Minggu, 29 November 2015

Si Medioker

Hampir sembilan tahun sudah saya menjalani kehidupan sebagai pekerja kantoran. Bekerja sebagai (katanya sih) spesialis pada sebuah disiplin ilmu yang cukup menjanjikan dan semakin ke sini semakin dicari orang.

Katanya sih begitu, tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.

Pekerjaan ini, walaupun sering saya jalani sambil misuh-misuh dan menggelengkan kepala karena gak selesai-selesai, toh membawa rizki. Kalau berbicara materi, alhamdulillah saya dibayar cukup. Cukup untuk makan sehari-hari tapi memang tidak akan pernah cukup kalau setiap hari harus dipakai buat lunch, ngopi dan dinner cantik yang kalo difoto tuh instagram-able dan path-able

“Disyukuri aja, bro.”

Begitulah perkataan yang sering saya jumpai --baik dari teman sendiri, ataupun dari postingan cantik para keyboard warrior yang mengambil keuntungan besar dari kecenderungan orang untuk men-share postingan yang menurut mereka amat inspiratif-- bahwa di zaman yang serba sulit ini, kehidupan yang saya punya boleh jadi diinginkan oleh jutaan orang yang cari makan aja sulit.

Tapi secuplik kalimat curahan rasa syukur sekalipun tidak mampu mengubah fakta bahwa saya masih saja berangan tentang diri saya dalam versi kehidupan lain, atau sebut saja alternate universe. Saya masih suka berpikir tentang diri saya sebagai pesepak bola atau sebagai musisi, atau melakukan pekerjaan lain sehubungan dua bidang itu.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi pada saya, tentu ada hubungannya dengan masa kecil saya. Sewaktu masih sekolah, saya tidak memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran apa pun kecuali olahraga, seni musik dan chapter tentang peta buta dalam pelajaran Geografi. Untuk pelajaran eksakta, dari dulu pun saya adalah anak IPA gadungan yang selalu membenci pelajaran Fisika, dan tidak suka pelajaran Biologi. 

Hal-hal ini menjadikan saya tumbuh sebagai anak sekolah yang tidak memiliki visi. Tidak seperti teman-teman saya yang sedari SMA sudah tahu mau lanjut ke jurusan apa ketika kuliah nanti, dan untuk itu rajin mengikuti bimbel-bimbel. Saya sih hanya mengikuti proses, menjalani sistem yang sudah ada dan pasrah diombang-ambing oleh tuntutan yang terdengar tidak realistis dari guru dan orang tua. Dan semua itu juga menjadikan saya sebagai tipikal anak muda yang playing safe, average dan gak rebel.

Nilai-nilai akademis saya tidak bagus, tapi tidak juga jelek. Saya memang sulit mendapat nilai 100 atau predikat juara kelas, tapi ketika sedang 'sehat', rasanya saya akan mampu bertarung untuk keluar dari 'zona degradasi' di peringkat kelas. Saya hanya nyaman berada di tengah, nyaman tidak diperhatikan, dan rela dicibir oleh anak-anak yang (merasa lebih) pintar.

Oh iya, semasa sekolah, saya juga tidak merokok, mabok, tawuran dan pacaran. Gak neko-neko, atau secara sarkastis lebih pantas dibilang culun.

Bagian itu, toh sampai sekarang masih membuat saya kesal jika harus mengingatnya. Berprestasi enggak, bandel enggak. Gaul pun enggak. 

Ketika saya akhirnya kuliah di sebuah kampus yang katanya sih unggulan, saya pun masih menjadi the average. Saya jarang dapat nilai A, tapi saya juga tidak pernah mendapatkan lebih buruk dari C. 

Masa kuliah pun saya jalani tanpa kesan mendalam, baik dalam akademis maupun pergaulan. Di luar jam kuliah, saya tidak pernah melakukan kegiatan apa pun yang berkesan, apalagi yang bermanfaat bagi orang banyak. Hanya bermain ke sana-kemari tanpa tujuan yang jelas. 

Ada berapa trofi atau penghargaan yang saya punya di rumah? Tidak ada. Lomba balap karung, makan kerupuk, futsal antar RT dan sepak bola antar jurusan tentu tidak masuk hitungan. Saya kalah dari Beavis dan Butthead yang pernah mendapat bintang penghargaan dari Bill Clinton, dan bahkan kalah dari anak tetangga sebelah yang pernah mendapat penghargaan dari Pak RT karena berhasil menangkap maling.

Cerita di atas adalah sama sekali tidak menarik dan bahkan gak akan lolos nominasi tayang di majalah dinding sekolah atau papan maklumat di pos kamling. 

