Minggu, 31 Maret 2013

Sebuah Pengecualian Bernama Christina Aguilera



Bagi seorang laki-laki, nge-fans terhadap penyanyi wanita mungkin hal tabu dan sedikit melunturkan maskulinitas. Kaum pria hanya akan mendengarkan lagu-lagu wanita secara diam-diam melalui headset mereka. Pura-pura headbang padahal sedang mendayu-dayu di balik alunan vokal penyanyi perempuan yang kemayu. Namun melihat fakta bahwa banyak pria yang menggemari girl band (karena penampakan mereka), sepertinya  hal ini tidak lagi menjadi hal tabu.

Saya tidak ikut-ikutan menjadi rombongan fans girl band jaman sekarang, dari manapun mereka berasal. Tidak favoritnya saya pada genre musik lain selain rock juga bukan maksud gagah-gagahan atau pengen dibilang ini-itu, karena sebenarnya, meski tidak banyak yang tahu, ada salah seorang penyanyi wanita yang sejak lama saya gemari: Chirstina Aguilera.

Genre musik Christina sama sekali bukan yang saya gemari. Album selftitled tahun 1999 yang bermaterikan Genie in a bottle maupun What a girl wants sangat girlie dan lebih menonjolkan paras cute-nya sang blasteran latin, sementara di album keempatnya ia buka-bukaan dan ‘get dirty’ seolah muak dengan segala macam pemberitaan media soal kehidupan pribadinya.

Sungguh, saya tidak pernah mengidolakan seseorang diluar dari apa yang menjadi kebisaannya, termasuk Christina. Saya hanya suka pada suaranya, suara sopran kelas diva yang terpancar dan tidak dibuat-buat, tidak pula ingin show-off. Diluar itu, sungguh saya tidak peduli. Seperti itu pula saya mengidolakan Andriy Shevchenko, dimana saya hanya antusias dengan kemampuannya bersepakbola, bukan melihatnya dipaksa joget di acara musik pagi. Sungguh saya tidak peduli.

Christina, bagaimanapun menarik perhatian saya dengan attitude yang ia miliki. Saya bisa bayangkan bahwa jika ia hanya orang biasa, ia adalah seorang cewek cuek dan tidak sensi seperti cewek pada umumnya, meskipun tetap suka ber-drama.

Keunikan Christina terlihat pada kecuekannya pada badannya sendiri. Seorang selebritis pada umumnya rela melakukan apapun demi menjaga kelangsingan tubuhnya, namun tidak dengan Christina. Ia tidak peduli pada penilaian orang melainkan tetap nyaman saja dengan badannya yang melar. Manusiawi dan tidak dibuat-buat, seperti orang biasa.

Christina tahu betul bahwa penggemarnya boleh jadi akan menjauhinya, produsernya akan memarahinya, advisor dan personal assisstant serta beauty consultant-nya akan menguliahinya tentang pentingnya menjaga penampilan. Tapi sepertinya hal itu tidak dipusingkannya. Ia hanya mengikuti kata hati, menikmati detik demi detik, dan tidak memikirkan penilaian orang.

Seiring waktu berlalu, seorang Christina juga perempuan. Ia lama kelamaan tidak tahan cibiran terhadap badannya, lalu berinisiatif untuk mengikuti program pelangsingan. Ia lagi-lagi menunjukkan diri sebagai manusia biasa yang memiliki batas dinding keangkuhan. A big girl with a big voice, begitulah ia dicela.

Tapi Christina tetaplah Christina. Ia tidak overrated, tidak pula underrated. Ia beruntung karena kemampuan vokalnya dinilai sesuai porsinya, tidak seperti penyanyi karbitan yang awalnya menjanjikan tapi kemudian tenggelam. Christina yang pernah tampil girly, pernah tampil nakal, pernah berbadan gendut, dan kemudian kurus lagi. Ketika ia membuktikan kemampuan bernyanyi jazz dan soul, ia dijuluki a soul singer with blue eyes. Mungkin ada kaitan dengan darah latin yang ia miliki, Christina menikmati hidup, ceria, sedih, kesal, lalu ia menulis lagu. Ia menyanyi, membintangi film dan menikmati hidupnya. Tidak kurang berbagai penghargaan telah ia raih, berbagai pengakuan akan suara emasnya telah ia dapatkan. Ia dianggap sebagai penyanyi terbaik di generasinya. A little girl with big voice, begitu dulunya ia dijuluki. 

