Minggu, 05 Agustus 2018

Si Doel The Movie: Galeri Realita Yang Bukan Nostalgia Belaka

Saat para lelaki jomblo akut termehek khusyuk di atas flyover atau di tangga darurat karena 'modus-modusnya' tak kunjung meluluhkan hati para gebetan, Bang Doel malah ikut termenung dan menangis di atas trem yang membawanya ke pusat kota Amsterdam. Padahal, Bang Doel berada di antara dua wanita cantik, Sarah dan Zainab, yang sama-sama mencintainya dengan tulus. Kenapa mesti kaya begitu, Bang Doel? Kok jadi ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi? 

Kira-kira begitulah premis ngasal yang saya pertanyakan kepada Bang Kasdullah, atau dikenal dengan Doel, anak Betawi asli, mantan penarik oplet yang akhirnya sampai juga ke ibukota Belanda, negara yang juga episentrum filosofi Total Football yang termahsyur itu.

Doel yang kembali muncul mewarnai khazanah perfilman Indonesia setelah empat belas tahun lamanya menghilang (tidak pakai istilah purnama, seperti film yang satunya lagi itu), memang pintar sekali menarik minat penonton 90an yang begitu haus dengan yang namanya nostalgia. Berangkat dari serial 'pendobrak' yang mewarnai masa kecil tontonan berkualitas anak-anak 90an, Si Doel pun menjadi idola. Bukan hanya bagi anak Betawi, tapi juga bagi sebagian anak-anak Indonesia.

Film Si Doel sedari dulu memang menawarkan bumbu utama tragedi dan kesedihan, yang tentu saja diselingi komedi dalam bentuk pemarahnya Mandra, liciknya Mas Karyo, genitnya Engkong Ali, dan slebor-nya Atun. Tragedi yang disiarkan memang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Meninggalnya Babe Sabeni, berantakannya percintaan Mandra dengan Munaroh, cinta Koh Ahong kepada Zainab yang terus bertepuk sebelah tangan, hingga kabur-kaburannya Mas Karyo setiap mendengar suara kang kredit panci yang datang menagih hutang.

Kini setelah 14 tahun berlalu dan kembali dalam bentuk film layar lebar, Doel pun masih menawarkan bumbu yang sama. Sebelumnya, saya kasih spoiler alert dulu ya, tapi memang sulit menuliskan komentar film ini tanpa menyebutkan inti ceritanya. Yang jelas,  kemalangan, cinta segitiga, cinta bertepuk sebelah tangan, hingga kelucuan yang ditimbulkan Bang Mandra masih menjadi bumbu-bumbu lezat di film ini. Namun jangan khawatir, ada satu lagi tambahan konflik dan haru-biru bagi Bang Doel, yaitu tentang kegetiran hubungan ayah-anak yang terpaksa harus dipisahkan benua dan samudera.

Doel memang masih menjadi potret anak Betawi membanggakan. Diceritakan sebagai satu-satunya anak Betawi yang 'mentas' di kampungnya, dalam artian mampu menyelesaikan kuliah sampai tingkat sarjana, yang oleh Babe Sabeni disebut sebagai 'Tukang Insinyur'. Doel juga mampu 'menyingkirkan' para pesaing dalam memperebutkan posisi di sebuah perusahaan yang bonafide, dan Doel mampu memperistri seorang wanita cantik keturunan Eropa yang kaya raya. Sebuah versi American Dream dari seorang anak Betawi.

Meski kehidupan telah membawanya jauh dari penarik oplet menjadi seorang insinyur lepas, Doel tetap rajin sembahyang dan megaji hingga di negeri Belanda sekalipun. Doel juga masih sering merenung, pola pikirnya makin filosofis, tindak-tanduknya selalu dipikirkan, dan ia juga makin berkharisma. Perangai dan pembawaan seperti inilah yang kemudian membawanya kepada persoalan yang bittersweet dengan dua wanita cantik sekaligus. Sarah dan Zainab sama-sama mencintainya dengan tulus, meski terlihat jelas hati Doel lebih berat ke Sarah.

