best effort to resolve all the issues?” or something like “Will I be ok in the new place? Will I find better environment? Can I get along with new friends? What if I fail?"

And when the time had come to said goodbye to all my friends, my partner in crime.. I have to admit, that part was the toughest. Because based on my experiences, I decided to leave due to disagreement with the one who run the show: the management, the bosses, the teachers. But I barely had arguments with my peers. That’s why, for me, farewell’s sucks. 

Farewell, for me is when I took decision to follow my head. I had to go to find a better place. But deep inside, I had never wanted to leave. That’s why when my friends asked me to say few words to express my feeling, I didn’t know what to say. I lost for words. See? I am very suck at farewell.

Maybe this is the common feeling in every farewell or separation. But this is just a fact of life. There are always "goodbye" in every "hello". Only a matter of time. We are all gonna die anyway. 

Senin, 18 September 2017

Lima Lagu Pop/Rock Indonesia Terbaik

Setelah lama gak bikin entri soal musik (siapa juga yang nungguin?), akhirnya gue balik lagi. Sebelum gue mengikuti gagasan bahwa musik itu haram, ya gue buat dulu aja entri ini. Sebagai bukti kalau gue pernah tersesat terlalu jauh. Anyway, yang mau gue tulis adalah lima lagu pop/rock Indonesia terbaik. Yah mirip-mirip dengan yang ada di sebuah situsweb. Tapi kan kalo di situsweb itu versi artis. Karena ini adalah pendapat gue pribadi yang bukan artis, maka gue merasa tidak ada signifikansi dalam tulisan ini. Hanya pendapat pribadi yang sama sekali gak ada landasan teori dan gak bisa dijadikan patokan.

Langsung aja deh. Ini dia lima lagu pop/rock terbaik Indonesia versi gue:

Balik Telapak Tangan – Slank
Jujur aja sih sebenernya gue jarang menilai lagu dari kualitas lirik. Tapi untuk yang satu ini, lirik yang terdapat dalam lagu gubahan Slank bukan hanya merakyat, tapi kalo buat gue sih cocok dijadiin prinsip hidup. Vokal Bimbim di lagu ini mungkin bukan yang paling merdu untuk didengar, lalu aransemennya juga gak ada yang istimewa-istimewa amat.

Tapi seperti halnya ciri khas band Slank, bukan skill atau aransemen ribet yang jadi kekuatan mereka. Ketika lo mendengarkan Slank dengan lirik-liriknya yang realistis dan mengena seperti halnya lagu ini, ya elo bakalan suka aja.

Jengah – Pas Band
Gak usah bawa-bawa KBBI untuk menikmati lagu ini. Karena seperti kebanyakan yang terjadi, kata “jengah” menjadi salah satu kata yang sudah terlanjur diartikan secara keliru. Menurut KBBI, jengah adalah “malu atau kemalu-maluan”. Begitu mendengarkan lagu ini dan menghubungkan kepada konteks lirik, jelas artinya menjadi semakin salah kaprah.

Tapi sekali lagi, ini kita ngomongin lagu, bukannya tata atau kaidah bahasa. Betapa pun salah kaprahnya lagu ini terhadap makna bakunya, tetap gak menghilangkan fakta bahwa aransemen lagu ini sangat mantap. Secara teknikal, drum, bass, gitar dan vokalnya luar biasa. Gue bisa mendengarkan lagu ini berkali-kali tanpa merasa jengah.. eh maksudnya bosan.

Cukup Siti Nurbaya – Dewa 19
Tema yang gak terlalu umum tapi cukup sering terjadi di realita, cocoklogi yang pas, juga aransemen keren didahului oleh lagu akustik syahdu berjudul I.P.S. jelas menjadikan lagu ini sangat megah. Vokal Ari Lasso yang melengking, backing vokal Lilo yang proporsional, juga rhythm section yang ribet menjadikan lagu ini bagaikan superstar. Belum lagi solo gitar Andra yang keriting seperti biasa.

Kiranya – Protonema
Gue bukan fans berat band ini, dan hanya tahu sedikit aja lagu dari mereka. Tapi satu lagu ini betul-betul berkesan. Matang. Inilah yang pertama kali terpikirkan ketika dengerin lagu ini secara utuh. Dari intro, verse, chorus, bridge sampai solo gitar kedengeran banget kalo lagu ini memang dipikirin banget, dikulitin banget, dikulik banget macam persiapan seorang staf ahli dalam menyiapkan bahan presentasi untuk bosnya.

Semuanya serba pas, proporsional, effortless. Dan pada akhirnya menjadikan sebuah lagu yang timeless.

Sobat – Padi
Sebagai penggemar ketukan drum Yoyok, rasanya gak mungkin untuk gak memasukkan band ini di dalam daftar. Memang sulit memilih yang terbaik di antara lagu-lagu band Padi yang emang berkualitas. Tapi kalau menggabungkan kenyamanan aransemen, rhythm section yang solid dan kedalaman lirik, rasanya lagu inilah juaranya. Sebetulnya gue masih bingung milih lagu ini atau “Sang Penghibur” atau “Hitam” di dalam daftar, tapi gue akhirnya memilih lagu ini karena memang lagu inilah yang mengenalkan band Padi ke dunia musik Indonesia.


Selasa, 15 Agustus 2017

Mimpi 400 Kopi

Saya ini orangnya seneng kalo disuruh nyemangatin atau memotivasi orang lain. Tapi kalo udah menyangkut diri sendiri, saya suka minder. Berbicara soal penerbitan buku La Storia: Kumpulan Cerita Menarik AC Milan Era Berlusconi yang sudah rilis akhir Juli lalu, saya juga mengalami hal yang sama.

