Jumat, 18 Desember 2015

Untuk Yang Suka Cancel Mendadak

Suatu ketika dalam percakapan di sebuah grup whatsapp:


B: 'Ayo! Gue pasti dateng!'

C: 'Nah... Boleh tuh. Udah lama gak olahraga nih.
D: 'Boleh juga. Kapan dan di mana mainnya?'
B: 'Gue sih ikut kalian aja.'
C: 'Idem'
A: 'Ya udah, kita main di lapangan yang biasa. Hari sabtu malam jam 8 ya. Bener nih pada bisa?'
D: 'Bisa.'
C: 'Bisa dong'
B: 'Insya Allah'
A: 'Ok, gue udah book lapangan ya'
B: 'Eh, futsal jadi sabtu ini kan?'
A: 'Jadi lah, kan lapangan udah booked'
B: 'Oh iya. Hehehe. Jam berapa ya?'
A: 'Jam 8 bro.'
B: 'Sip'
Lalu saat h-1:
C: 'Eh bro, gimana futsalnya nih? Jadi kan?'
A: (mulai kesel) Bro, kan lapangan udah booked. Kalo gak ada pemberitahuan batal, ya berarti jadi.'
C: 'Oh iya. Hehehe. Sabar bro.'
A: 'Ok.'
D: 'Waduh ternyata besok ya? Gue kira minggu depan! Gue udah terlanjur bikin acara nih sama keluarga.'
B: 'Eh iya nih, gue lupa kalo besok mobil gue mau dipinjem sodara. Mudah2an udah balik ya pas main.'
C: 'Yah, kok pada begitu sih. Kalo elo berdua gak main, gue juga males ah!'
A: 'Yaah kan dari kemaren-kemaren udah dibilang jelas-jelas. Main di mana, jam berapa, hari apa. Lagian kalo emang ga bisa ya ngomongnya dari kemaren-kemaren dong. Ya udah lah kita cancel aja. Daripada ribet.'
B: 'Yah kok cancel sih bro, kan gue bilang kalo ga ada mobil baru deh gue gak dateng. Jangan ngambek dong.'
A: 'Emangnya elu gak bisa pergi tanpa mobil?'
B: 'Ya bisa sih, tapi kan ribet. Kalo ujan gimana?'
C: 'Iya jangan pada cancel mendadak dong, kasian tuh si A udah book lapangan. Gimana sih.'
D: 'Yah sorry bro, abis dari kemaren gue sibuk banget di kantor, jadi gak sempet buka whatsapp. Lagian gue gak enak sama anak gue, dia pengen main ke mall.'
A: 'Oke, gue gak mau berdebat. Semua emang punya alasan masing-masing. Futsal butuh 10 orang yang siap main, tapi kalo banyak yang cancel ya jelas kurang orang, dan gak bisa main. Lain kali jangan cancel mendadak dong. Gue kan udah bayar booking fee juga.'
D: 'Gue ganti deh booking fee nya. Lagian kan kalau dari awal gue bilang gak bisa, nanti elo pada jadi males ngerencanain. Hehehe.
A: 'Whatever..'

Familiar dengan situasi di atas? Acara futsal bareng memang kedengeran asik. Begitu penting bagi kita, terutama orang kota, yang butuh hiburan, butuh olahraga, butuh waktu buat kumpul sama teman-teman di tengah kesibukan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan di dunia yang semakin matrealistis ini.

Tapi yang namanya kumpul bareng remeh temeh begini pun butuh komitmen, sodara-sodara. Butuh respek. Ini juga berlaku buat acara kumpul sejenisnya seperti karaoke atau makan di restoran, yang butuh pemesanan sejak jauh-jauh hari.

Kalau kita mau kumpul di suatu tempat, berarti kita harus pesan tempat itu jauh-jauh hari supaya kebagian. Itu aja udah butuh effort.

Banyak yang harus dikorbanin oleh si 'EO sukarela' ini. Waktu, uang, pulsa, tenaga. Si EO sukarela ini juga udah jauh-jauh hari kosongin jadwalnya, dan mungkin aja udah ngebatalin janji dengan orang lain, dan bisa juga batal pergi ke mall dengan anak dan istrinya.

Lalu bagaimana dengan pihak lapangan futsal yang sudah menyediakan waktunya buat kita, tapi tiba-tiba kita batal menggunakan lapangan? Jelas mereka rugi. Ada opportunity cost yang hilang kalo kata orang ekonomi. Mereka udah nolak pesenan orang lain, yang mungkin aja lebih niat untuk main daripada kita yang cuma untuk cari keringat.

Memang selalu ada alasan bagus untuk ketidakmampuan kita untuk komit. Ada pula yang sifatnya force majeur yang tentu saja akan dimengerti. Tapi kalau alasan batalnya hanya karena hal-hal sepele macam gak ada mobil, ujan gerimis, badan gatel-gatel, muka jerawatan, jari tangan ketusuk duri dan sejenisnya, apalagi elu mengada-ada sesuatu yang sebetulnya gak ada, ini sih udah masalah respek.