Penonton pun diajak menyelami sendiri jalan cerita yang terjadi selama empat belas tahun terakhir. Dalam waktu nyaris dua windu ini, banyak sekali yang sudah berubah, yang kemudian makin menambah bumbu tragedi dan kesedihan dalam film. Bang Mandra yang masih membujang dan jadi pengangguran, Atun yang jadi single mother setelah ditinggal mati Mas Karyo, Mak Nyak yang sakit keras, Koh Ahong yang masih aja ngejomblo meski pabrik batako miliknya makin berkembang, hingga Hans dan Doel yang bernasib sama: ditinggal isteri masing-masing.

Balutan tragedi ini bercampur aduk dalam satu bingkai film, yang dengan apik dipaparkan sepanjang kurang-lebih 90 menit lamanya. Menjadikan film ini seperti layaknya galeri realita yang harus dihadapi dengan perjuangan yang tangguh, alih-alih mempertontonkan hegemoni dan hedonisme. Meski berlatar di Amsterdam, namun Hans dan Sarah diperlihatkan memiliki kehidupan pekerja atau usahawan biasa, bukannya sebagai gambaran orang kaya Eropa yang bebas plesiran dan mem-posting makanan enak, karya seni nan eklektik, bangunan kuno Eropa yang kaya akan sejarah, atau suasana pedesaan yang kental nuansa folk seperti halnya gambar dalam kemasan-kemasan produk makanan atau minuman mereka. 

Seperti yang Hans bilang kepada Doel ketika melihat Doel yang asyik menikmati kota, Hans pun mengungkapkan sebuah potret realita. Ia yang sebagai penduduk asli di Amsterdam sudah tidak bisa lagi menyelami kedamaian dan keindahan kotanya sendiri, seperti yang Doel rasakan sebagai turis. Bagi Hans dan jutaan penduduk Amsterdam lainnya, jika malas, maka ia akan tergeser dan tertendang. Amsterdam tidaklah ubahnya Jakarta, ibukota yang lebih kejam daripada ibu tiri.

Doel pun tidak digambarkan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Katakanlah, ia belum mampu memanjat hingga tangga tertinggi di korporasi yang bengis, dan mungkin karena idealismenya, ia memilih bekerja sendiri sebagai tenaga ahli lepas. Doel juga mungkin menjalani hidup seperti kita-kita, yang hidup sebagai bagian dari sandwich generation yang harus menanggung beban bukan hanya untuk keluarga kecilnya, tetapi juga keluarga besar. Mungkin karena alasan inilah, plus karena Emaknya sakit keras, Doel masih tinggal di rumah orang tuanya, bukannya di rumah sendiri yang dicicil dengan program KPR berjangka panjang sekaligus berbunga mencekik seperti yang dialami kebanyakan kita-kita ini, tidak pula mengemudikan mobil Jepang mewah kreditan, malah menggunakan jasa taksi daring ketika berangkat ke bandara.

Tapi dari perspektif film, bisa saja memang kehidupan Doel sengaja dibuat masih menempel dengan masa lalunya. Rumah yang sama, oplet yang sama, warung yang sama. Hanya saja kini Mandra sudah dibikinkan kamar di belakang rumah, tidak lagi dibiarkan tidur di oplet atau bale sambil dinyamukin. Karena Mandra pula, film ini jadi seru dan lucu. Mandra yang multi-talented namun underrated ini memang berjasa besar menyemarakkan film. Bahkan, Mandra tidak hanya menunjukkan kekonyolan yang bikin malu Doel seperti halnya saat ia cuek mengenakan sarung di depan Bandara Schipol. Dalam satu bagian, Mandra juga berubah menjadi sosok paman yang mengemong Doel yang masih saja tidak bisa bersikap tegas kepada wanita-wanita di sekelilingnya meski sudah jadi bapak-bapak. Mandra seolah ingin mengembalikan jati diri Doel sebagai anak Betawi, yang harusnya tetap bersikap santai dan tidak berpikir terlalu berat ketika sedang dirundung masalah.

Tanpa Mandra dan celetukannya, film ini memang hanya nostalgia belaka. Tapi dengan Mandra, film ini membungkus nostalgia yang penuh makna sekaligus canda.