Sepertinya tidak sulit untuk membaca masa depan dari anak yang cara hidup dan berpikirnya seperti ini. Tapi masa depan memang tidak pasti, dan setiap orang memang memiliki turning point dalam hidupnya. Bagi saya, momen itu adalah ketika mulai berkeluarga, terlebih memiliki anak. Keadaan ini mau tidak mau memotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi mereka, dan untuk itu saya rela menjadi sebuah baut untuk mesin besar bernama korporasi walaupun pikiran saya kadang-kadang berada di tempat lain.

Everything happens for a reason. Berkat kecintaan tak beralasan pada sepak bola dan musik, Tuhan pada akhirnya memberikan sedikit kemenangan di antara banyaknya kekalahan yang sudah saya alami. Tahun lalu, saya mendapatkan serangkaian pencapaian yang sebelumnya tidak pernah saya sangka-sangka, dan tanpa terasa, saya juga telah memantapkan diri untuk menjadi spesialis di bidang yang saya geluti. Berbagai peluang lain pun terbuka dengan sendirinya.

Untuk pekerja kantoran, menimbun pengetahuan di luar bidang pekerjaan adalah bentuk pemborosan kapasitas otak. Tapi saya percaya bahwa tidak ada satu pun pengetahuan yang percuma. Buktinya, saya menjadi lawan tangguh bagi teman-teman sekantor yang sedang keranjingan main Duel Otak.  Hehe.

Saya bukan tipe karyawan cemerlang yang setiap saat selalu siap dengan solusi non-ortodoks yang out of the box, dan setiap tahun selalu mendapat predikat eksepsional atau menjadi top performer. Tapi dalam bekerja, setidaknya saya memiliki rasa malu jika mengecewakan orang yang sudah membayar gaji saya. Saya juga selalu terbuka dengan pengalaman dan pengetahuan baru, dan tidak mengeluh jika diberi tugas yang sebelumnya saya tidak pernah kerjakan. Itulah yang biasanya saya jual kalau lagi interview. Haha.

Selama upah dari pemilik modal yang terhormat mampu mengepulkan dapur, sayalah si medioker yang siap memberikan apa saja. Tapi saya juga tipe karyawan yang kemungkinan besar akan resign andaikan tanpa sengaja menemukan bongkahan batu akik bernilai miliaran rupiah di suatu tempat.

Rabu, 11 November 2015

Tentang Masa Kecil Siapa Yang Lebih Bahagia

Belakangan ini, sering banget saya lihat postingan, baik berbentuk tulisan pendek, meme atau foto-foto berupa klaim tentang masa kecil anak 90an yang amat menyenangkan. Dari mulai bermain gambar tempel, kelereng, nonton Doraemon dan Power Ranger setiap minggu pagi, makan agar-agar dan lidi asin yang dijual abang-abang depan sekolah, hingga menyalahgunakan kaca rautan untuk mengintip rok anak perempuan.

Katanya, semua itu menyenangakan, tak tergantikan dan tak terlupakan, hingga meski sekarang semuanya sudah hilang, banyak di antara kita yang mencari-cari barang-barang 90an atau menonton pertunjukan musik 90an. Mungkin cuma kosakata slapstick 90an macam ‘au ah gelap’, ‘bokis’, ‘bokin’ ‘egelugu sigiagapaga’ dan model rambut belah tengah aja yang sudah ditinggalkan.

Dalam banyak hal, saya setuju tentang betapa menyenangkannya era 90an. 90an adalah masa di mana teknologi berkembang amat pesat. Telepon, komputer, dunia pertunjukan (showbiz) dan banyak teknologi lain yang muncul ke permukaan (khususnya di Indonesia) pada tahun 90an. Dan seperti ‘anak bayi’, penggunaan teknologi ini jadi pengalaman pertama yang bikin penasaran. Ketika telepon baru dipasang, kita sering terlalu lama menelpon teman atau layanan 0809 hingga orang tua mencak-mencak ketika tagihan telepon membengkak. Telepon dikunci, kita akali dengan memencet nomor pakai sendok. Jika sudah tidak mungkin lagi diakali, kita rela menyisihkan uang jajan untuk menelpon di wartel atau mengantre di telepon umum koin dengan risiko dipalak anak preman yang nongkrong di situ.

Revolusi dari teknologi dan maraknya dunia pertunjukan ini kemudian melahirkan dinamika dalam masa tumbuh anak-anak 90an. Tapi di tengah perubahan drastis ini, anak-anak 90an pun masih diajarkan oleh generasi sebelumnya (yaitu orang tua kita) untuk menyeimbangkan cara hidup. Jangan sampai teknologi dan gemerlapnya dunia pertunjukan ini membuat anak-anak 90an asik sendiri. Anak-anak 90an masih sering main petak umpet, benteng, galasin atau lompat karet di luar rumah, meski sesekali terlihat main dingdong di terminal dan Nintendo atau Sega di rumah.

