Minggu, 23 September 2018

Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar

Pada suatu sore yang sejuk, gue sudah berseragam lengkap di pinggir lapangan sepak bola. Mamang manajer tim meminta gue bersiap-siap untuk masuk. 

"Dit, sana pemanasan, bentar lagi elu masuk," pintanya. 

Gue pun bersiap mengenakan sepatu berwarna putih yang sudah kesempitan, juga kaus kaki yang tidak standar karena terlalu pendek. Kardus air mineral pun gue sobek untuk gue jadikan pelindung kaki karena gue gak bawa. Gue pun bangkit melakukan pemanasan seperti layaknya atlet betulan sambil sesekali menengok ke arah penonton yang mulai membludak. Seperti ingin menyapa mereka, atau sekadar melambaikan tangan seperti seorang superstar. Tapi niat itu gue urungkan, dan itu sama sekali tidak gue sesali.

Tapi sejurus kemudian, ketika si Mamang bersiap menyerahkan secarik kertas pergantian pemain untuk diberikan kepada panitia pertandingan, gue mendadak berubah pikiran.

"Bang, gue kagak jadi main deh."
"Lah, emangnya ngapa?"
"Kagak ngapa-ngapa, ngasih kesempatan aja buat yang muda-muda"

Mamang manajer yang juga didampingi Pak RW pun hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan gue ini. "Ah elu. Bisanya ngeles doang." Gue pun nyengir-nyengir.

Mungkin ini telat banget, tapi ketika selangkah lagi melangkah ke lapangan, tiba-tiba gue seperti kembali ke dunia nyata. 

Pikiran kembali ke kubikel kantor, laptop, dan ordner. Bayangan kehidupan monoton penuh dengan kepura-puraan itu. Tapi ya namanya juga butuh.

"Kok bisa-bisanya di umur segini gue melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat saat berakhir pekan. Badan mulai melebar dan memasuki fase degeneratif, rapor merah di medical report...bisa-bisa gue ambrol di tengah lapangan. Hmm, tapi gue harus sok cool dan gak banyak omong soal ini." Pikir gue dalam hati.

Gue pun kembali duduk, melepas sepatu, mengganti kaus, membeli telor gulung dan menyesap kopi sachet (gak mau main bola, tapi makan sembarangan. Sama aja dong, Maleehh), lalu menikmati jalannya pertandingan sebagai penonton. Nyaring sekali terdengar suara pemandu pertandingan berlogat Betawi-Depok yang begitu kocak terdengar. Juga terdengar sayup-sayup pekikan dan teriakan emak-emak yang khawatir anaknya kena sleding. Man, betapa indahnya sore itu. Kadang, elo hanya harus menikmati hal-hal kecil untuk mengadapi permasalahan besar seputar menjadi orang dewasa. Kejujuran, spontanitas, dan tertawa lepas memang obat mujarab setelah sehari-hari jaim dan bermain peran menghadapi orang-orang, yang sebetulnya tidak ingin kita hadapi.

Tapi hal ini juga membuat gue berpikir keras. Sepuluh-lima belas tahun lalu, gue bisa memohon-mohon untuk bisa main di lapangan ini di hadapan banyak orang, tapi ketika kini kesempatan itu datang, gue malah melewatkannya. Agaknya, impian ini sudah lama terevisi, dan kejadian ini hanya memberi afirmasi saja.

Gue tahu, saat itulah gue sudah kehilangan sebuah kehilangan besar. Ini senada dengan judul sebuah artikel bucin dari buku serial Chicken Soup yang gue baca pada tahun 90an akhir. Sebuah cerita yang intinya tentang cowok yang nyesel karena gak berani ngajak jalan gebetannya. Kala itu, gue membaca artikel itu untuk meyakinkan diri dan berani mendekati gebetan. 

Dan, gue sekilas menertawai diri kenapa dulu sempat jadi bucin. Untung aja gak sempat jadi seperti si Bujang Rimba, yang sering muncul di iklan pas lagi nonton Youtube itu.

Balik lagi ke soal hilangnya sebuah kehilangan besar tadi, gue baru sadar bahwa gue kini sudah sangat kehilangan rasa kehilangan tidak main sepak bola. 

Menjadi dewasa telah membunuh keinginan-keinginan lain yang dulunya mudah saja untuk dilakukan. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu banyak pikiran ini-itu, yang padahal belum tentu terjadi. Tidak lagi mau bermain bola semakin menegaskan hal itu. 

Pada akhirnya, gue punya versi sendiri tentang "Hilangnya Sebuah Kehilangan Besar." bedanya, ini bukan lagi soal bucin seperti dulu. Lebih gawat lagi, ini sudah seperti membuang separuh jiwa jauh-jauh demi mempertahankan eksistensi sebagai a professional pretender.


Minggu, 16 September 2018

Mobius, Gagalnya Sebuah Honey Trap

Buat yang doyan dengan film-film spionase namun kental dengan drama dan percintaan, film Mobius (2013) bisa menjadi pilihan. Gue baru nonton film ini semalam ketika ditayangkan di TV kabel, dan karena serunya film ini, gue sampai rela melewatkan sebuah pertandingan Serie A Italia pada jam yang sama.