Lagu-lagu Christina (atau Xtina, biasa ia mempopulerkan diri) bukanlah lagu-lagu yang biasa menemani hari-hari saya yang membosankan di kantor, juga bukan teman macet di mobil. Saya juga tidak mengoleksi album-albumnya dan tidak menyamakan levelnya dengan Metallica atau Megadeth. Namun ia tetaplah sosok yang saya kagumi, lewat suara dan sikap-sikap manusiawinya.  Dan ada kalanya saya memutar lagunya dalam mood tertentu.

Dalam dunia sepak bola, talenta Christina mungkin seperti Garrincha, pesepakbola Brazil yang oleh banyak orang dianggap lebih baik daripada Pele. Garrincha dengan gaya hidup yang semaunya, bangkrut dan akhirnya wafat akibat overdosis alkohol. Garrincha lebih menunjukkan sisi manusiawi ketimbang Pele.

Christina, semoga tidak berakhir seperti Garrincha, tidak juga bergaya necis seperti Pele.
Sang diva dengan vokal sopran yang mendekati taraf whistle register ini tanpa ragu saya katakan bahwa ia adalah penyanyi perempuan favorit saya.

Selasa, 26 Maret 2013

Masa Depan Dimulai Dari Batalnya Proyek 6 Ruas Jalan Tol


Tarik ulur proyek 6 ruas jalan tol baru masih terjadi. Jokowi selaku orang nomor satu di Jakarta sampai menggelar dengar pendapat yang menghadirkan banyak pihak terkait hal ini. Entah sebenarnya bagaimana opini orang Jakarta soal ini, tapi cobalah lihat dari aspek yang lebih luas.

Auto-oriented
Hari gini, auto-oriented itu bukan sekadar kebutuhan, tapi juga menjadi gaya hidup dan lambang status sosial. Kebanyakan dari kita yang sangat peduli pada dua hal tersebut tentunya akan berupaya untuk memiliki kendaraan (mobil). Sayangnya, mindset tersebut jika dibawa kepada tatanan makro, malah menjadi kerugian bersama karena jumlah kendaraan yang meluncur di jalanan semakin banyak saja.

Para auto-oriented pasti setuju bahwa penambahan ruas tol akan mengatasi kemacetan. Semakin banyaknya kendaraan, maka semakin banyak ruas jalan yang dibutuhkan. Kota yang baik atau kota masa depan adalah kota dengan ruas jalan yang luas sehingga kemacetan terpecahkan.

Tapi apa benar demikian? Ada beberapa hal penting yang perlu direnungkan mengenai masalah ini.

Pembangunan ruas tol yang katanya akan menghabiskan dana 42 triliun itu akan dilaksanakan oleh swasta. Well, jika ngomongin perusahaan swasta, apa sih orientasi mereka selain laba? Boleh saja mereka membungkus proyek ini dengan slogan “demi kepentingan rakyat” atau “membangun dunia usaha” dan sejenisnya. Tapi bagaimanapun, perusahaan yang menjadi operator jalan tol ini jelas senang jika semakin banyak mobil yang melewati jalan mereka.

Artinya, mereka akan turut mendukung lebih banyak lagi mobil yang diproduksi. Perusahaan otomotif juga seperti mendapat pembenaran untuk terus memproduksi mobil-mobil mereka. Pada akhirnya, pertemuan antara peningkatan produksi kendaraan dengan perluasan jalan raya akan bertitik pada kemacetan total.