Kalo elu respek sama seseorang atau sesuatu, dan kalau elu respek sama diri sendiri supaya gak dibilang omdo, elu pasti akan usahain datang walau ada badai atau harus jalan kaki sekalipun. Respek emang dimulai dari hal-hal kecil sih.

Acara kumpul sama teman itu kedengeran sepele. Padahal kalau masih ada yang mau ngajak kita kumpul dan ketemuan, itu berarti kita masih diingat sebagai teman. Ini masih jauh lebih baik daripada nanti suatu saat kita gak pernah diajak kumpul lagi sama siapa pun.

Memang kita harus mendahulukan keluarga. Katanya, acara kumpul-kumpul teman tidak lebih penting daripada kumpul-kumpul keluarga. Katanya, teman hanya ada saat kita berjaya tapi lupa saat kita susah. Katanya, teman itu datang dan pergi sementara keluarga itu abadi.

Man, itu mah bahasan yang beda. Kita lagi ngomongin bagaimana kita memperlakukan sebuah komitmen, bukan ngebandingin lebih penting mana antara teman dan keluarga. Intinya kalau memang dari awal gak bisa, ya bilang aja gak bisa. Jangan semangat pas ngerencanain, lalu banyak alasan dan ngacauin acara menjelang hari h. Gak perlu juga kita kasih harapan palsu dengan bilang kalau kita bisa datang hanya untuk menjaga antusiasme, padahal ujung-ujungnya cancel mendadak juga.

Respect your friends, respect others, respect yourself! Stop cancel mendadak!

Kamis, 17 Desember 2015

The Holiday

Libur juga akhirnya!

Man, setelah bergumul dengan pekerjaan yang menggunung, deadline yang mencekik dan ekspektasi pemilik modal yang sering tidak realistis, akhirnya sampai juga di penghujung tahun ini. Sebagai sedikit dari wujud kemurahan hati pemilik modal, mereka meliburkan perusahaan selama kurang lebih dua minggu.

Yup, dua minggu! Gak dua minggu kerja sih, tapi dua minggu kalender. Dan itu pun dipotong cuti. Tapi tetep aja, man, jarang-jarang ada korporasi yang ngasih kelonggaran sebegini banyaknya di akhir tahun. Temen-temen yang gue tanya aja, gak ada satu pun yang dapat libur. Ya boro-boro libur, beberapa orang yang gue kenal, malahan gak diperbolehkan ambil cuti oleh bos-bosnya yang terhormat.

Libur kali ini seperti datang dengan waktu yang pas. Ibarat komputer, badan perlu hibernasi. Virus-virus perlu dibersihin dan program-program yang sudah ketinggalan jaman perlu diperbaharui. Kalo ibarat mobil, mungkin perlu servis besar!

Tapi ya meskipun libur, bukan berarti hibernasi terus kaya beruang di musim dingin. Kita tetap butuh makan, butuh jalan-jalan, dan butuh mengisi ulang pengetahuan. Intinya, gue gak mau liburan ini cuma jadi libur bego, alias cuma diisi dengan makan, tidur, main PS, nonton film dan pergi ke mall. Gue juga gak mau menguras tenaga untuk menemui teman-teman lama, karena, toh mereka juga punya kesibukan. Kecuali kalau mereka yang mengajak, ya.

Bersih-bersih rumah? Memasak? Berkebun? Oh man, gue tuh 11-12 dengan Homer Simpson kalo urusan beginian. Leave it to the expert aja lah.

Jadi, sepertinya hal-hal ini yang akan gue kerjakan selama liburan:

Main Sama Anak
Disclaimer: ini bukan pencitraan. Sebagai budak korporasi, waktu gue memang dengan sukarela gue curahkan untuk kemaslahatan bapak-ibu pemilik modal yang terhormat. Karena itulah gue jadi sering pulang malam, dan ada saatnya masuk kerja pas tanggal merah atau akhir pekan.

Liburan ini jelas memberi waktu gue untuk main sama anak, menghabiskan waktu bersama mereka, mengajari mereka permainan yang menyenangkan sebelum tanpa sadar mereka tumbuh besar dan lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Baca Buku
Berapa banyak buku yang belum gue baca meskipun udah dibeli? Entahlah. Sama seperti yang lain, gue rasa ini memang sindrom orang kota. Saking sibuknya sama kerjaan, jadi lupa menambah pengetahuan. Otak kehilangan kreativitas, perut menggendut, malas bergerak dan imajinasi mati. Cuma jadi seonggok daging yang bergerak ke sana kemari tanpa makna. Gua gak mau jadi orang itu.

Gak usah pasang target yang muluk-muluk soal berapa buku yang mau dibaca, dan gak usah juga beli buku baru, toh buku lama juga masih banyak yang belum dibaca. Yang jelas harus buku. Literatur. Novel fiksi atau non fiksi. Bukan artikel, bukan majalah bergambar. Gak harus bacaan berat atau filosofis kaya mas-mas yang jenius itu sih. Pokoknya baca.