Spionase memang sebuah kegiatan rahasia pemerintah untuk tujuan tertentu. Yang terlibat dalam praktik ini bukan orang-orang sembarangan. Meski hanya tahu dari film, namun tentu saja ini menggambarkan kenyataan yang ada. Film mungkin memberi terlalu banyak bumbu untuk kepentingan penikmatnya yang memang menantikan sebuah pertunjukan, dan bahkan bumbu-bumbu ini kadang mengalahkan esensi dari filmnya. Ibarat masakan, kadang sambalnya lebih utama ketimbang daging atau ayamnya. Tapi di Mobius, unsur drama dari sebuah operasi honey trap saja sudah jelas akan mengalahkan tujuan utama dari operasinya. Di sini, justru intrik dan roman dari dua tokoh, yaitu Gregory Lioubov dan Alice Redmond menjadi inti dari film.

Dilihat dari nama, sudah jelas asal muasal dari kedua tokoh ini. Gregory adalah seorang Rusia dan Alice adalah seorang Amerika. Cerita di film ini mengisahkan romansa terlarang yang terjalin antara dua kutub yang berbeda haluan dan tujuan.

Akan tetapi karena mereka berdua berada dalam naungan dua agensi besar, FSB dan CIA, kisah cinta ini berubah dari hubungan sembunyi-sembunyi menjadi sebuah honey trap. Seperti diketahui, honey trap adalah sebuah taktik yang lumrah digunakan dalam praktik spionase, yaitu meminta agen menyamar dan bahkan mengizinkannya terlibat dalam hubungan emosional dan intim dengan salah satu orang penting dari lawan demi memperoleh informasi-informasi yang sifatnya rahasia, yang tujuan akhirnya tentu saja melucuti dan melumpuhkan lawan.

Awalnya, keterlibatan dua agen ini adalah untuk menyelidiki seorang oligarki Rusia, Ivan Rostovskiy. Berlatar Eropa (Monako, Moskwa, London), film ini juga menyajikan tiga bahasa untuk dialog, yaitu Prancis, Rusia dan Inggris. Rostovskiy dicurigai atas kegiatan-kegiatannya pencucian uang dan kejahatan transaksi finansial.

Gregory dan Alice awalnya berada di pihak yang sama. Alice, seorang ahli finansial yang mengklaim seorang diri meruntuhkan Lehman Brothers ke dalam krisis, juga pernah meramalkan krisis terhadap negara Spanyol, adalah seorang Amerika yang dilarang bekerja di negaranya karena keruntuhan Lehman Bros yang ia sebabkan. 

Ia kemudian diminta untuk menyelidiki Rostovskiy oleh FSB, yang juga bekerjasama dengan agensi Monako dan Prancis. Alice yang memang memiliki pesona, lantas membuat Rostovskiy terpikat dan malah ingin merekrutnya. Rostovskiy bahkan tertarik secara romansa juga kepada Alice. Ketika Alice dianggap tidak terkendali dan malah membahayakan misi, pimpinan FSB meminta Gregory untuk ikut menyeldiki Alice.

Ketika akhirnya Gregory menemui langsung Alice, ia langsung merasakan hal yang lain. Ternyata hal itu juga dirasakan Alice. Singkat cerita, mereka pun melakukan hubungan terlarang dan sering sekali bertemu. Dan ternyata lagi, keberadaan Alice juga dimanfaatkan oleh....CIA. 

Kisah ini kemudian berkembang lebih jauh, di mana keterlibatan CIA yang juga memiliki keinginan untuk menangkap Rostovskiy. CIA pun mengintai dari jauh misi ini bagaikan seekor singa yang sabar dalam mengincar mangsanya. Dalam misi ini, CIA juga melihat peluang lain, yaitu menyabotase FSB. Situasi inilah yang kemudian membuat Alice berdiri di dua pijakan, alias menjadi agen ganda.

CIA pun mengorkestrasi operasi menjadi sebuah honey trap. Mereka menggunakan Alice untuk menyabotase FSB lewat Gregory, padahal Alice juga tidak tahu bahwa Gregory adalah agen FSB. Alice sendiri tidak tahu bahwa hubungan romansanya dengan Gregory dimanfaatkan oleh CIA, karena yang ia pahami adalah bantuannya kepada CIA akan membersihkan namanya di kampung halamannya, tanpa ada sangkut pautnya dengan Gregory atau FSB.

Honey trap ini memang berhasil menyabotase FSB, di mana reputasi pimpinan teras FSB tergerus akibat keterlibatannya di saga Rostovskiy ini. Tapi bagi Alice dan Gregory, honey trap ini ternyata tidak menghalangi romansa yang telah mereka jalin dengan penuh emosional. Pada akhirnya, tagar #lovewins juga berlaku di film ini, di mana hubungan keduanya berlanjut meski awalnya berbeda kubu. Api romantisme ini sukses dikipas-kipasi oleh sutradara Eric Rochant di antara konflik geopolitik tingkat tinggi dan transaksi-transaksi finansial yang bisa meruntuhkan sebuah perusahaan besar atau sebuah negara besar.