Sejak akhir tahun 2016 saat kami mulai sering ketemuan untuk ngobrolin sepak bola dan hal-hal kurang penting lainnya, Syakib, si penerbit buku Kawos Publishing sering meminta saya untuk mempublikasikan buku. Padahal, saya sama sekali tidak merasa punya kapasitas untuk itu. Tapi ketika kami sering ngobrol tentang dunia penerbitan buku dan dunia literasi (tsaaahh), lama kelamaan saya ikuti juga sarannya. Gak ada ruginya kok dicoba, pikir saya waktu itu.

Februari 2017, saya pun mulai mengumpulkan materi tulisan. Beberapa materi sengaja saya ambil dari entri lama blog pribadi dan beberapa tulisan yang pernah saya kirim ke media-media daring. Setelah itu, tulisan saya perbaharui seperlunya, lalu saya gabungkan dengan tulisan-tulisan baru, lalu saya susun berdasarkan tema. Dalam waktu tiga bulan, seluruh naskah rampung, dan saya kembali kepada Syakib.

Tanpa banyak revisi dan komentar, Syakib dan juga Bang Ucup (Andibachtiar Yusuf) menyetujui naskah, lalu kemudian bergeraklah saya mencari teman yang lain untuk membuat desain sampul buku. Untungnya, saya kenal baik dengan Galih Satrio, desainer berbakat yang karyanya sudah go International (dikontrak oleh sebuah media dari Prancis, man!).

Untungnya lagi, kerjasama dengan Galih sangat mudah karena orangnya memang gak ribet. Hanya bermodal percakapan via ponsel, kami ngobrol soal tema buku, konsep sampul, lalu beberapa hari kemudian dia sudah kembali dengan beberapa konsep. Setelah saya kirimkan konsep itu kepada penerbit, mereka tinggal memilih salah satu, lalu kemudian buku siap masuk percetakan. Penerbit memutuskan mencetak 1.000 kopi buku.

Sebelum lebaran, buku naik cetak. Momen ini digunakan penerbit untuk mulai berpromosi. Buku siap dipesan lewat mekanisme PO (pre-order), yang baru akan sampai ke tangan pemesan kurang lebih sebulan setelahnya. Pada fase inilah pesimisme saya kembali muncul. Saya lalu bertanya kepada Syakib, berapa eksemplar penjualan yang dibutuhkan untuk setidaknya “balik modal”, yang kemudian dia jawab “Cukup 400 kopi.”

Dari angka itulah, saya mencanangkan target penjualan 400 kopi buku. Minimalis aja, toh waktu saya menerbitkan buku Piala Dunia bersama Gagas Media tahun 2014, buku itu hanya laku 200an kopi saja.

Setelah lebaran, saya dapat kabar kalau terjadi keterlambatan dari pihak percetakan, yang berimbas pada molornya waktu terbit hingga dua minggu. Saya merasa gak enak dong sama yang udah pesen. Kebetulan, saat itu yang sudah pesan sekitar 100 orang, jumlah yang juga saya gak sangka karena pre-order baru dibuka sekitar dua mingguan.

Bantuan lalu datang dengan masuknya beberapa reseller. Kebetulan, mereka memiliki banyak ‘massa’ dalam bentuk follower di akun media sosial yang mereka kelola. Hasilnya cukup tokcer, karena dari salah satu reseller saja, pemesanan mencapai lebih dari 200 buku. Saya makin kaget karena jumlah ini belum termasuk pemesanan yang dilakukan oleh basis kelompok suporter Milan, yaitu Milanisti Indonesia. Lewat pertemanan Bang Ucup, kerjasama dengan Milanisti Indonesia terealisasi, dengan hasil 400 orang memesan buku saya. Kira-kira setelah pre-order ditutup, sudah ada 800an pemesan yang membeli buku saya. Wow, dua kali lipat dari target awal yang saya canangkan!

Pasca ditutupnya pre-order, ternyata penjualan tidak berhenti. Masih ada beberapa pemesan lain yang menghubungi pihak penerbit, lalu kemudian dalam waktu kurang dari sebulan setelah pre-order ditutup, ternyata buku sudah habis. Syakib kembali menghubungi saya untuk mengabarkan bahwa cetakan kedua tengah dipersiapkan. Rencananya, 500 kopi akan dicetak untuk memenuhi animo pembeli yang masih berdatangan.

Saya masih tidak menyangka, ternyata penjualan buku sederhana hasil dari kesan-kesan saya mendukung Milan selama lebih dari 20 tahun telah dibaca 1.000 orang. Pemesannya pun hadir dari seluruh wilayah Indonesia. Dari tab mention akun Twitter, beberapa pembeli memfoto buku saya dari daerah tempat tinggalnya masing-masing. Memang kebanyakan masih di wilayah Pulau Jawa dan beberapa lagi di Sumatra, tapi ada pula beberapa pemesan dari wilayah tengah dan timur Indonesia seperti Alor, Palopo, hingga Papua.

Khusus Papua, saya memiliki kesan tersendiri. Kebetulan, Ricardo Salampessy, pemain sepak bola profesional yang bermain di Persipura bersedia menuliskan kata pengantarnya di buku saya. Karena hal inilah, dia kemudian memfollow akun twitter saya! Ketika saya hendak mengirimkannya dua kopi buku, saya pun berkomunikasi dengan dia via whatsapp, juga sempat berbicara via telepon. Gara-gara buku sederhana ini, saya jadi kenal sama pemain tim nasional!

Ini bukannya mau pamer atau gimana. Apanya yang mau dipamerin kalau terealisasinya buku ini lebih karena faktor pertemanan saya dengan para penerbit, bukan karena materi buku yang cemerlang. Karena di buku ini, saya memang lebih banyak membagikan kesan dan membangkitkan memori. Saya yakin sekali kalau ada banyak penulis yang lebih hebat dari saya, juga pengalamannya lebih banyak. Lalu ketika buku ini mendapat sambutan luar biasa, ini pun karena faktor pertemanan Bang Ucup yang sangat luas, hingga bisa mempromosikan buku ini secara tepat sasaran.