Belajar Bahasa Baru
Tanpa bermaksud gaya-gayaan, belajar bahasa baru menurut gue adalah kebutuhan. Banyak manfaat didapat, dan sudah pasti memacu otak untuk terus berkembang. Sejak tahun lalu, gue sebenernya udah belajar bahasa Rusia. Tapi ya dasar tekad Nobita, sampai saat ini gue baru bisa membaca huruf Sirilik aja. Itu pun belum lancar-lancar amat. Kali ini, gue mau coba lagi.

Main Gitar
Jago main gitar adalah impian gue sejak kecil, dan sampai sekarang belum juga kesampaian. Gak peduli jari udah kaku dan ngeband udah jarang, jago main gitar sama sekali gak rugi.

Olahraga
Naahh ini dia yang wajib banget dikerjain. Top of the list setelah main sama anak. Dalam tiga tahun terakhir, frekuensi olahraga gue makin berkurang. Emang agak susah sih. Maen futsal selalu sulit ngajak orang. Teman-teman gue banyak banget alasannya kalau diajak main futsal, dari alasan sibuk ini-itu sampai gak ada mobil (man, kan sekarang ada Gojek dan sejenisnya). Main bola lapangan besar? Bisa engap-engapan deh.

Nge-gym? Renang? Kalo elo kenal gue dengan baik, maka elo gak bakal ngajak gue melakukan olahraga ini.

Squash? Golf? Bowling? Yaaa.. mungkin patut dicoba kalo pas ada teman. Bowling sounds great!

Minggu, 29 November 2015

Si Medioker

Hampir sembilan tahun sudah saya menjalani kehidupan sebagai pekerja kantoran. Bekerja sebagai (katanya sih) spesialis pada sebuah disiplin ilmu yang cukup menjanjikan dan semakin ke sini semakin dicari orang.

Katanya sih begitu, tapi bukan itu yang ingin saya bicarakan.

Pekerjaan ini, walaupun sering saya jalani sambil misuh-misuh dan menggelengkan kepala karena gak selesai-selesai, toh membawa rizki. Kalau berbicara materi, alhamdulillah saya dibayar cukup. Cukup untuk makan sehari-hari tapi memang tidak akan pernah cukup kalau setiap hari harus dipakai buat lunch, ngopi dan dinner cantik yang kalo difoto tuh instagram-able dan path-able

“Disyukuri aja, bro.”

Begitulah perkataan yang sering saya jumpai --baik dari teman sendiri, ataupun dari postingan cantik para keyboard warrior yang mengambil keuntungan besar dari kecenderungan orang untuk men-share postingan yang menurut mereka amat inspiratif-- bahwa di zaman yang serba sulit ini, kehidupan yang saya punya boleh jadi diinginkan oleh jutaan orang yang cari makan aja sulit.

Tapi secuplik kalimat curahan rasa syukur sekalipun tidak mampu mengubah fakta bahwa saya masih saja berangan tentang diri saya dalam versi kehidupan lain, atau sebut saja alternate universe. Saya masih suka berpikir tentang diri saya sebagai pesepak bola atau sebagai musisi, atau melakukan pekerjaan lain sehubungan dua bidang itu.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi pada saya, tentu ada hubungannya dengan masa kecil saya. Sewaktu masih sekolah, saya tidak memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran apa pun kecuali olahraga, seni musik dan chapter tentang peta buta dalam pelajaran Geografi. Untuk pelajaran eksakta, dari dulu pun saya adalah anak IPA gadungan yang selalu membenci pelajaran Fisika, dan tidak suka pelajaran Biologi. 

Hal-hal ini menjadikan saya tumbuh sebagai anak sekolah yang tidak memiliki visi. Tidak seperti teman-teman saya yang sedari SMA sudah tahu mau lanjut ke jurusan apa ketika kuliah nanti, dan untuk itu rajin mengikuti bimbel-bimbel. Saya sih hanya mengikuti proses, menjalani sistem yang sudah ada dan pasrah diombang-ambing oleh tuntutan yang terdengar tidak realistis dari guru dan orang tua. Dan semua itu juga menjadikan saya sebagai tipikal anak muda yang playing safe, average dan gak rebel.

Nilai-nilai akademis saya tidak bagus, tapi tidak juga jelek. Saya memang sulit mendapat nilai 100 atau predikat juara kelas, tapi ketika sedang 'sehat', rasanya saya akan mampu bertarung untuk keluar dari 'zona degradasi' di peringkat kelas. Saya hanya nyaman berada di tengah, nyaman tidak diperhatikan, dan rela dicibir oleh anak-anak yang (merasa lebih) pintar.

Oh iya, semasa sekolah, saya juga tidak merokok, mabok, tawuran dan pacaran. Gak neko-neko, atau secara sarkastis lebih pantas dibilang culun.

Bagian itu, toh sampai sekarang masih membuat saya kesal jika harus mengingatnya. Berprestasi enggak, bandel enggak. Gaul pun enggak. 

Ketika saya akhirnya kuliah di sebuah kampus yang katanya sih unggulan, saya pun masih menjadi the average. Saya jarang dapat nilai A, tapi saya juga tidak pernah mendapatkan lebih buruk dari C. 

