Kamis, 31 Januari 2013

Tidak semua orang senang mendapat surat cinta

Surat cinta adalah termin usang jaman pakde dan bude kita kala mereka masih remaja. Surat yang berisi untaian kata-kata puitis dan rayuan gombal hingga berlembar-lembar ini digunakan oleh kaum pria untuk memikat wanita. Mereka  menggunakan kelihaiannya memainkan pena dan membuatnya menari-nari hingga membentuk kata-kata cinta yang menggebu-gebu.

Kini, di dunia yang sudah berjalan dengan era digital, anda akan dianggap aneh (jika bukan tidak waras) jika masih saja menulis surat cinta kepada wanita pujaan. Semua serba digital dengan kata-kata yang bisa dicontek dari hasil rajin meng-googling, template background gratisan dengan free trial sebulan, hingga emoticon-emoticon alay yang dimaksudkan untuk memberi kesan hidup pada tulisan.

Namun, jika kita hidup sebagai kaum pekerja, tidak ada yang bisa menolak “surat cinta” dari sang pemilik modal.

Selembar kertas berlogo dan berkepala surat itu berisi rangkaian kata-kata manis, seperti layaknya surat cinta. “Terima kasih atas kerja keras dan kontribusi anda pada perusahaan selama ini.. bla bla bla…” Lalu ditulis berapakah kenaikan upah anda, atau berapakah rating anda, lalu tidak lupa ditambah kata-kata template  yang sangat normatif. “Semoga anda bisa menikmati hasil pekerjaan anda dengan orang-orang tersayang.”

Sebagai kaum pekerja di kota besar, sangat jarang kita bisa mencapai kepuasan akan kenaikan upah dari perusahaan. Sifat dasar manusia kita sudah dari sononya tidak pernah puas, dan memandang “rumput tetangga selalu lebih hijau”.

Selembar kertas itu seolah seperti menjadi rapor kita saat kita sekolah dulu. Di kebanyakan perusahaan, juga diberlakukan sistem ranking, kurva distribusi normal dan apapun medium pengukuran yang tujuannya adalah untuk mengendalikan biaya gaji. Meski semua bekerja dengan baik, tetap harus ada yang mendapat nilai jelek.

Kadang sungguh ironis karena nasib kebanyakan dari kita ditentukan oleh sekelompok orang yang berada ribuan kilometer dari tempat kita berdiri. Dengan kuasanya, mereka bisa memainkan angka-angka tersebut semau mereka, menyesuaikan berapa yang mereka bisa ambil sebelum membagikannya kepada orang-orang yang sudah bekerja keras demi memajukan perusahaan mereka.

Mereka bisa mengendalikan perusahaan di negeri jauh yang mungkin bahkan mereka belum pernah kunjungi, menentukan penghasilan karyawan yang mereka bahkan tidak tahu namanya. Mereka menunggu setoran setiap bulan, menunggu presentasi dari laporan penjualan secara berkala, lalu memikirkan bagaimana cara mempertebal kekayaan mereka.

Sementara para slave ini hanya bisa tertegun, atau puas, atau pura-pura senang padahal beberapa waktu kemudian rajin membeli koran yang berisi iklan lowongan pekerjaan. Yang bijak akan selalu bilang “bersyukur aja” tapi yang dongkol akan mengupdate status di media chat dan social media secara emosional dan tak terkendali.

Semua itu cukup disebabkan oleh selembar kertas benama “surat cinta”. Layaknya surat cinta beneran, anda bisa dibuat terbuai, kecewa atau gila sekalian. Sementara para pengendali nun jauh disana yang telah menyetujui hal ini sedang memilih untuk menghisap cerutu Kuba atau mengganti velg mobil mewah mereka. Oh, atau memasangkan dompet LV mereka dengan sepatu Louboutin.

Sabtu, 26 Januari 2013

Cerita Coach Carter





Warning: Ini bukan film cinta.

Ada beberapa film yang meskipun sudah berkali-kali saya tonton, saya tidak pernah bosan mengulanginya. Film yang biasanya sarat pesan, menceritakan sejarah, menginspirasi dan juga bersifat melakukan pergerakan atau perubahan adalah favorit saya selain film-film action untuk hiburan tentunya.

Salah satu film yang saya maksud ini adalah Coach Carter. Film berdasarkan kisah nyata dari seorang pelatih bola basket sekaligus pendidik luar biasa, Ken Carter. Ia bukanlah pelatih basket dan guru biasa. Ia adalah seorang agen perubahan. Dan seperti biasa, akting natural dan penuh penjiwaan Samuel L. Jackson yang memainkan peran sebagai Coach Carter berhasil menggambarkan film ini secara keseluruhan. 