Anyway, rilisnya buku ini memberi saya motivasi. Motivasi untuk terus belajar, terus membaca, terus menonton, mengamati dan menghayati setiap pengalaman yang saya dapat. Siapa tahu saya bisa menelurkan karya-karya berikutnya, malah bisa jadi di luar sepak bola. Jika harus menerbitkan buku kedua, tentu saja pembaca mengharapkan pengalaman berbeda, syukur-syukur memberikan manfaat. Karena banyak sekali orang yang mengalami sindrom karya kedua. Begitu banyak karya musik yang cemerlang pada album pertamanya, tetapi melempem di album kedua, hal yang sama juga berlaku di dunia film.

Berawal dari mimpi 400 kopi (ala-ala Mimpi Sejuta Dollar gitu lah), saya pun akan berusaha terus berkarya. Dan karena keinginan menghasilkan karya ini selalu ada, maka tugas saya adalah terus meningkatkan kualitas di segala lini, juga menambah pertemanan dengan banyak pihak yang memang memberikan manfaat.


Kenapa Saya Tetap Gunakan Twitter

Saya udah sering ketemu teman dari sesama Gen-Y yang udah gak main media sosial Twitter. Kebanyakan dari mereka sekarang ini lebih sering berekspresi di Path, Instagram, atau malah balik lagi ke Facebook. Saya gak nanya alasannya kenapa sih, tapi kalo yang Saya duga, kebutuhan berekspresinya aja yang udah berubah.

Di Path, walaupun sekarang udah ada iklannya, kita bisa memposting aktivitas kita bahkan ke hal-hal paling remeh seperti tidur jam berapa, juga mempercantik status dengan #pathdaily. Jumlah teman yang dibatasi membuat Path terasa lebih personal, lalu konten-konten yang ada di dalamnya lebih ringan, dan sepertinya inilah yang menjadi nilai lebih yang dicari-cari.

Instagram, yang kini hanya kalah jumlah penggunanya dari Facebook dan Youtube sebagai platform social networking, juga menawarkan hal lain kepada para Gen-Y. Berjamurnya akun-akun produk begitu memanjakan para Gen-Y yang sedang tinggi hasrat berbelanjanya.

Lalu bagaimana dengan Twitter? Siapa yang bisa tergelak dan tergerak dengan barisan kata-kata yang hanya terdiri dari 140 karakter? Hanya berbentuk tulisan pula, tidak pakai meme lucu. Mengunggah gambar dan video juga dirasa kurang asik di Twitter, karena ya Twitter itu terlalu massal. Kecuali jika kita gembok akun Twitter supaya hanya di-follow oleh orang-orang yang kita mau, follower di akun kita itu bermacam-macam orang, dan saya rasa sih follower Anda gak akan tertarik juga melihat foto selfie yang sedang makan bakso kuah saat hujan turun. Alasan kita mem-follow seseorang atau sebuah admin di Twitter, menurut saya lebih karena kebutuhan akan informasi, bukan kepengen tahu kisah personal.

Dilihat dari tampilan, Twitter juga sangat old fashioned. Fungsi Twitter yang paling hebat paling dibuatkan chirpstory, tentu membatasi tendensi para netizen budiman yang senang berkomentar atas segala sesuatu, walaupun yang bukan pada bidang keahliannya.

Tentang banyaknya yang kembali ke Facebook, Saya sih melihat alasannya karena di platform ini, para netizen Gen-Y bisa dengan leluasa membagikan apa saja di wall teman-temannya, terutama pandangan politiknya. Dengan mantra “Feel free to unfriend/unfollow kalo gak nyaman”, dan dengan motto “pilihan saya paling benar dan yang lain salah”, para netizen garis keras yang juga membela suatu golongan dengan militan ini merasa enak-enak saja untuk mem-posting konten yang mengamini pemikiran mereka.

Tapi buat saya sih, Twitter tetap paling nyaman. Selain karena kesederhanaan dan kemudahan menggunakannya tadi, tetap saja berita-berita yang berseliweran ini lebih cepat saya dapatkan dari Twitter. Selain itu, karena memang sudah lama menggunakannya, saya juga sudah follow akun-akun yang memang asik, juga beberapa “teman Twitter” yang asik diajak ngobrol. Well, di Twitter juga banyak yang snob dan sok tau sih, tapi untungnya ada fitur “Mute”, dan untuk beberapa orang yang emang bener-bener bikin males, saya bakal unfollow. Dan alasan terakhir, di Twitter ini saya gak di-follow sama saudara atau teman kantor! Itu penting banget demi kebebasan nge-twit. Hahaha.

Rabu, 02 Agustus 2017

Di Indonesia, Kita Tidak Boleh Kehilangan

Andibachtiar Yusuf, atau dikenal dengan nama panggilan Ucup, seorang sutradara film dan penggemar fanatik sepak bola, baru saja merampungkan bukunya yang berjudul Menjadi Indonesia. Tanpa bermaksud jadi spoiler, salah satu dari kumpulan esai pendek itu berisi tentang pengalamannya membandingkan penanganan kehilangan barang antara di Indonesia dengan negara-negara yang lebih maju dan teratur seperti Jepang.

Ucup menceritakan bahwa jika kita kehilangan barang saat berada di negara Jepang, maka kita tidak perlu khawatir karena kemungkinan besar bahwa barang kita itu akan kembali secara utuh. Saya juga pernah mendengar cerita dari teman yang lain yang juga pernah mengunjungi negeri Matahari Terbit itu. Ia pernah melihat sebuah ponsel yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan tanpa ada seorangpun yang berani menyentuhnya. Jangankan ngambil, megang aja enggak! Lalu menurut informasi yang dia dapat dari orang-orang, ponsel berjenis iphone itu nantinya akan diambil kembali oleh pemiliknya, karena ia akan mudah saja melacak melalui aplikasi pelacak ponsel hilang. Selain itu, CCTV juga ada di mana-mana, dan jika Anda nekat mengambil iphone itu, maka siap-siap saja diciduk polisi. 