Masa kuliah pun saya jalani tanpa kesan mendalam, baik dalam akademis maupun pergaulan. Di luar jam kuliah, saya tidak pernah melakukan kegiatan apa pun yang berkesan, apalagi yang bermanfaat bagi orang banyak. Hanya bermain ke sana-kemari tanpa tujuan yang jelas. 

Ada berapa trofi atau penghargaan yang saya punya di rumah? Tidak ada. Lomba balap karung, makan kerupuk, futsal antar RT dan sepak bola antar jurusan tentu tidak masuk hitungan. Saya kalah dari Beavis dan Butthead yang pernah mendapat bintang penghargaan dari Bill Clinton, dan bahkan kalah dari anak tetangga sebelah yang pernah mendapat penghargaan dari Pak RT karena berhasil menangkap maling.

Cerita di atas adalah sama sekali tidak menarik dan bahkan gak akan lolos nominasi tayang di majalah dinding sekolah atau papan maklumat di pos kamling. 

Sepertinya tidak sulit untuk membaca masa depan dari anak yang cara hidup dan berpikirnya seperti ini. Tapi masa depan memang tidak pasti, dan setiap orang memang memiliki turning point dalam hidupnya. Bagi saya, momen itu adalah ketika mulai berkeluarga, terlebih memiliki anak. Keadaan ini mau tidak mau memotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi mereka, dan untuk itu saya rela menjadi sebuah baut untuk mesin besar bernama korporasi walaupun pikiran saya kadang-kadang berada di tempat lain.

Everything happens for a reason. Berkat kecintaan tak beralasan pada sepak bola dan musik, Tuhan pada akhirnya memberikan sedikit kemenangan di antara banyaknya kekalahan yang sudah saya alami. Tahun lalu, saya mendapatkan serangkaian pencapaian yang sebelumnya tidak pernah saya sangka-sangka, dan tanpa terasa, saya juga telah memantapkan diri untuk menjadi spesialis di bidang yang saya geluti. Berbagai peluang lain pun terbuka dengan sendirinya.

Untuk pekerja kantoran, menimbun pengetahuan di luar bidang pekerjaan adalah bentuk pemborosan kapasitas otak. Tapi saya percaya bahwa tidak ada satu pun pengetahuan yang percuma. Buktinya, saya menjadi lawan tangguh bagi teman-teman sekantor yang sedang keranjingan main Duel Otak.  Hehe.

Saya bukan tipe karyawan cemerlang yang setiap saat selalu siap dengan solusi non-ortodoks yang out of the box, dan setiap tahun selalu mendapat predikat eksepsional atau menjadi top performer. Tapi dalam bekerja, setidaknya saya memiliki rasa malu jika mengecewakan orang yang sudah membayar gaji saya. Saya juga selalu terbuka dengan pengalaman dan pengetahuan baru, dan tidak mengeluh jika diberi tugas yang sebelumnya saya tidak pernah kerjakan. Itulah yang biasanya saya jual kalau lagi interview. Haha.

Selama upah dari pemilik modal yang terhormat mampu mengepulkan dapur, sayalah si medioker yang siap memberikan apa saja. Tapi saya juga tipe karyawan yang kemungkinan besar akan resign andaikan tanpa sengaja menemukan bongkahan batu akik bernilai miliaran rupiah di suatu tempat.

Rabu, 11 November 2015

Tentang Masa Kecil Siapa Yang Lebih Bahagia

Belakangan ini, sering banget saya lihat postingan, baik berbentuk tulisan pendek, meme atau foto-foto berupa klaim tentang masa kecil anak 90an yang amat menyenangkan. Dari mulai bermain gambar tempel, kelereng, nonton Doraemon dan Power Ranger setiap minggu pagi, makan agar-agar dan lidi asin yang dijual abang-abang depan sekolah, hingga menyalahgunakan kaca rautan untuk mengintip rok anak perempuan.

Katanya, semua itu menyenangakan, tak tergantikan dan tak terlupakan, hingga meski sekarang semuanya sudah hilang, banyak di antara kita yang mencari-cari barang-barang 90an atau menonton pertunjukan musik 90an. Mungkin cuma kosakata slapstick 90an macam ‘au ah gelap’, ‘bokis’, ‘bokin’ ‘egelugu sigiagapaga’ dan model rambut belah tengah aja yang sudah ditinggalkan.

Dalam banyak hal, saya setuju tentang betapa menyenangkannya era 90an. 90an adalah masa di mana teknologi berkembang amat pesat. Telepon, komputer, dunia pertunjukan (showbiz) dan banyak teknologi lain yang muncul ke permukaan (khususnya di Indonesia) pada tahun 90an. Dan seperti ‘anak bayi’, penggunaan teknologi ini jadi pengalaman pertama yang bikin penasaran. Ketika telepon baru dipasang, kita sering terlalu lama menelpon teman atau layanan 0809 hingga orang tua mencak-mencak ketika tagihan telepon membengkak. Telepon dikunci, kita akali dengan memencet nomor pakai sendok. Jika sudah tidak mungkin lagi diakali, kita rela menyisihkan uang jajan untuk menelpon di wartel atau mengantre di telepon umum koin dengan risiko dipalak anak preman yang nongkrong di situ.