Ibarat tim sepak bola, peran Jackson dalam film ini ibarat playmaker. Akting khasnya sungguh hidup dan mampu membawa jiwa kita kepada film ini. Ia sukses memerankan karakter keras Carter hingga anda akan berpikir seribu kali untuk mencari gara-gara dengan orang ini.

Seperti judulnya, film ini menceritakan perjuangan Carter, pelatih tim bola basket dari Richmond High School, sebuah sekolah yang berada di kota kecil wilayah California. Pelatih berkulit hitam itu menerima pekerjaan sebagai pelatih tim basket Richmond Oilers, tim yang bisa dibilang gurem dan sering kalah dalam kejuaraan bola basket regional.

Carter adalah alumni dari Richmond. Pada masanya bersekolah dan memperkuat tim basket Richmond, ia termasuk pencetak skor tertinggi sepanjang sejarah sekolah itu. Tehnik dan strategi bermain basket bukanlah barang baru baginya. Kepala sekolah memang bermaksud memanggil pemain legendaris seperti dirinya demi meningkatkan prestasi.

Yang menjadi perhatian Carter pada saat pertama kali datang menemui anak asuhannya adalah kondisi yang amat buruk. Anak asuhannya bukan hanya tidak bagus dalam bermain basket, tapi mereka yang menjadi anggota tim adalah siswa-siswa yang kebanyakan memang berkelakuan buruk. Para anggota tim ini amat tidak disiplin, suka membuat onar, dan sama sekali tidak memperhatikan pelajaran di kelas. Pertunjukan pertama yang Carter lihat adalah bagaimana timnya dipecundangi habis oleh tim tangguh, St. Francis.


Carter memandang bahwa pekerjaan ini bukan sekadar melatih basket, tapi lebih dari itu, ia ingin menyelamatkan anak-anak muda ini dari ketidakjelasan masa depan. Ia lantas membuat kontrak lebih dahulu dengan anak asuhannya. Kontrak itu berisi komitmen untuk memenuhi standar absensi dalam prosentase tertentu, duduk paling depan dalam setiap mata pelajaran, menentukan syarat minimum indeks prestasi sebesar 2.3, hingga kewajiban memakai setelan jas rapi di hari pertandingan.

Kontrak tersebut tentunya berat bagi sekelompok anak sulit diatur itu. Carter tidak sedikit menghadapi resistensi hingga pembangkangan dari anak asuhnya. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia bahkan membiarkan Junior Battle, centre sekaligus pemain paling hebat di tim ini untuk pergi karena tidak mau mengikuti aturan.

Singkatnya, Carter bukan hanya berhasil mengubah tim basket culun menjadi tangguh, tapi lebih dari itu ia menyelamatkan masa depan remaja-remaja bermasalah.

“Sebagian besar anggota tim saya dulu, berakhir di penjara atau terbunuh setelah lulus sekolah. Saya ingin anda semua berpikir lebih jauh lagi lalu melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah,” demikian isi dialog Carter yang menurut saya menjadi inti dari pesan moral yang terdapat di film ini.

So, menonton film ini bukan hanya menyaksikan olahraga bola basket, tapi juga menyaksikan kisah inspiratif seorang pelatih hebat.



Selasa, 15 Januari 2013

Last Night, a movie review




Entah kenapa topik selingkuh banyak berseliweran ke kehidupan gue belakangan ini. Kenapa sih orang selingkuh? 

Di film Last Night, perselingkuhan digambarkan dengan cara yang sedikit berbeda. Perselingkuhan ini terjadi dalam semalam saja, makanya judulnya sesuai dengan itu. 

Singkat aja, Last Night ini adalah sebuah gambaran nyata kisah perselingkuhan yang dilakukan oleh Michael (Sam Worthington) dan Joanna (Keira Knightly), sepasang suami istri yang baru tiga tahun menikah. Usia mereka jelas terlalu muda untuk dikatakan sebagai pengalaman puber kedua. 

Cerita dimulai saat pasangan yang tinggal di kota New York itu menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan kerja dari kantor Michael. Dalam pertemuan itu, Michael sering terlihat mengobrol dengan Laura (Eva Mendes), rekan kerja Michael yang cantik dan menarik, yang belum pernah disinggung Michael kepada Joanna. 

Sepulang dari acara, Joanna terus mencecar Michael perihal Laura. Dari pandangannya, Joanna merasa bahwa Laura menyukai Michael, namun Michael menolak anggapan itu. Pertengkaran selesai setelah keduanya berbicara secara baik-baik.