Meski demikian, orang-orang Jepang ini tentu saja sudah tahu bahwa mengambil yang bukan haknya adalah kejahatan. Dan tanpa adanya ancaman penangkapan, mereka sudah tahu kalau iphone itu bukanlah miliknya, jadi mereka tidak akan mengambil. Itulah keteraturan, dan begitulah ciri sebuah negara yang beradab.

Tentu sulit membandingkan negara-negara maju itu dengan Indonesia. Malah bisa jadi sepuluh jilid buku sendiri untuk itu. Tapi ya memang benar, di sini tuh memang harus ekstra waspada. Semenit saya barang kita tinggal tanpa pengawasan, maka sudah berpindah tangan secepat kilat. Saya sendiri sering mendengar cerita tentang hilangnya ponsel teman saya akibat dia kelupaan meninggalkannya di toilet kantor. Padahal, toiletnya ada di kantor, bukan di tempat umum.

Sementara saya juga pernah mendapatkan pengalaman yang tidak kalah ngenes. Ketika sedang terburu-buru, saya melupakan ponsel yang saya tinggal di atas mesin ATM di sebuah minimarket modern di Depok, dekat dengan rumah saya. Sepuluh menit setelah saya menyadari, ponsel itu sudah raib, dan ketika saya lacak melalui aplikasi, ponsel telah berpindah 10 km ke arah Ragunan! Hebatnya lagi, mas-mas petugas minimarket yang saya minta tolong untuk mengakses CCTV, kerjanya sungguh lambat luar biasa. Dia meminta izin kepada saya untuk mengecek komputer CCTV dari dalam kantor, lalu kembali ke saya 30 menit kemudian hanya untuk mengabarkan bahwa ia tidak bisa memutar balik (rewind) CCTV karena ia lupa password! Kompetensi dan komitmen mas-mas ini betul-betul tiada banding! Benar-benar layak dihadiahi penghargaan sebagai karyawan teladan seumur hidup, dan benar-benar layak tampil di TV nasional untuk menerima hadiah sepeda dari bapak presiden!

Sebetulnya dia menawarkan bantuan lain, yaitu mengakses lewat CCTV yang ada di mesin ATM, tapi dia langsung membeberkan berbagai keruwetan khas birokrasi, yang mana saya harus mengisi Berita Acara ini-itu, melapor kepada si itu dan si anu. Apa saja ia katakan untuk membuat saya mengurungkan niat. Hebat betul, kan?

Ya, saya memang akhirnya mengurungkan niat, dan si mas-mas itu akan melanjutkan hidup dengan membawa serta keteladanannya dalam bekerja, sambil mengunyahi produk mecin, menenggak multivitamin berkarbonasi satu pak sehari, dan memberi komentar cerdas pada artikel politik di Facebook. 

Selain karena ponsel yang hilang itu bukan jenis iphone yang mahalnya naudzubillah, saya juga telah memblok data-data ponsel saya, termasuk melakukan reset password semua akun media sosial yang saya punya. Tidak lupa, saya pun mengikhlaskan kehilangan ini sembari berharap si maling mendapatkan hidayah karena bela-belain segitunya ngambil ponsel yang harganya sungguh tidak seberapa!

Tapi tetap saja, ini menunjukkan sisi bobrok kelakuan rakyat yang suka maling dan gak jujur, karyawan toko yang gak kompeten dan gak mau susah, dan segala perangkat keamanan yang hanya jadi pajangan.

Setelah membaca buku Ucup dan membandingkannya dengan situasi sehari-hari, rasanya memang benar bahwa Menjadi Indonesia bukanlah hal yang gampang. Kita harus waspada pada barang milik sendiri, karena kalau sudah ketinggalan, agak sulit rasanya berharap ada orang berhati budiman yang sukarela mengembalikannya kepada kita. Saya malah pernah dengar cerita teman saya yang kehilangan STNK motor, lalu si penemu STNK mendatangi rumahnya untuk mengembalikan, tetapi terus terang meminta imbalan dengan jumlah besar. "Yah, masih lebih murah kan mas, daripada ngurus STNK baru di Samsat?" Betul-betul potret manusia yang memiliki sifat tulus, ikhlas, ridho, berjiwa perwira yang layak dilestarikan serta namanya diabadikan sebagai nama kantor Samsat. 

Jangan pula berharap banyak pada sistem yang ada, karena biasanya cuma pajangan doang.  

Saya tidak bilang tidak ada orang seperti itu di Indonesia ya, tidak maksud melakukan generalisasi. Hanya saja sangat jarang.

Minggu, 30 Juli 2017

Memangnya Jadi Traveller Pasti Bijak?

Di era digital sekarang ini, entri berupa meme, atau gambar bertuliskan kata-kata singkat yang memiliki makna, begitu menjamur. Beberapa di antaranya cukup berguna dan inspiratif, dan sisanya menjadi sampah digital yang dilupakan.

Salah satu meme yang cukup saya ingat adalah yang bertuliskan kurang lebih begini: Kalau elo masih gampang tersinggung, mungkin pengalaman lo kurang banyak, main lo kurang jauh.

Hmm.

Pembuat meme ini seperti memberi keabsahan bahwa mereka yang pengalaman hidupnya sudah banyak--ditegaskan dengan aktivitasnya yang sering bepergian--niscaya akan menjadi orang yang sabar, dewasa, dan tentunya bijak.