Revolusi dari teknologi dan maraknya dunia pertunjukan ini kemudian melahirkan dinamika dalam masa tumbuh anak-anak 90an. Tapi di tengah perubahan drastis ini, anak-anak 90an pun masih diajarkan oleh generasi sebelumnya (yaitu orang tua kita) untuk menyeimbangkan cara hidup. Jangan sampai teknologi dan gemerlapnya dunia pertunjukan ini membuat anak-anak 90an asik sendiri. Anak-anak 90an masih sering main petak umpet, benteng, galasin atau lompat karet di luar rumah, meski sesekali terlihat main dingdong di terminal dan Nintendo atau Sega di rumah.

Lalu timbul komparasi dengan masa kecil anak-anak sekarang, dan betapa berbedanya perilaku kesopanan anak 90an jika dibandingkan dengan anak-anak sekarang.

Yang seperti apa?

Tau sendiri lah. Yang masih SD sudah punya handphone, yang sedari belajar ngomong sudah dijejali gadget, yang umur 2 tahun sudah sekolah. Belum lagi menyoal pelajaran sekolah yang teramat berat, ikutan bimbel sana-sini yang menghabiskan masa kanak-kanak, lalu tuntutan untuk lulus ujian.

Ouch, untuk membahas soal ini satu persatu rasanya butuh postingan sendiri-sendiri.

Tapi intinya, hidup anak-anak sekarang yang sudah berat ini juga kemudian diperparah dengan kualitas acara tv yang semakin terdegradasi dan tentu saja tuntutan untuk bersaing dengan miliaran anak lain di seluruh dunia di tengah pasar bebas. Beberapa ahli mengatakan, bahwa akibat tuntutan ini, perilaku anak-anak sekarang memang cenderung makin individualis, agresif dan pemarah, kurang hormat dengan yang lebih tua, sedikit-sedikit ngadu gara-gara diomeli guru, manja, malas, kebanyakan makan, bahkan sampai ugal-ugalan naik motor dan pacar-pacaran yang semakin liar.

Saya tidak ingin menggurui. Tapi saya berpendapat bahwa klaim sepihak tentang masa menyenangkan anak 90an ini tidak akan berarti apa-apa untuk memperbaiki mental anak-anak sekarang. Pernahkah kita berpikir bahwa generasi keren 90an ini juga turut berandil bagi pembentukan mental anak-anak sekarang?

Kita mengeluhkan mengapa anak-anak sekarang malas gerak (mager). Tapi jika kita dulu bisa dengan leluasanya bermain di tanah lapang, apakah sekarang tanah lapang itu masih banyak tersedia untuk tempat main anak-anak kita? Tidak. Sekarang sudah berwujud mall, perumahan, tempat makan, dan lahan parkir.

Kita juga mengeluhkan anak-anak sekarang yang terlalu cepat dewasa. Lagunya sudah cinta-cintaan, bahasanya juga tua. Alay, lebay, labil. Padahal, ada andil tayangan di televisi dan tidak terbatasnya informasi dari internet. Lalu sudahkah kita menyediakan waktu untuk mengawasi tontonan televisi dan penggunaan smartphone mereka? Tidak, kita lebih sibuk bekerja dan menitipkan anak kepada si mbak.

Lalu anak-anak sekarang itu narsis dan suka selfie. Lha, bukannya ortunya juga begitu? Hehehe.

Lalu kita mengeluhkan tindakan no respect dari anak-anak sekarang. Tapi seberapa banyak kita meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak dan keponakan kita jika kita sendiri terbuai dengan dunia konsumtif yang membuat kita semakin sibuk sehingga lupa mengajari mereka?

Anak-anak sekarang lebih egois dan tidak mau mengalah. Ya, gimana mau mengalah dan berempati jika semua keinginan anak selalu kita turuti. Semua dibelikan masing-masing, tidak kita ajarkan berbagi.

Oke, mungkin ini terlalu generalisir dan bias. Masih banyak di antara kita yang sadar pentingnya pendidikan kepada anak berkat buku-buku parenting dan artikel-artikel inspiratif yang sudah kita lahap. Tapi, tetap saja sebagian dari kita juga lalai, terlalu cuek dan terlalu sibuk, bukan?

Lagipula, bukan berarti tidak ada hal positif dari masa kecil anak-anak sekarang. Lihat aja betapa cepat pintarnya mereka (dilihat dari raport yang diposting orang tuanya di media sosial), membanjirnya pujian-pujian untuk mereka dari teman-teman ortu mereka, betapa jagonya bahasa Inggris mereka karena sudah kita biasakan mencampur bahasa Indonesia-Inggris di rumah, dan banyak sekali anak yang kecil-kecil udah bisa sholat tanpa disuruh.  