Berapa sih perbandingan produksi mobil dengan perluasan jalan? Jelas dengan logika sederhana saja kita bisa menilai. Perusahaan otomotif tidak akan peduli soal kemacetan, karena merekapun perusahaan swasta yang bertujuan mencetak laba sebesar-besarnya. Dan sumber laba dari perusahaan otomotif tiada lain adalah penjualan mobil mereka.

Mass Transportation Development: Harga Mati!
Hal ini sebenarnya bukan hanya soal pembangunan jalan tol enam ruas ini akan dibangun oleh siapa, tapi juga lihatlah nanti bagaimana jika pembangunan ini akan mengganggu program yang jauh lebih penting dan solutif yaitu pembangunan transportasi massal yang canggih. MRT dan juga monorail dilihat dari sisi manapun jelas lebih membawa faedah ketimbang mobil pribadi. MRT selain lebih cepat, juga bisa mengangkut lebih banyak penumpang.

Sisi dilematis memang pasti ada dalam setiap kebijakan yang akan diambil. Ini adalah sebuah keputusan besar yang memang harus ditimbang masak-masak. Perusahaan otomotif juga punya ribuan karyawan pribumi yang menggantungkan hidupnya pada mereka. Penurunan produksi pasti tidak hanya berpengaruh pada laba, tapi juga pada buruh-buruh mereka.

Namun Indonesia memang harus bergerak. Sekarang era produksi massal kendaraan rasanya sudah saatnya berhenti. Kendaraan sudah terlalu banyak. Para pelaku industri toh pada akhirnya tidak akan berkutik pada regulasi, dan seorang pemimpin sepatutnya memihak pada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan rakyat, bukannya kepentingan investor.

Kota Masa Depan
Sesuai dengan perkembangan zaman, sekarang sudah bukan lagi eranya indistri, tapi lebih ke era informasi dan edukasi.

Seperti apa sih kota masa depan menurut anda? Apakah kota penuh sesak dengan kendaraan yang udaranya penuh polusi, airnya tercemar, beton dan aspal dimana-mana, jalan layang menjadi pemandangan atap rumah, fasilitas umum yang berkurang, dan ketimpangan si kaya dan miskin kian nyata?

Kota masa depan dalam imaji saya adalah kota yang minim polusi, cukup ruang publik dan juga banyak menyediakan lahan untuk pejalan kaki. Kota yang sehat dengan masyarakat gemar berolahraga, juga membaca. Penyediaan sarana transportasi masal yang baik dan memadai akan menjadi awal bagi bergesernya paradigma masyarakat dari auto-oriented ke mass-transport oriented.

Dibangunnya apartemen dengan fasilitas lengkap sebenarnya sudah tepat. Sebuah konsep one-stop dan compact environment. Dengan fasilitas lengkap yang menunjang kebutuhan sekaligus gaya hidup, penghuni apartemen jadi tidak perlu lagi merasa perlu untuk pergi keluar. Sudah saatnya tata kota dibuat secara mikro agar kegiatan tidak terkonsentrasi di pusat-pusat perbelanjaan besar maupun jalan raya yang sudah over-crowded.

Senin, 25 Maret 2013

Kesombongan


Salah satu hal yang saya benci dalam hidup ini adalah kesombongan.

Entah menyombongkan harta, kepintaran, kekayaan, kekuatan, kehebatan. Apapun itu. Eit tunggu, saya tidak akan mengecap orang yang suka posting foto makanan atau tempat liburan di Path sebagai orang sombong. Mereka hanya.. Ah sudahlah.

Baru-baru ini, saya melihat dengan mata kepala sendiri sebuah pertunjukan kesombongan. Tidak, bukan seseorang, tapi sebuah akun twitter. Tapi tetap saja akun twitter itu dikendalikan oleh orang, bukan?

Pada awalnya, saya bisa memahami bahwa mereka melakukan itu atas dasar bisnis. Ya, memang di jaman sekarang, tidak ada yang haram dalam bisnis. Bisnis itu seperti cinta dan perang dimana perbuatan apapun dengan bungkusan bisnis selalu membentur pada relativisme. Jika semuanya serba relatif, lalu bagaimana kita bisa membedakan hal yang benar atau salah?