Sebelum adanya meme ini pun sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang menyeru kita untuk bepergian dan melakukan perjalanan untuk mengagumi ciptaanNya, kalau dalam Islam kegiatan ini dikenal dengan sebutan tafakur alam. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk membuat kita merasa kecil di hadapanNya, dengan cara melihat lebih banyak lagi keindahan alam dan keragaman budaya di seluruh penjuru dunia.

Tapi ternyata tidak selamanya kok, orang yang pengalaman hidupnya banyak dan perginya udah jauh-jauh itu lantas menjadi bijak.

Saya sendiri mengenal banyak orang yang sudah sering bepergian ke mana-mana. Lima benua, lima samudera mungkin sudah dijelajahi. Album-album fotonya penuh dengan perjalanan dari Santorini hingga San Fransisco, dari pulau di ujung barat hingga timur Indonesia.

Tapi kok ya, orangnya begitu-begitu aja. Masih suka sensi kalau dibecandain, masih suka ribut-ribut di grup whatsapp, masih suka ngaret kalau janjian, masih buang sampah sembarangan dari mobilnya, masih suka nyerobot antrean, masih gak ngerti kalau harus memprioritaskan tempat duduk kepada orang-orang tertentu di tempat umum, masih gak ngerti untuk mendahulukan yang keluar dari lift, KRL atau bis Transjakarta. Dan sebagainya. Lalu ke mana perginya hasil pembelajaran dari pergi jauh-jauh itu?

Yang ada malahan dia malah jadi snob. Merasa dirinya lebih baik daripada orang lain. Apa bedanya mereka dengan para penikmat kopi sejati yang menghakimi para peminum kopi sachet?

Saya pun bertanya-tanya, kenapa perjalanan jauh dan pengalaman banyak yang mereka dapat tidak mengubah sosok mereka menjadi lebih baik. Dengan catatan, tentunya tidak semuanya seperti itu. 

Kemungkinan besar, mereka bisa menyesuaikan kelakuan ketika menjadi turis di negara atau daerah orang, tapi ketika kembali ke tempat asal, kebiasaan buruk dan karakternya toh kembali lagi seperti sedia kala. Atau mungkin, tujuan perjalanannya hanya sebatas foto-foto narsis di tempat yang instagram-able.

Travelling memang menyenangkan dan bermanfaat, tapi apa iya menjadi traveller menjamin seseorang jadi lebih bijak? Dan apa iya harus keliling dunia dulu untuk mengerti cara berperilaku dewasa?


Selasa, 11 Juli 2017

Memaknai Sharpen the Saw Melalui Hiatus

Teman-teman tentu tahu tentang cerita berjudul Sharpen the Saw, salah satu dari cerita yang menjadi isi dari buku pengembangan manajerial ternama berjudul 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey yang legendaris itu.

Sharpen the Saw, atau jika diterjemahkan bebas menjadi Mengasah Gergaji, menjadi habit atau kebiasaan nomor tujuh yang direkomendasikan penulis untuk menjadi orang (pemimpin) yang efektif. Tolok ukur efektif sendiri sudah jelas, yaitu orang ini mampu mengerjakan tugas demi tugasnya dengan cerdas, dengan memanfaatkan seluruh sumber daya serta teknologi yang dimiliki, dan yang karena itulah upaya yang dilakukannya lebih minim. Seringkali kualitas pimpinan dinilai dari seberapa efektif ia menyelesaikan tugas (kualitas), dan seberapa banyak yang mampu ia selesaikan (kuantitas).

Diletakkannya Sharpen the Saw di urutan terakhir bisa berarti macam-macam. Saya sih belum pernah membaca lengkap buku itu, belum pernah juga mengikuti pelatihannya. Tapi kalo saya tebak-tebak, bisa jadi karena kegiatan ‘mengasah gerjaji’ ini adalah sesuatu yang perlu dilakukan setelah membiasakan diri pada enam habits sebelumnya, yaitu be proactive, begin with end in mind, put first thing first, think win-win, seek first to understand then to be understood, dan synergize.

Keenam habits itu perlu dipertahankan, diperkuat, dipertajam. Ini memerlukan habits ketujuh, yaitu sharpen the saw tadi.

Kalau boleh saya ceritain secara singkat, ceritanya pada suatu malam, ada dua orang, satu masih muda dan yang lain sudah agak tua. Mereka sedang berlomba memotong pohon. Siapa yang lebih banyak memotong pohon ketika pagi tiba, dia yang menang.

Si muda tentu memiliki tenaga lebih besar. Tanpa banyak basa-basi, dia mulai memotong pohon dengan gergajinya. Satu demi satu pohon berjatuhan. Ia di atas angin. Sementara yang agak tua, ia juga memotong pohon dengan gergajinya. Tapi karena tenaganya kalah kuat, hasilnya tentu lebih sedikit daripada si muda.

Melihat hal itu, si anak muda makin percaya diri. Ia terus melakukan apa yang ia lakukan: memotong pohon tanpa henti, meski kecepatannya mulai menurun karena ia mulai kelelahan dan gergajinya mulai aus. 

Apa yang dilakukan oleh si agak tua? Ia berhenti sejenak. Si anak muda pun bingung dibuatnya, tapi ia malah tertawa dan terus memotong. Ia malah merasa saingannya itu sudah menyerah. Tapi ternyata, si pria agak tua itu sedang berhenti untuk beristirahat, lalu mengasah gergajinya. Setelah cukup beristirahat dan gergajinya berfungsi normal, ia kembali memotong pohon.

Beberapa jam kemudian, ternyata si pria muda tertidur saking lelahnya. Gergajinya juga sudah tumpul, akibatnya tidak bisa digunakan untuk memotong pohon. Sementara pria yang agak tua tadi masih sibuk menggergaji. Tenaganya masih ada, dan kondisi gergajinya tetap prima. Semua itu karena ia rajin mengasah, juga memberi waktu dirinya sendiri untuk beristirahat.