Man, generasi 90an emang keren, menyenangkan, dengan teramat banyak value positif di dalamnya. No doubt about it. Tapi mengapa semua itu seperti terlalu cepat hilang, tentu ada andil dari kita juga.

Buat apa klaim-klaim generasi keren ini-itu kalau value-nya tidak kita tularkan.

Selasa, 20 Oktober 2015

Kelamaan!

Langsung aja, berikut pengamatan iseng saya terhadap kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup orang, yang menurut saya menghabiskan waktu terlalu lama, entah di suatu tempat, atau dalam hal melakukan suatu kegiatan. Mungkin sepele, tapi beberapa di antaranya punya dampak yang menurut saya cukup serius, apalagi kebanyakan di antaranya dilakukan di tempat umum atau menggunakan fasilitas umum.

Menggunakan ATM
Udah jelas, menghadapi orang seperti ini sedikit ngeselin, terlebih kalau kita lagi buru-buru. Beberapa orang --terutama yang gaptek—memang menghabiskan waktu terlalu lama di depan mesin ATM. Entah karena tidak mengerti cara membaca menu, atau bingung mengikuti instruksi.

Tapi yang lebih nyebelin sih mereka yang gak gaptek, tapi pergi ke ATM ramai untuk memenuhi banyak keperluannya sekaligus. Cek saldo, transfer, bayar tagihan atau keperluan-keperluan lain yang sebenarnya bisa dia lakukan di ATM non-tunai.

Berwudhu
Ya, wudhu. Atau ritual bersuci sebagai salah satu syarat sah ibadah sholat. Wudhu memang ada adabnya, dan juga harus sesuai dengan urutan-urutan. Terdapat pula sunnah rasul yang akan semakin menyempurnakan wudhu. Tapi, bukan berarti kita menghabiskan lima menit sendiri untuk membasuh tangan hingga telapak kaki, bukan? Ini wudhu, bukan mandi.

Lagipula, bukankah Rasul justru mengajarkan kita untuk menghemat air? Silakan cari referensi, karena saya gak mau ceramah. Tapi saya pernah baca kalau Rasulullah hanya menghabiskan 1 mud air (kira-kira 600ml) untuk berwudhu, dan satu sha (4 mud/2,4 liter) untuk mandi.

Konsultasi Dengan Dokter Anak
Sebenarnya tidak ingin terlalu spesifik, tapi dalam banyak contoh, ini cukup mengganggu. Banyak orang tua anak yang menghabiskan waktu terlalu lama di ruang praktik dokter anaknya. Saya pernah sampai menunggu setengah jam. Ya, memang si anak harus diperhatikan betul kesehatannya, tapi mbok ya diingat kalau anda tidak sedang mengunjungi psikolog.

Menunggu Makanan Turun Ke Perut
Sehabis makan, memang enaknya tidak langsung melakukan aktivitas yang lain. Males gerak, perut penuh, kaki berat, mata ngantuk. Ngerokok sebatang-dua batang atau ngobrol ngalor ngidul emang paling enak. Ya, boleh aja kalau elu lagi di rumah, tapi mbok ya jangan warteg atau warung nasi disamakan dengan rumah. Tunjukin lah sedikit empati terhadap orang-orang yang juga mengantre, apalagi kalau dia sudah menyendok nasi dan lauknya.

Bengong Di Lampu Merah
Di kota yang penduduknya selalu tergesa-gesa, memang hanya sedikit ruang yang tersisa untuk menikmati perjalanan. Apalagi, di lampu merah. Lampu merah memang mengesalkan, dan setiap orang selalu ingin cepat melaluinya. Makanya saat lampu beranjak hijau, para pengendara bergegas untuk kembali memacu kendaraan untuk melanjutkan perjalanan.

Tapi memang ada beberapa orang yang memang terlalu selow dan asik menikmati perjalanan, seolah sedang plesiran jadi turis. Otaknya terlalu lama mengirim perintah kepada telapak kaki untuk cepat menekan pedal gas ketika lampu berganti hijau, sehingga terjadi diam sesaat. Mending kalo hanya sesaat, bagaimana jika sampai 20 detik? Dijamin udah diklakson sama pengendara di belakangnya.

***
Ini hanya beberapa contoh yang terpikirkan. Ada pula beberapa tempat lain seperti toilet umum, bank, dan lainnya. Di banyak tempat, terutama pelayanan publik atau ruang privat yang kita bayar untuk gunakan, beberapa orang memang kerap berbuat seenaknya. Parahnya lagi, orang-orang macem begini umumnya marah jika ditegur.

“Gue bayar, kok!” “Duit-duit gue!”

Iya, emang elu bayar. Iya emang itu duit elu. Tapi kalo elu sedang memakai fasilitas publik, atau ketika kegiatan elu mengganggu orang lain, atau membuat orang lain terlalu lama menunggu, jelas saja orang lain berhak untuk menegur.

Tapi, ini Indonesia, bung. Di sini, yang salah bisa lebih galak daripada yang bener.

Senin, 19 Oktober 2015

Kamu Hanya Seekor Ayam!