Kita sudah terlalu dewasa untuk ini. Hal negatif dari merasa dewasa adalah membatunya kita. Dengan merasa sudah dewasa berarti menolak segala masukan dan saran karena kita sudah mapan dan mantap. “Siapa elu nasehatin gue? Gue udah gede! Gue udah tau apa yang musti gue perbuat!” Begitulah pledoi dari orang-orang yang mengaku sudah dewasa ketika dinasehati orang lain. Ah betapa rindunya saya akan kepolosan dan hal sederhana.

Dan lagi-lagi saya hanya bisa menyarankan sebuah jawaban klise atas hal itu.

Sudahkah anda menilai perbuatan anda itu dari hati yang paling dalam? 

Hati adalah satu-satunya hal di dunia ini yang belum terkontaminasi oleh tetek bengek bisnis, politik atau apapun yang merusak.

Melihat pada hati seringkali berseberangan dengan orang lain, bertentangan dengan orang banyak. Namun apakah yang diyakini orang banyak sudah berarti benar? Apakah yang diyakini oleh hati sudah pasti salah? Pikirkan lagi.

Memang benar kata Hayley Williams "It has to be so lonely to be the only one whose holy."

Bolehlah kita hebat, bolehlah kita menggenggam dunia, bolehlah karya kita disukai orang banyak. Tapi apalah artinya semua itu nanti? Apalah arti jika kita hanya bisa menyikapi segala anugerah Tuhan dengan kesombongan, merasa hebat, lalu merasa lebih tinggi daripada orang lain. Dan tahukah anda bahwa kesombongan adalah awal dari kehancuran?

Lihat saja sebuah bangsa yang kini berlaku sangat sombong. Mereka menganggap ras lain yang meninggali wilayah mereka sebagai warga kelas tiga. Mereka menganggap kaum lain selain mereka adalah kaum lemah yang halal untuk ditipu dan ditindas. Seberapapun saya mengagumi kepintaran, kecakapan, etos kerja dan kemajuan yang telah mereka ukir sejauh ini, saya melihat bahaya dalam tindak tanduk mereka. Ya, mereka hidup dengan kesombongan. 

Mereka menginjak-injak, mereka menyerobot lahan, membentuk tirani, menertawai pengeboman dan genosida. Selama bergenerasi-generasi, Tuhan telah memberi banyak contoh kepada kita akan kehancuran sebuah kaum karena kesombongannya.

Tunggu saja, mereka akan hancur oleh tangan-tangan mereka sendiri. Mereka yang nantinya bosan karena sudah merasa menang dan menguasai dunia, tentu secara alamiah akan menciptakan konflik sendiri. Ya, secara alamiah manusia memang tidak bisa hidup tanpa konflik. Mereka akan terus mencari perbedaan diantara kesamaan, lalu membesar-besarkannya hingga tercipta peperangan. Begitulah sejarah selalu berulang.

Mereka akan seperti produser Hollywood yang membuat film tentang musuh dalam selimut, seakan pamer kekuatan pada dunia bahwa yang bisa menghancurkan Amerika adalah Amerika itu sendiri, bangsa lain bahkan alien sudah mereka kalahkan semua.

Eh tunggu dulu, saya tidak hendak memberi ceramah atau dakwah. Tidak juga bermaksud mengungkapkan kebencian pada kaum manapun, tidak pula membenarkan teori konspirasi. Saya hanya mencoba menjelaskan ketidaksukaan saya pada kesombongan. Itu saja. Dan saya sama sekali tidak cocok bekerjasama dengan orang yang sombong.

Brute with heart is better than brain with arrogance.

Rabu, 20 Maret 2013

Mafia Bawang


Setelah sapi, sekarang bawang. Gimana nasib tukang sate dan iga bakar?