Michael kemudian mendapat ujian terbesarnya, yaitu tugas keluar kota bersama Laura. Elo bisa menebak apa yang terjadi setelahnya.

Michael, couldn't resist Laura's charm
Sementara di rumahnya, Joanna yang seorang penulis pergi keluar untuk membeli kopi. Di perjalanan, tanpa disangka ia bertemu Alex, mantan pacarnya yang tinggal di Paris, tapi lagi ada di New York. Alex mengajak Joanna untuk makan malam. Joanna semula ragu, namun kemudian mengiyakan.

Dan setelahnya, elo juga pasti bisa nebak apa yang terjadi. Jadi skornya berapa-berapa sodara-sodara? Iya bener, satu sama.

Menariknya, ending film ini dibiarkan menggantung, seolah membebaskan penontonnya untuk menerka-nerka apa yang terjadi selanjutnya.

Joanna, ternyata belum sepenuhnya move on
Dua-duanya terbawa suasana, terbawa roman picisan yang menipu dan melenakan tanpa memikirkan akibatnya. Gak ada yang patut ditiru sih dari film ini, tapi kalo dari sudut pandang hiburan jelas film ini menghibur. Akting dari seluruh pemeran sangat natural, percakapan sungguh hidup dan tidak monoton seolah mereka memang hidup di situ, seolah mereka memang nyata.

Minggu, 06 Januari 2013

Derailed, A movie review




Gue akan coba mengingat-ingat adegan per adegan dalam film berjudul Derailed ini.

"Kunci pintu, lapor polisi, dan kucing garong" adalah beberapa hal yang gue bisa highlight di film ini. Sebuah film thriller yang penuh kejutan, twisted dan memperlihatkan sisi gelap kehidupan.

Film rilis pada tahun 2005, hasil adaptasi novel berjudul sama. Menurut gue, film ini seru dan penuh cerita-cerita mengejutkan yang akan membuat kita bergumam “kok ada ya yang sampe begitu?,” seakan menolak kenyataan bahwa hidup memang penuh kejutan, hidup memang berbelok-belok tidak seperti rambut personel film Meteor Garden.

Pemandangan awal film adalah sebuah penjara. Seorang pria tak dikenal menggenggam kuat-kuat sebilah pisau, lalu menghampiri seorang pria lainnya. Kemudian film berjalan dengan alur mundur.

Lalu alur mundur itu menyajikan pemandangan berupa kereta listrik. Jika melihat rel kereta listrik yang terletak di atas jalan raya di sebuah film Hollywood, maka kemungkinan besar film itu mengambil tempat di kota Chicago. Contoh film lainnya yang banyak mempertontonkan jalur kereta api ini adalah film yang dibintangi Angelina Jolie, Wanted.

Ngomong-ngomong, apa sih inti dari film ini? Sesuai judulnya, Derailed, film ini bercerita tentang seorang yang keluar dari jalur hidupnya yang lurus.

Tokoh utama dari film ini adalah Charles Schine. Charles adalah seorang pekerja dengan karir bagus namun memiliki kesulitan di keluarganya karena sang anak menderita diabetes. Penyakit itu memaksanya untuk mengalokasikan biaya besar setiap bulan untuk pengobatan sang anak.

Suatu ketika, Charles (Clive Owen) yang juga seorang commuter berlari terbirit-birit mengejar kereta yang menuju arah tempat kerjanya. Karena tidak ingin tertinggal dan mengetahui kereta selanjutnya baru tiba setengah jam lagi, ia nekat memasuki kereta meski belum membeli karcis. Keadaan makin canggung karena ketika petugas karcis menagih denda, ia ternyata lupa membawa dompet. Lucinda Harris (Jennifer Aniston – masih tetep gak ngebosenin diliat) yang mengamati kejadian itu kemudian membayari tiket dan denda Charles.

Charles merasa tidak enak dan ingin membalas kebaikan Lucinda. Ia terus meminta bertemu Lucinda tanpa prasangka apapun pada awalnya, mereka juga saling mengetahui status masing-masing yang sudah berkeluarga. Memang dasar Lucinda yang charming, Charles berubah dari seorang bapak yang baik menjadi layaknya kucing garong yang melihat ikan goreng nganggur di meja makan.

Ini dia kelakuan si kucing garong:

“Lucinda, I bet 20 dollars that I can kiss you without touching your lips.” 
“Really? How can you do that?” 

Charles kemudian mencium bibir Lucinda. Ya terang aja kena bibirnya, Charles kemudian membayar 20 dollar kepada Lucinda. 