Suatu ketika, si Gondrong melihat seekor kucing berjalan di atap rumah. Langkahnya mantap, tapi tiba-tiba ia terjatuh. Rupanya, ia menginjak sehelai daun basah yang licin sehingga ia terpeleset.

Si Gondrong juga pernah melihat tupai melompat-lompat dengan terampil di antara pohon-pohon. Tiba-tiba ia terlempar akibat berpijak pada dahan pohon yang sudah lapuk.

Si Gondrong juga pernah mendengar cerita seorang dokter berpengalaman yang salah mendiagnosa penyakit pasien, atau seorang tukang ojek senior yang tiba-tiba tersasar saat melewati jalan tembus yang ia biasa lewati. Kamu juga pernah dengar, kan?

Lalu suatu ketika, motor si Gondrong juga pernah dibuat bermasalah gara-gara pekerjaan yang dilakukan oleh seorang montir senior yang sudah dia percaya. 

Lain lagi teman si Gondrong yang perempuan. Ia begitu berang karena potongan rambutnya gagal total, padahal yang mengerjakannya adalah penata rambut ternama yang telah ia bayar mahal.

Andrea Pirlo pernah salah umpan, Diego Maradona pernah gagal melewati lawan, Michel Platini pernah gagal menendang penalti. Kirk Hammett juga pernah salah menekan nada di gitarnya, begitu pula Axl Rose yang pernah out of tune ketika bernyanyi. John Stockton juga pernah gagal melakukan lemparan bebas. Dan sebagainya, dan sejenisnya.

Kamu juga pernah membaca kisah hidup Steve Irwin atau Ayrton Senna, kan? Pasti dong.

Kamu juga pasti pernah mendengar cerita seorang akuntan handal yang salah memposting jurnal, seorang pengacara yang salah menginterpretasi peraturan, seorang analis yang salah menghitung proyeksi, atau seorang insinyur yang salah memperhitungkan kebutuhan bahan bangunan, dan seorang koki yang salah menakar bumbu.

Mereka semua ahli di bidang masing-masing. Tapi tetap bisa salah, bukan? Mereka yang bisa melakukan pekerjaannya walaupun sambil merem, tapi tetap saja bisa keliru, bukan?

Lalu si Gondrong melihat dirimu. Ya, kamu. Kamu memang berbakat. Berpotensi besar. Tapi semua itu masih dalam tahap ‘calon’, belum ‘jadi’. Masih belum punya karya, tapi kok bisa-bisanya menghina karya orang lain? Dan tidak jarang kamu menghina kompetensi seseorang, yang padahal bidangnya kamu tidak kuasai. Kamu tidak lebih dari seekor ayam yang dengan jemawanya mengajari musang tentang cara berburu yang baik. Kamu hanyalah seekor ayam, yang berani-beraninya meledek cara ikan berenang.

Kamu memang menguasai teknis, teori segala macam kamu lahap, pengalaman sudah mulai dirintis, mentor kamu juga hebat-hebat. Tapi, seperti yang saya bilang, sehebat apa pun kamu nantinya, bukan tidak mungkin kamu akan mengalami ‘kesialan’ yang akan membuatmu melakukan kesalahan mendasar yang memalukan. 


Dan sebagus apa pun kamu, pasti masih ada yang jauh lebih bagus. Dan di atas langit masih ada langit.



Dan kalaupun kamu memang sudah hebat seperti yang kamu bayangkan, tetap saja tidak ada alasan untuk sombong, bukan?



Karena kamu hanya seekor ayam!

Duh, ayam.

Senin, 05 Oktober 2015

Si Gelas Penuh

Ini adalah hari yang panas terik. Matahari seperti berada tepat di atas kepala. Siapa pun akan malas keluar rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak. Si Gondrong, pun begitu. Ia terlihat berada di ruang tunggu dokter gigi dekat rumah untuk menambal giginya yang bolong.

Sedang asik membaca buku di ruang tunggu ala kadarnya, ia melihat Bambang, sobat karibnya semasa sekolah dulu yang baru datang untuk membeli obat di apotek, tepat di sebelah tempat praktik dokter. Setelah bertegur sapa, mereka asik mengobrol. Lumayan, daripada bosan menunggu antrian, lebih baik ngobrol dengan teman.

Baru sebentar mengobrol, Bambang sudah mengeluarkan telepon selulernya. “Ndrong, gue mau kasih liat nih koleksi foto terbaru gue.”

Gondrong tidak menyambutnya dengan semangat, karena ini adalah kesekian kali Bambang menunjukkan koleksi foto setiap kali mereka bertemu. Gondrong melihatnya sebentar, memberi penilaian seadanya, lalu mengembalikan ponsel Bambang.

“Lho kok cuma sebentar? Ini masih banyak di folder berikutnya,” Bambang masih belum puas dengan eksebisi kecilnya kepada Gondrong, lalu menunjukkan folder lain. Gondrong, walau tidak enak hati, menolaknya dengan halus.