Tentu saja bukan hanya penjual sate dan iga bakar yang dipusingkan dengan meroketnya harga bawang menjadi sekitar Rp 36.000-40.000 per kilogram, malah ada yang mencapai 85 ribu rupiah. Kuliner Indonesia yang kaya bumbu nyaris melibatkan bawang sebagai alat tempurnya. Jelas saja kenaikan harga bawang tertinggi sepanjang sejarah ini (harga normal 10.000-15.000 rupiah per kg) akan memukul industri makanan, terutama industri kecil.

Seperti diberitakan okezone, pemerintah terpaksa mengimpor bawang guna menanggulangi kelangkaan. Impor bawang yang meningkat pesat sejak tahun 2006 ini memang mengindikasikan makin banyaknya importir bawang. Semakin banyak importir, tentu semakin besar kemungkinan terjadinya “permainan”.

Masyarakat Indonesia memang hidup dengan konsumsi tinggi dan gemar jajan, terutama jajanan kuliner. Positifnya, inilah salah satu kekuatan ekonomi Indonesia yang membuat negara ini survive dari krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 2008 lalu. Dengan hidupnya industri kecil, rakyat mampu hidup mandiri tanpa tergantung berlebih pada pemerintah.

Namun bagaimana jika kemandirian ini kemudian dimanfaatkan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab? Seperti yang telah dijelaskan diatas, meningkatnya jumlah importir ini memang lama kelamaan menjadi masalah. Pihak-pihak ini kemudian membentuk sindikat yang mampu mengendalikan harga. Hilangnya kendali pemerintah akan harga komoditas pangan inilah yang memungkinkan hal ini terjadi.

Saya pernah membaca kultwit salah satu akun yang menghitung besarnya keuntungan dari para mafia ini. Dalam kultwitnya tersebut ia memperkirakan keuntungan mafia itu bisa mencapai 100 miliar rupiah, hanya dalam waktu 2 bulan saja. Mekanisme pasar yang liar semacam ini tentu saja hanya akan membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Saat ini, 60% bahan pangan di Indonesia adalah produk impor. Kurangnya proteksi pemerintah akan produksi pangan negeri sendiri membuat petani semakin tercekik. Melimpahnya bahan pangan impor yang lebih murah otomatis menghancurkan pertanian kita. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kegiatan mengimpor, namun proteksi pada petani lokal tetap harus diberikan.

Alasan pemerintah mengimpor adalah tidak tercukupinya kebutuhan lokal dengan hasil bumi sendiri, padahal semua orang tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Kurangnya kemampuan mengolah kekayaan alam inilah yang menjadi masalah sejak lama. Penanaman pangan diseragamkan dan diversivikasi kurang dilakukan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang kebanyakan hasilnya adalah untuk diekspor malah digalakkan.

Padahal, mencukupi kebutuhan pangan sendiri jauh lebih mendesak ketimbang menyediakan komoditi untuk diekspor. Perdagangan dan produksi pangan harus dikombinasikan, namun semua itu harus bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan, bukan sekadar keuntungan satu atau dua pihak saja.

Perdagangan perlu dilakukan lebih efektif dengan cara mengimpor bahan pangan yang tidak banyak hasil produksinya, sementara ekspor dilakukan untuk komoditi yang sudah berlebih untuk konsumsi sendiri. Selama ini yang terjadi adalah kebalikannya, beras yang seharusnya mampu diproduksi sendiri malah diimpor sementara lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan malah ditanami komoditi ekspor.

Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi ketahanan pangan. Diperkirakan tahun 2030 dunia akan dilanda krisis pangan. Ketidakmandirian untuk menyediakan pangan akan memaksa Indonesia untuk mengimpor dari negara lain dengan harga yang sangat mahal. Akan menjadi ironis jika Indonesia sebagai negara dengan potensi penghasil pangan melimpah dilanda bencana kelaparan atau kekurangan pangan akibat kegagalan negara dalam mengelola industri pertanian dan mengendalikan harga.