“Itu 20 dollar paling cerdas dan keren yang pernah saya belanjakan”

Film ini lantas tidak lebih menjadi film perselingkuhan norak dan murahan. Ketika kemudian Charles mengajak Lucinda untuk check in ke hotel yang juga norak dan murahan, di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Gak perlu gue ceritain deh untuk soal ini, tonton aja sendiri biar seru.

Philippe. Kejam, brutal dan obsesif.
Yang jelas, setelah adegan itu, timbul hal-hal tak terduga seiring kemunculan Philippe (Vincent Cassel), seorang penjahat yang kejam, brutal dan obsesif. Ia bukan penjahat yang puas hanya mengambil sedikit, tapi juga ia bagaikan penyakit kanker yang berusaha menggerogoti hidup seseorang hingga habis.

Gue punya versi ending tersendiri di film ini. Beberapa alur cerita yang menurut gue terlalu absurd dan maksa, seharusnya bukan seperti itu. Ah namanya juga film Hollywood.

Moral of the story? Klise banget. Jangan coba-coba “keluar jalur”, belok-belok boleh aja asal cepat kembali ke track semula. Jangan juga tergoda sama kecantikan perempuan, karena wanita memang racun dunia!

Overall, film ini sungguh penuh kejutan, dan lagi-lagi underrated.

Selasa, 01 Januari 2013

Taken 2, a review




Gue selalu suka sama film yang secara detail memperlihatkan sudut-sudut kota. Taken 2 mengambil latar kota Istanbul. Film ini meneruskan cerita pertama yang banyak berlatar belakang kota Paris.

Film ini adalah film yang berisi kejam dan absurd-nya penjahat-penjahat dari sebuah kota di utara Albania bernama Tropoje, kota yang mendapatkan travel warning dari pemerintah Inggris, Kanada maupun Australia ini.

Absurdnya penjahat kota Tropoje? Well, di awal film sendiri sepertinya Hollywood (representasi Amerika Serikat tentu saja) memang menunjukkan bahwa mereka tidak henti-hentinya menjadikan diri mereka sebagai pahlawan. Mereka benar, yang lain salah. Jika tahun 90an hingga awal 2000an mereka sibuk merilis film-film dengan orang Vietnam atau Soviet bahkan makhluk angkasa luar sebagai penjahatnya, kini mereka banyak membuat film-film dengan kelompok Islam radikal sebagai penjahat. Tipikal steriotip dan propaganda mereka lah.

Gimana sih jalan ceritanya? Cerita berawal dari keinginan balas dendam dari orang tua Marko, penjahat yang dibunuh oleh Bryan Mills (Liam Neeson), seorang pensiunan CIA di Paris ketika kelompok Marko menculik anaknya, Kim (Maggie Grace). Para penjahat itu berencana akan menculik Mills, yang bersama Kim dan Lenore (mantan istri Bryan – diperankan oleh Famke Janssen) sedang berada di Istanbul.

Culik lagi, culik lagi. Ya memang inilah yang menjadi punchline sentral dari film, sekaligus pesan kepada kita semua bahwa memang bahaya culik ada dimana-mana. Film ini memang memberi panggung yang teramat besar bagi penculik.

Oh iya, dimana letak absurd lainnnya dari penjahat-penjahat itu? Pertama-tama adalah sikap dan karakter lebay dari ayah Marko, yaitu Murad (diperankan oleh Rade Serbedzia, aktor Serbia bertinggi nyaris 2 meter). Murad, yang adalah bos dari gangster Albania yang terkenal itu benar-benar digambarkan sebagai villain yang bengis, amoral dan heartless. Hanya peduli untuk membalas dendam saja.

The ruthless Murad

Sebuah penokohan villain yang menurut saya sangat klise karena justru film-film Hollywood belakangan ini sering memberikan karakter menarik dan punya selipan agenda moral pada kejahatannya [lihatlah karakter liberator mirip Che Guevara dalam diri Bane di The Dark Knight Rises] alih-alih karakter dangkal ala penjahat kelas teri seperti Harry dan Marv yang mencuri uang dari pemilik toko mainan anak-anak di film Home Alone.

Olivier Megaton sang sutradara maupun Luc Besson sang penulis seperti tidak memberi ruang bagi penonton untuk bersimpati pada sang penjahat, dan memberikan panggung tunggal pada seorang Bryan Mills sebagai sosok tangguh yang kebapakan, detail dan cermat.