Kenapa sharpen the saw demikian pentingnya. Karena tidak lain, kita terkadang merasa lupa untuk mengembangkan diri. Sharpen the saw adalah manifestasi dari banyak hal rutin yang biasa kita temui sehari-hari. Hal-hal biasa yang sudah kita pahami, tapi karena rutinitas yang terlalu padat, kita kadang lupa lakukan pengembangan. Misalnya saja, kita berprofesi sebagai akuntan. Setiap hari kita akan menghadapi rutinitas akuntansi yang itu-itu saja. Jika kita tidak mengasah diri, misalnya mengikuti training, maka boleh jadi kemampuan kita tidak terasah, dan lama-lama menjadi tumpul.

Itu kalau akuntan. Lain lagi dengan profesi yang lebih mengandalkan otak kanan seperti pemain teater, musisi atau penulis. Memang pekerjaan-pekerjaan itu butuh latihan, belajar, dan berguru yang kontinyu demi meningkatkan kualitas. Tapi kalo dari pengalaman saya, ada hal yang tidak kalah penting selain terus berlatih, belajar dan berguru. Hal penting ini adalah beristirahat, seperti si penggergaji tadi. Atau istilah lainnya: hiatus.

Hiatus berarti mengerem sejenak. Bahkan untuk beberapa contoh, berhenti sempurna. Parkir. Pokoknya, ‘menghilang’ dulu. Mengistirahatkan otak kanan. Karena menggunakan otak kanan jelas berbeda dengan otak kiri. Jika otak kiri yang rasional akan senang-senang saja untuk mengerjakan yang rutin, otak kanan tentu berbeda. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, otak kanan perlu diberi waktu istirahat yang cukup, dan berapa lamanya, tergantung masing-masing orang.

Salah seorang teman saya yang hobi menulis pernah mengalami hiatus ini selama beberapa bulan. Namun kemudian setelah ia ‘kembali’, langsung menghasilkan karya berupa buku. Begitu juga teman saya yang lain. Ketika aktivitas menulis membuatnya lelah, ia lantas berhenti. Tidak tanggung-tanggung, ia baru mulai menulis lagi setelah dua tahun! Ada lagi teman saya berikutnya. Dulunya ia cukup rutin menulis, tetapi kemudian ia mengalami kejenuhan luar biasa yang membuatnya ‘menepi’. Tapi setelah sekian lama, lebih dari dua tahun, ia tidak lagi menulis. Belakangan, saya baru tahu kalau ia berganti hobi, yaitu memotret. Kalau yang ini sih namanya bukan ‘mengasah gergaji’, tapi memang sudah bosan.

Saya toh merasakan juga pentingnya hiatus ini dalam beberapa hal. Bahkan untuk hal-hal yang di luar dari pekerjaan seniman. Ketika bekerja di kantor misalnya, diberikan jatah cuti. Gunanya jelas untuk menyegarkan pikiran dan menghilangkan penat. Tapi kok penat saya gak hilang-hilang walaupun sudah cuti?


Hmm… Oke itu adalah masalah saya yang tak kunjung terpecahkan, tapi untuk saat ini saya tidak ingin bicarakan.

Selasa, 04 Juli 2017

Grup Whatsapp Yang Semestinya Bermanfaat

Apakah bunyi-bunyi dan notifikasi yang paling menyita waktu orang-orang jaman sekarang? Saya berani nebak bahwa bunyi-bunyian itu berasal dari ponsel pintar milik mereka. Dari ponsel pintar itu, notifikasi yang timbul itu kebanyakan berasal dari aplikasi percakapan yang amat umum digunakan, yaitu Whatsapp. Lalu jika dipersempit lagi, panggilan chat itu lebih sering datang dari percakapan grup.

Ya, grup Whatsapp yang begitu fenomenal.

Fasilitas percakapan grup yang dibuat oleh aplikasi Whatsapp sebetulnya bukanlah ide yang baru. Berhubung sedang malas meneliti dan tidak ada signifikansi akademis atau signifikansi praktis dari postingan ini, maka saya akan mencoba berasumsi berdasarkan ingatan saja. Sebelum grup Whatsapp, pengguna ponsel cerdas diramaikan oleh grup Blackberry Messenger. Sebelum era ponsel cerdas, percakapan grup dimulai dari era mailing list (milis) yang disediakan oleh pemilik layanan email atau dengan email berantai.

Seiring pesatnya perkembangan ponsel pintar, kebiasaan menggunakan milis praktis ditinggalkan. Kini orang beralih ke percakapan grup lewat aplikasi chat messenger. Matinya milis barangkali senasib dengan senjakala layanan wartel yang tergerus oleh keberadaan telepon seluler atau ojek pangkalan yang tersapu ojek daring.

Whatsapp nampaknya masih yang terdepan dalam penyediaan aplikasi chat ini. Lagi-lagi saya sedang malas meneliti seberapa banyak pengguna layanan ini, tapi dari orang-orang pemilik ponsel cerdas yang saya temui, rasanya amat jarang yang tidak memasang aplikasi berwarna dominan hijau ini di ponsel cerdasnya, kecuali memang ia seorang agen rahasia yang identitasnya tidak boleh diketahui, atau ia seorang anti-sosial yang tidak punya teman sama sekali. Dan mereka yang punya aplikasi Whatsapp, hampir pasti tergabung dalam grup.

Konsekuensinya, kebanyakan dari kita akan memiliki banyak sekali grup Whatsapp. Malah kebanyakan grup yang ada di ponsel kita adalah hasil penarikan secara paksa. Kita yang tidak tahu apa-apa, tahu-tahu sudah ada di grup itu. Ada grup yang sifatnya serius seperti grup proyek dan grup pekerjaan, ada yang penuh basa-basi seperti grup keluarga besar, ada grup informatif seperti grup tetangga rumah dan grup sekolah anak. 