Permasalahan mafia bawang dan juga sebelumnya mafia sapi ini memang tidak lepas dari ketahanan pangan yang mengkhawatirkan. Para petani yang sudah terlindas karena ketidakmampuan mereka bersaing dengan importir kehilangan daya saing yang berakibat pada keterbatasan produksi. Keterbatasan produksi inilah yang dapat menjadikan kelangkaan persediaan. Hal ini dimanfaatkan betul oleh kartel bawang untuk menahan persediaan mereka sehingga komoditi semakin langka. Kelangkaan inilah yang menyebabkan harga melambung, sesuai dengan hukum demand-supply.

Bukan tidak mungkin kasus kelangkaan komoditi pangan ini akan berulang, atau berpindah ke komoditi pangan lain. Para mafia itu tinggal menunggu terjadinya penurunan komoditi hasil petani lokal, lalu dengan cepat mengendalikan rantai penyediaan komoditi impor hingga terjadi kelangkaan yang berakibat melambungnya harga.

Jika pemerintah tidak mampu menanggulangi masalah ini, maka negara gagal menjalankan fungsinya sebagai regulator dan akan dikendalikan oleh kartel, mafia dan sindikat.

Jumat, 08 Maret 2013

Zombieland, A movie review





Pernah gak ngebayangin saat pulang dari kantor tiba-tiba jalan yang biasa elo lewati lebih sepi dari biasanya, tidak ada mobil dan motor berlalu-lalang, lalu ketika sampai dirumah lo gak menemukan keluarga lo, karena mereka telah berubah menjadi makhluk lain seperti zombie?

Orang-orang Amerika sepertinya memang terobsesi dengan mayat hidup ini. Seolah seluruh ras manusia sudah bisa mereka taklukkan, bahkan alien juga telah mereka usir dari muka bumi. Dan setelah bosan, kini mereka menciptakan musuh sendiri dari virus yang mereka ciptakan sendiri berupa zombie.

Dalam film bertema zombie, kekagetan akan zombie yang muncul tiba-tiba adalah sesuatu yang memang dijual oleh sang pembuat film. Dalam film ini, pandemik yang  terjadi dijelaskan akibat mutasi virus mad-man, ya semacam mad-cow versi manusia. Virus yang menyebar cepat secepat gosip artis ini langsung membuat seantero negara lumpuh dan menjadi negara zombie, a zombieland.

Film zombie biasanya diceritakan secara serius dan musuhnya digambarkan tangguh. Elo bisa menebak deh bagaimana plot maupun endingnya. Tapi kalo pengen nonton film bertema zombie dikemas dalam bentuk hiburan, parodi dan terkesan semaunya, mungkin Zombieland adalah pilihan yang tepat.

Zombieland bercerita tentang survivor. Seorang pemuda geek yang sampai film ini habis tidak disebutkan namanya (Hanya menyebut Colombus, sebuah kota di Ohio) yang belum tertular virus tiba-tiba didatangi oleh seorang wanita yang juga tetangganya di sebuah komplek apartemen.

Wanita seksi itu bercerita tentang pengalamannya dikejar oleh makhluk buas yang berusaha menggigitnya. Ia kemudian lemas, lalu tertidur di pangkuan si Colombus. Namun setelah Colombus bangun, si wanita seksi itu telah berubah menjadi zombie buas yang lapar dan ingin memakannya. Colombus melawan, dan berhasil membunuh zombie wanita itu. Setelah itu, ia keluar apartemen, dan begitulah cerita dimulai.

Colombus yang seorang geek dan jomblo akut itu kemudian berceloteh “You see? You just can't trust anyone. The first girl I let into my life and she tries to eat me.” 



Cerita berkembang ketika ia bertemu seorang yang berpenampilan macho, bergaya koboy tapi sering mengeluarkan lelucon garing. Orang ini akan menuju Tallahassee, yang meski sama-sama di bagian timur Amerika dengan Colombus, namun Colombus di utara, sementara Tallahassee di selatan. 