Dengan memperlihatkan Murad bisa dengan mudah melewati penjagaan perbatasan Turki padahal membawa sekompi penjahat saja sudah terlihat absurd (jika memang ia memberi sogokan, itupun tidak diperlihatkan). Terlebih Murad berasal dari Tropoje Albania, yang anak SMP juga tahu kalau Albania tidaklah berbatasan langsung dengan Turki. Ia harus melewati Kosovo dan Bulgaria lebih dulu, atau melewati jalur selatan yang berarti Yunani dahulu untuk menuju ke yurisdiksi Turki.

Adegan laughable lainnya adalah saat para penjahat yang sudah menodongkan pistol kepada Mills dan Lenore masih membiarkan Mills menelpon Kim dan membuat Mills sempat memberikan instruksi sulit untuk melarikan diri dan bersembunyi di lemari.

Kehebatan Mills-pun dieksploitasi. Layaknya seorang yang telah melumpuhkan basis gangster ini di kota Paris seorang diri, Mills diperlihatkan mampu menghapal jalan menuju tempat ia diculik meski kepalanya ditutup kain berwarna hitam. Mills lalu memandu Kim untuk menyelamatkan mereka melalui telepon seluler kecil yang ia selipkan di kaus kakinya.

Taken 2 juga menunjukkan sisi lain dari Kim, film ini memaksa si cewek girly merayap di dinding dengan pijakan seadanya, melempar granat, menembakkan pistol, memanjat ke atap, menyetir ugal-ugalan hingga berlari-lari di atap. Oh iya, tidak lupa kalau Kim (yang belum lulus ujian mengemudi) atas desakan ayahnya berani menerobos barikade tentara kedutaan Amerika Serikat yang menembakinya.

Kim, si girly yang dipaksa "beraksi"

“What are you gonna do, Dad?”
“What I do best.”

Frase “like father like daughter” coba dijejalkan dalam film ini ketika lebih banyak orang mengenal frase “like father like son.” Hubungan Bryan dan Kim memang digambarkan tidak harmonis karena semasa bekerja, Bryan tidak pernah memiliki waktu dengan Kim. Bryan-pun bercerai dengan Lenore. Oke, gambaran broken home dan romansa hubungan roller-coaster antara ayah dengan anak ini mengingatkan gue pada film Die Hard. Lucy, Holly dan John McClane. If you know what I mean.

Sudut-sudut kota Istanbul yang klasik dan selat Bosporus yang cantik itu adalah pemandangan menarik yang memberikan kesan tersendiri saat menyaksikan film ini, sebuah intermezzo apik dari dominasi adegan full thrilling. Keseharian orang Istanbul yang dulunya pernah dikuasai oleh Imperium Romawi dan Khalifah Utsmani, juga tergambar lewat potongan-potongan kegiatan di pasar, suara adzan, Blue Mosque hingga pengamen buta.

Dan seperti di seri pertamanya, Mills memang terlalu kuat bagi gerombolan penjahat itu, berapapun jumlah mereka, apapun senjata mereka. Mills terlalu taktikal, terencana, cerdas, cekatan, kuat sekaligus tampak seperti lebih tangguh dibanding Jason Bourne. Musuh yang paling kuat, yaitu tangan kanan Murad (lupa namanya siapa) juga relatif terlalu mudah untuk dihabisi Mills.

Selanjutnya, kedangkalan karakter Murad diperlihatkan puncaknya ketika ia coba menembak Mills dari belakang, dan sudah tertebak bahwa pistol itu telah dikosongkan pelurunya oleh Mills. Seperti ending predictable yang tidak klimaks.

Padahal tadinya saya berharap Mills dibawa ke Tropoje. Film ini bisa jauh lebih baik lagi sebenarnya.

Tidak lupa, film ini seperti dibiarkan menggantung oleh perkataan Murad bahwa anak-anaknya yang lain kelak akan membalaskan dendamnya. #kode banget nih bakal ada Taken 3.

Entah perasaan gue atau bukan, bahwa Jamie (diperankan oleh Luke Grimes), kekasih Kim adalah anggota komplotan Murad dengan perawakan unshaven dan lusuhnya. Semakin yakin saja bahwa akan ada sekuel ketiga dari film ini.

Kesimpulan: untuk kategori aksi, film ini menghibur dan menyenangkan untuk ditonton. Lupakan klise dan abaikan stereotipnya.

Tebak-tebakan untuk Taken 3: 


Nanti si Jamie ternyata beneran komplotan Albania itu. Dia emang sengaja memacari Kim karena agenda terselubung, yaitu penculikan. Timbullah konflik ayah-anak lagi di sekuel ini. Nantinya baru deh Kim diculik dan dibawa ke Tropoje. 


Di situlah film selesai, entah endingnya mau bagaimana.