Lalu dengan derajat formalitas yang menurun, ada grup alumni sekolah, grup teman kantor lama, grup hobi atau grup komunitas. Ada pula grup yang mulai tidak formal seperti grup teman nongkrong, grup teman ngerokok, grup teman main PS, atau bahkan ada pula ‘grup di dalam grup’ alias beberapa orang dari grup besar yang sengaja membuat grup yang lebih kecil agar ngobrol lebih bebas, atau dengan tujuan bisa ngegosipin orang lain yang ada di grup besar. Sampai pada tingkat tertentu, ada pula grup-grup yang dibentuk untuk tujuan sementara seperti grup kepanitiaan atau grup acara tertentu.

Tentu semua grup ini punya tujuan masing-masing. Semua tergantung kesepakatan di awal. Tapi sebetulnya, melihat siapa orang-orang yang tergabung, semestinya kita sudah paham bahwa ada banyak ‘peraturan tidak tertulis’ yang berlaku terutama di grup-grup besar. Dalam grup besar, masa iya sih elo gak paham kalau di situ ada macam-macam orang dengan macam-macam tingkat pendidikan, keadaan ekonomi yang berbeda-beda, pandangan politik yang tidak seragam, bahkan preferensi merek sepeda motor yang belum tentu sama. Kita tentu harus paham konsekuensi memposting sesuatu di grup itu. Kalau bisa sih kita gak perlu lah posting gambar atau jokes tidak pantas, atau berdebat tanpa ujung yang malah jadi tontonan orang.

Bagaimanapun, manusia adalah makhluk kompleks. Sekalipun dia adalah teman lama jaman sekolahan, tidak ada yang tahu bahwa ia sudah berubah. Jika dulu dia mau saja dicela-cela, atau dipanggil dengan nama panggilan aneh, sekarang bisa saja dia berubah. Karena sudah jadi bos dan sehari-hari biasa dihormati orang, belum tentu ia berlapang dada dipanggil lagi dengan nama aib itu ketika bertemu lagi dengan teman-teman sekolahnya. Selain itu, kita mesti paham bahwa setiap orang punya cerita hidup masing-masing, karena itu kita gak bisa menempatkan standar kita kepada orang lain. Misalnya aja, kita lempar jokes yang kemudian bikin orang tersinggung, terus kitanya malah gak terima dan bilang "Jadi orang sensi banget!", padahal yang harusnya kita kendalikan adalah omongan kita, bukannya reaksi orang lain atas omongan kita. Karena itu dalam percakapan grup, empati adalah hal yang penting. Malahan dalam grup besar, sepertinya lebih baik menjadi silent reader dan berkomentar seperlunya.

Saya sering banget nemu beberapa orang yang gontok-gontokan di grup Whatsapp, padahal ketemu aja jarang, dan kenal deket juga enggak. Mending sih gontok-gontokan karena apa, lha ini berantem gara-gara salah satu komentarin sebuah gambar yang ia rasa gak sesuai dengan pendapatnya. Masing-masing lalu memaksakan pendapatnya dengan teorinya, dan gak ada yang mau kalah. Bahkan ada grup yang saya ikuti (percaya atau enggak), ada yang meributkan tentang kualitas ponsel merek A dengan kualitas ponsel merek B! Dan sejenisnya.

Grup yang awalnya bertujuan untuk menjaga silaturahmi, mengadakan reuni, yang ada malah pada sensi, baper, dan pada leave group. Reuni pun gak jadi-jadi.

Padahal seandainya aja kita mampu menahan ego dan kecenderungan untuk mengomentari segala sesuatu biar kelihatan pintar, grup Whatsapp bisa bermanfaat banget. Selain menyambung silaturahmi, adanya grup juga memudahkan penyebaran informasi penting, bisa juga menggalang dana bantuan dengan lebih cepat kalau-kalau ada yang butuh. Grup Whatsapp juga pastinya bisa membuka peluang-peluang bisnis, peluang kerja, atau apa saja yang berguna.

Yang jelas, sulit sekali bagi kita untuk keluar dari grup Whatsapp yang sudah kadung tidak membuat nyaman itu. Seperti lirik lagu Hotel California, “You can check out anytime you like, but you can never leave.” Alhasil, entah berapa banyak grup berisi sampah-sampah digital tidak berguna yang terpaksa kita aktifkan fitur silent atau mute.


Senin, 03 Juli 2017

Hidayah Memang Mahal

Libur panjang lebaran tidaklah membuat saya sibuk-sibuk amat. Sepadat-padat agenda jalan-jalan ke mall demi memuaskan lidah dengan makanan enak yang tidak terlalu berfaedah, saya biasanya sudah sampai di rumah sebelum magrib. Pulang malam paling hanya sesekali. Karena itulah saya jadi punya banyak waktu untuk melakukan hobi saya yang lain, yaitu berselancar di sebuah situsweb pembagi video. Dari tautan-tautan yang tersedia, siapa sangka terbuka banyak sekali kemungkinan.

Ketika mengikuti salah satu tautan, saya pun sampai di sebuah video yang menampilkan sebuah testimoni dari seseorang. Testimoni ini berupa alasan ia meninggalkan keyakinan yang selama ini ia anut untuk pindah ke keyakinan baru. Sang pemberi testimoni pun mengatakan dengan gamblang tentang alasannya berpindah keyakinan.

“Awalnya tidak sengaja. Saya adalah penganut taat dari agama lama saya. Namun tiba-tiba seorang teman tidak sengaja meninggalkan kitab sucinya di rumah saya. Saya pun membacanya, dan tiba-tiba timbul kegusaran dalam hati. Inikah yang sebetulnya saya cari? Saya lalu berdoa pada tuhan saya yang lama, tapi ternyata hati saya sudah tertambat ke tuhan yang baru. Dan saya pun meminta kepada tuhan yang baru untuk memberi saya tanda jika memang Dia adalah tuhan. Eh gak taunya tidak berapa lama kemudian, ia menampakkan wujudnya kepada saya. Mantaplah saya untuk berpindah.” Kurang lebih begitulah kata-katanya. Dan saya yakin, kita pernah mendengar cerita-cerita sejenis.

