Sabtu, 26 Januari 2013

Cerita Coach Carter





Warning: Ini bukan film cinta.

Ada beberapa film yang meskipun sudah berkali-kali saya tonton, saya tidak pernah bosan mengulanginya. Film yang biasanya sarat pesan, menceritakan sejarah, menginspirasi dan juga bersifat melakukan pergerakan atau perubahan adalah favorit saya selain film-film action untuk hiburan tentunya.

Salah satu film yang saya maksud ini adalah Coach Carter. Film berdasarkan kisah nyata dari seorang pelatih bola basket sekaligus pendidik luar biasa, Ken Carter. Ia bukanlah pelatih basket dan guru biasa. Ia adalah seorang agen perubahan. Dan seperti biasa, akting natural dan penuh penjiwaan Samuel L. Jackson yang memainkan peran sebagai Coach Carter berhasil menggambarkan film ini secara keseluruhan. 

Ibarat tim sepak bola, peran Jackson dalam film ini ibarat playmaker. Akting khasnya sungguh hidup dan mampu membawa jiwa kita kepada film ini. Ia sukses memerankan karakter keras Carter hingga anda akan berpikir seribu kali untuk mencari gara-gara dengan orang ini.

Seperti judulnya, film ini menceritakan perjuangan Carter, pelatih tim bola basket dari Richmond High School, sebuah sekolah yang berada di kota kecil wilayah California. Pelatih berkulit hitam itu menerima pekerjaan sebagai pelatih tim basket Richmond Oilers, tim yang bisa dibilang gurem dan sering kalah dalam kejuaraan bola basket regional.

Carter adalah alumni dari Richmond. Pada masanya bersekolah dan memperkuat tim basket Richmond, ia termasuk pencetak skor tertinggi sepanjang sejarah sekolah itu. Tehnik dan strategi bermain basket bukanlah barang baru baginya. Kepala sekolah memang bermaksud memanggil pemain legendaris seperti dirinya demi meningkatkan prestasi.

Yang menjadi perhatian Carter pada saat pertama kali datang menemui anak asuhannya adalah kondisi yang amat buruk. Anak asuhannya bukan hanya tidak bagus dalam bermain basket, tapi mereka yang menjadi anggota tim adalah siswa-siswa yang kebanyakan memang berkelakuan buruk. Para anggota tim ini amat tidak disiplin, suka membuat onar, dan sama sekali tidak memperhatikan pelajaran di kelas. Pertunjukan pertama yang Carter lihat adalah bagaimana timnya dipecundangi habis oleh tim tangguh, St. Francis.


Carter memandang bahwa pekerjaan ini bukan sekadar melatih basket, tapi lebih dari itu, ia ingin menyelamatkan anak-anak muda ini dari ketidakjelasan masa depan. Ia lantas membuat kontrak lebih dahulu dengan anak asuhannya. Kontrak itu berisi komitmen untuk memenuhi standar absensi dalam prosentase tertentu, duduk paling depan dalam setiap mata pelajaran, menentukan syarat minimum indeks prestasi sebesar 2.3, hingga kewajiban memakai setelan jas rapi di hari pertandingan.

Kontrak tersebut tentunya berat bagi sekelompok anak sulit diatur itu. Carter tidak sedikit menghadapi resistensi hingga pembangkangan dari anak asuhnya. Namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia bahkan membiarkan Junior Battle, centre sekaligus pemain paling hebat di tim ini untuk pergi karena tidak mau mengikuti aturan.

Singkatnya, Carter bukan hanya berhasil mengubah tim basket culun menjadi tangguh, tapi lebih dari itu ia menyelamatkan masa depan remaja-remaja bermasalah.

“Sebagian besar anggota tim saya dulu, berakhir di penjara atau terbunuh setelah lulus sekolah. Saya ingin anda semua berpikir lebih jauh lagi lalu melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah,” demikian isi dialog Carter yang menurut saya menjadi inti dari pesan moral yang terdapat di film ini.

So, menonton film ini bukan hanya menyaksikan olahraga bola basket, tapi juga menyaksikan kisah inspiratif seorang pelatih hebat.