Karakter unik Tallahassee menjadi bumbu di film ini. Baginya, ekstasi membunuhi zombie bagaikan kesenangan anak kecil terhadap mainan perosotan. Namun sang jagoan itu terobsesi dengan kue twinkie, kue bolu jajanan anak-anak disana. Fakta sentimental ditambahkan mengenai anak anjingnya (kemudian belakangan diketahui itu adalah anaknya) yang menjadi korban zombie. Lihatlah percakapan mereka:

Columbus: You know there's a place untouched by all this crap?
Tallahassee: Back east, yeah?
Columbus: Yeah. Yeah. You heard the same thing?
Tallahassee: Out west, we hear it's back east. Back east, they hear it's out west. It's all just nonsense. You know, you're like a penguin on the North Pole who hears the South Pole is really nice this time of the year.
Columbus: There are no penguins on the North Pole.
Tallahassee: You wanna feel how hard I can punch? 

Film menjadi makin rasa Hollywood ketika dalam perjalanan mereka ke timur (Colombus dan Tallahassee) mereka bertemu dua cewek kakak beradik, yang ternyata adalah komplotan penipu ulung. Dua cewek ini menipu mereka dua kali, merampok mobil dan senjata juga. Si cewek yang mereka sebut Wichita (The cute Emma Stone) dan Little Rock ini kemudian membelokkan tujuan menjadi ke barat (Los Angeles) karena sang adik ingin pergi ke Pacific Playland, dimana banyak kabar beredar bahwa di area itu masih steril dari zombie.

Bisa ditebak, si Colombus dan Wichita saling tertarik. Dalam suatu momen yang “Hollywood banget”, si Wichita berniat menurunkan Colombus, agar si Colombus melanjutkan perjalanannya ke timur untuk melihat keluarganya.

“Go find what you’ve been looking for. And when you have it, don’t let it go.”

Ah there she is..
Dengan eye-contact dan body language yang typical dan terbaca, akhirnya si Colombus memilih untuk tinggal. Wichita hanya tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan.

“I could tell she knew what I was feeling, we all are orphans in Zombieland.”

Apakah selanjutnya dari film ini? Jika anda berpikir bahwa mereka akan menghadapi zombie besar yang lebih cerdas dan lebih berbahaya sebagai “raja terakhir”, maka film ini bukanlah film semacam itu. Bukan Resident Evil.

Hal utopis adalah yang pertama kali terpikir di kepala saya. Colombus mencatat do’s and don’ts, dimana hal-hal itu adalah semacam manual book yang Colombus tulis tentang bagaimana cara bertahan di negeri yang telah dikuasai oleh zombie. Zombieland. Di antaranya yang saya ingat adalah

1. Do the cardio. Ya, karena bakal sering lari-larian dikejar zombie.
2. Do the double tap (atau apa saya lupa, pokoknya hajar dua kali sampai zombie benar-benar mati).
3. Don’t be attached (jangan terikat atau menjalin hubungan).
4. Don’t be a hero (maksudnya, lebih baik pikirkan untuk selamatkan diri sendiri sebelum selamatkan orang lain).
5. Enjoy little thing (seperti berteriak-teriak, menghancurkan barang di toko-toko yang sudah ditinggal pemiliknya, dan lain-lain).

Elo bisa membaca lengkapnya disini

Tapi bukan itu inti film ini kalo menurut gue.

Film ini menawarkan sebuah ide yang amat utopis, terlebih buat elo yang selalu membenci dan menyalahkan hidup. Elo bisa memilih untuk tidur di manapun, mengambil barang di toko ataupun mengambil uang di bank karena tidak ada lagi pemiliknya. Dan elo bisa melakukannya tanpa harus merasa berdosa, atau merasa melanggar hukum. Lha, kan semua orang udah berubah jadi zombie.

Pendek kata, dunia zombie adalah tatanan baru dunia yang bebas, tanpa aturan, tanpa batas. Menggoda sekali, bukan?

Columbus: You want to know the best thing about Z-land? No- no Facebook status updates. You know, Rob Curtis is gearing up for Friday. Who cares?
Wichita: Ooh! Free parking...
Tallahassee: The best thing is no more flushing. Epic.
 

A unique group