Lalu timbul komparasi dengan masa kecil anak-anak sekarang, dan betapa berbedanya perilaku kesopanan anak 90an jika dibandingkan dengan anak-anak sekarang.

Yang seperti apa?

Tau sendiri lah. Yang masih SD sudah punya handphone, yang sedari belajar ngomong sudah dijejali gadget, yang umur 2 tahun sudah sekolah. Belum lagi menyoal pelajaran sekolah yang teramat berat, ikutan bimbel sana-sini yang menghabiskan masa kanak-kanak, lalu tuntutan untuk lulus ujian.

Ouch, untuk membahas soal ini satu persatu rasanya butuh postingan sendiri-sendiri.

Tapi intinya, hidup anak-anak sekarang yang sudah berat ini juga kemudian diperparah dengan kualitas acara tv yang semakin terdegradasi dan tentu saja tuntutan untuk bersaing dengan miliaran anak lain di seluruh dunia di tengah pasar bebas. Beberapa ahli mengatakan, bahwa akibat tuntutan ini, perilaku anak-anak sekarang memang cenderung makin individualis, agresif dan pemarah, kurang hormat dengan yang lebih tua, sedikit-sedikit ngadu gara-gara diomeli guru, manja, malas, kebanyakan makan, bahkan sampai ugal-ugalan naik motor dan pacar-pacaran yang semakin liar.

Saya tidak ingin menggurui. Tapi saya berpendapat bahwa klaim sepihak tentang masa menyenangkan anak 90an ini tidak akan berarti apa-apa untuk memperbaiki mental anak-anak sekarang. Pernahkah kita berpikir bahwa generasi keren 90an ini juga turut berandil bagi pembentukan mental anak-anak sekarang?

Kita mengeluhkan mengapa anak-anak sekarang malas gerak (mager). Tapi jika kita dulu bisa dengan leluasanya bermain di tanah lapang, apakah sekarang tanah lapang itu masih banyak tersedia untuk tempat main anak-anak kita? Tidak. Sekarang sudah berwujud mall, perumahan, tempat makan, dan lahan parkir.

Kita juga mengeluhkan anak-anak sekarang yang terlalu cepat dewasa. Lagunya sudah cinta-cintaan, bahasanya juga tua. Alay, lebay, labil. Padahal, ada andil tayangan di televisi dan tidak terbatasnya informasi dari internet. Lalu sudahkah kita menyediakan waktu untuk mengawasi tontonan televisi dan penggunaan smartphone mereka? Tidak, kita lebih sibuk bekerja dan menitipkan anak kepada si mbak.

Lalu anak-anak sekarang itu narsis dan suka selfie. Lha, bukannya ortunya juga begitu? Hehehe.

Lalu kita mengeluhkan tindakan no respect dari anak-anak sekarang. Tapi seberapa banyak kita meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dan keponakan kita jika kita sendiri terbuai dengan dunia konsumtif yang membuat kita semakin sibuk sehingga lupa mengajari mereka?

Anak-anak sekarang lebih egois dan tidak mau mengalah. Ya, gimana mau mengalah dan berempati jika semua keinginan anak selalu kita turuti. Semua dibelikan masing-masing, tidak kita ajarkan berbagi.

Oke, mungkin ini terlalu generalisir dan bias. Masih banyak di antara kita yang sadar pentingnya pendidikan kepada anak berkat buku-buku parenting dan artikel-artikel inspiratif yang sudah kita lahap. Tapi, tetap saja sebagian dari kita juga lalai, terlalu cuek dan terlalu sibuk, bukan?

Lagipula, bukan berarti tidak ada hal positif dari masa kecil anak-anak sekarang. Lihat aja betapa cepat pintarnya mereka (dilihat dari raport yang diposting orang tuanya di media sosial), membanjirnya pujian-pujian untuk mereka dari teman-teman ortu mereka, betapa jagonya bahasa Inggris mereka karena sudah kita biasakan mencampur bahasa Indonesia-Inggris di rumah, dan banyak sekali anak yang kecil-kecil udah bisa sholat tanpa disuruh.  

Man, generasi 90an emang keren, menyenangkan, dengan teramat banyak value positif di dalamnya. No doubt about it. Tapi mengapa semua itu seperti terlalu cepat hilang, tentu ada andil dari kita juga.

Buat apa klaim-klaim generasi keren ini-itu kalau value-nya tidak kita tularkan.