Well well well..

Saya tidak mau menghakimi sih, dan setiap orang memang memiliki cara masing-masing untuk menemukan tuhan. Tapi ingat, tuhan adalah maha pembalik hati manusia. Tuhan juga yang menentukan siapa yang ia beri petunjuk. Dan petunjuk itu sebetulnya sudah ada di mana-mana. Sudah tertulis di kitab suci dengan banyak ayat yang menjadi referensi. Coba saja cari ‘tanda-tanda kekuasaan Tuhan’, maka di kitab suci, Anda akan menemukan fenomena siang dan malam, matahari, makhluk hidup, dan lain-lain. Petunjuk-petunjuk itu adalah hal yang amat besar, dan sudah sepatutnya kita meyakini bahwa hal-hal sebesar dan serapi itu selayaknya memang diatur oleh zat yang jauuuuhhh lebih besar daripada manusia.

Siapalah kita yang dengan lancang meminta ‘tanda’ kepada tuhan, apalagi kemudian kita percaya pada mimpi atau penampakan-penampakan surealis yang asalnya bisa saja bukan dari tuhan langsung, tetapi dari salah satu makhlukNya yang menyamar. Sementara, sekali lagi, tanda-tanda kekuasaan tuhan sudah ditunjukkan sejak lama, kita hanya tinggal membaca. Matahari, bintang, bulan, tata surya. Yang diperlukan hanyalah kita rajin membaca. Itu saja.

Mohon maaf, tapi hati saya tidak bisa tersentuh dengan kisah perpindahan keyakinan melalui hal-hal semacam ini. Meskipun hal ini memang kembali kepada masing-masing orang.

Lalu kemudian saya melihat kisah kesaksian orang lain, dan ia menceritakan kisah yang sebaliknya. Ia menceritakan bahwa ia sebelumnya dibesarkan dengan cara atheis oleh orang tuanya. ‘Ketika kamu mati, semuanya sudah selesai. Akhirat atau apalah itu, hanya omong kosong.’ Demikian doktrin yang diinternalisasi secara masif ke kepalanya. Dan selama beberapa lama, hal itu berhasil.

Tapi sekali lagi, tuhan memang memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya. Lewat sebuah kegelisahan, ia mulai melakukan pencarian. Hampir semua agama dipelajarinya, hampir semua ritual didatanginya. Lalu kemudian ia mulai mantap pada salah satu agama. Tapi kemudian ia merasa membutuhkan sedikit lagi dorongan untuk makin memantapkan hati.

Lalu kemudian, ia berdoa, seperti doa dari orang dalam cerita pertama di atas. ‘tuhan, berilah tanda kepada saya. Jika memang Engkau memang benar tuhan, berilah tanda apa saja. Kau kan mampu melakukan apa saja. Maka ayolah robohkan setengah rumah saya, atau bahkan tiupkan angin. Apa saja.’ Demikian pintanya, setengah memaksa.

Adakah tuhan memberikan tanda-tanda semacam itu? Tidak. Ia mengaku, tidak ada yang terjadi sama sekali. Suasana malam tetap hening, angin bertiup malas seperti biasa, langit pun tidak menunjukkan meteor atau bintang jatuh, atau semacamnya. Kecewa, ia kembali berdoa. Tapi kemudian hasilnya sama saja. Nihil. Tidak ada tanda atau penampakan. Juga tidak ada mimpi atau bisikan atau apalah itu.

Hari-hari pun berlalu, lalu hidayah kemudian datang dalam bentuk lain di saat iblis bisa saja mempengaruhi hatinya untuk kembali ke keadaan tak bertuhan. Ia terdorong untuk membaca lagi kitab suci agama itu, lalu kemudian ia menemukan ayat yang berisi ‘tanda-tanda kekuasaan’ dimaksud. Hasilnya, ia menemukan tanda-tanda tadi, berupa siang-malam, matahari, bintang, makhluk-makhluk. Lalu ia menangis. ‘Ternyata inilah yang saya cari. Inilah tanda-tandanya. Sudah jelas ada di sini. Di kitab ini.’

Ya, siapalah kita yang berani meminta tanda kecil seperti itu kepada zat yang telah menciptakan alam semesta berisi tujuh langit, yang masing-masing langitnya terdiri dari miliaran bahkan triliunan bintang. Bukankah Nabi Musa pernah sampai pingsan ketika di gurun Sinai ia meminta tuhan menampakkan dirinya, tetapi yang ada kemudian malah gunung-gunung hancur dan terjadi gempa besar, karena tuhan memang terlalu ‘besar’ untuk ditampung oleh planet bumi yang bagiNya hanya sebesar debu atau atom.

Kembali lagi ke keyakinan masing-masing, sih. Lagi-lagi, saya cuma bisa bilang kalau tuhan memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Hidayah itu mahal, man. Dan kitalah yang butuh, bukan tuhan. Kita tidak bisa memaksa tuhan untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya secara langsung, gamblang dan tegas seperti halnya kisah pasukan gajah Abrahah yang diserbu burung Ababil, atau zaman-zaman nabi dan rasul dahulu ketika mukjizat tuhan memang diturunkan secara kasat mata. Kita kini hidup di zaman yang berbeda, kawan. Dan saya rasa, tidak ada tempat mencari hidayah yang lebih baik daripada rajin 'membaca'. 

Bukankah perintah tuhan yang pertama adalah "Baca. Bacalah dengan nama TuhanMu."