“Mbang, sorry bukannya gue gak mau lihat hasil foto elo, tapi gigi gue lagi sakit, lagi gak asik liat foto. Lain kali aja ya, Mbang,” ujar Gondrong mencoba sehalus mungkin. Bambang sepertinya sedikit kecewa, tapi ia masih juga penasaran.

“Gue lagi belajar foto prewed, Ndrong. Elo bukannya mau nikah ya? Sini biar gue yang fotoin buat prewed sama pas acara. Boleh ya?” kali ini Bambang setengah memohon.

Untungnya bagi Gondrong, perawat memanggil namanya untuk masuk ruang praktik dokter. “Soal itu nanti deh kita omongin. Gue berobat dulu ya, mbang..”

Begitu ia selesai, Bambang sudah pergi. 

“Si Bambang ternyata masih aja begitu,” gumam Gondrong ketika beranjak pulang.

Ya, Bambang, di luar bakat dan passion besar di bidang fotografi, bagi Gondrong, ia seperti gelas yang sudah terisi penuh. Sudah kesekian kalinya, Bambang menunjukkan portofolio foto miliknya kala mereka bertemu. Dan Bambang, layaknya seorang salesman atau agen MLM yang persistent, selalu membawa ‘atribut’ fotografinya di manapun mereka bertemu. Padahal, Gondrong tidak pernah memintanya. Gondrong juga tidak tahu banyak soal dunia fotografi, dan tidak pernah merasa memberi input atas karya-karya Bambang.

"Entah dia begitu ke gue doang, atau ke semua orang.." lanjutnya

Bagai gelas yang sudah terisi penuh, tidak ada tempat lain di kepala Bambang selain dunia fotografi. Setiap kali Gondrong mencoba menggiring pembicaraan ke topik lain, Bambang selalu berusaha menggiring kembali arah pembicaraan ke dunia fotografi. Gondrong pun merasa bosan, dan sudah beberapa kali menolak ajakan nongkrong dari Bambang karena alasan itu.

“Seandainya saja elo bersedia tumpahin sedikit isi gelas itu, Mbang..”

Kamis, 01 Oktober 2015

Kita Memang Sendirian

Kira-kira empat tahun lalu, pas mau resign dari kantor lama…
Bos: “Pasti elo sedih ya, ninggalin temen-temen lo di sini..”
Gue: “Iya, mbak..”
Bos: “Gue bisa ngeliat itu. Tapi, in the end, kita semua bakal sendirian.”
Gue: “Maksudnya, mbak?”
Bos: “Nantinya, elo bakal lebih konsen ke keluarga, begitu juga temen-temen lo.”
**
Sekarang…
Situasi 1: Janjian futsal dengan teman SMA
(Dalam percakapan di grup whatsapp)
Gue: “Yuk ah futsal. Tanggal xx jam xx di xx”
Si A: “Ayo”
Si B: “Buat futsal, gue selalu siap”
Si C: “Insya Allah”
Si D: “Gue usahain”
Si E: “Jadikan”
(Pas hari H)
Gue: “Jangan lupa ya guys, malam ini kita futsal. Lapangan udah gue book
Si A: “Siap!”
Si B: “Eh, jam 7 ya? Aduh gue lupa, hari ini mau berenang”
Si C: “Waduh, mainnya hari ini ya? Kirain besok”
Si D: (Gak jawab)
Si E: “Waduh, gue malam ini mau ke puskesmas”

Situasi 2: Mau kumpul dengan temen kuliah
Gue: “Guys, kumpul yuk hari xx jam xx di xx”
Si A: “Ayo! Gue kangen elo pada nih”
Si B: “Iya yuk kita kumpul lagi”
Si C: “Asik.. Siapa yang mau traktir nih?”
Si D: “Siap!”
Si E: “Insya Allah”
(Pas hari H)
Gue: “Guys, jangan lupa kumpul malam ini”
Si A: “Wah sorry gue mau nganterin istri belanja bulanan”
Si B: “Gue juga, mau anter anak”
Si C: “Gue lembur nih”
Si D: ”Waduh. Hari ini ya? Gue kira kemaren.. Padahal kemaren gue ke situ”
Si E: (Gak jawab, gak ngabarin)

Situasi 3: Chat dengan teman kantor lama
Gue: “Woi!”
(baru dibalas setengah jam kemudian)
Teman: “Oi”
Gue: “Ngopi yuk”
Teman: “Kapan?”
Gue: “Elo bisanya kapan?”
Teman: “Minggu ini padat merayap.”
Gue: “Minggu depan?”
Teman: “Belom ada rencana sih. Ya udah, ayo minggu depan aja”
(minggu depan)
Gue: “Jadi ngopi?”
Teman: “Oh iya gue lupa. Minggu ini ada kawinan temen”
Gue: “Oalah, minggu lalu elo bilang kalo minggu depan belom ada rencana”
Teman: “Masa sih? Waduh sorry bro!”

Situasi 4: Chat dengan teman baru
Gue: “Woi. Tahun ini kayanya tahunnya Hamilton”
Dia: “Iya”
Gue: “Menurut lo, peluang Hamilton musim depan gimana? Denger-denger dia mau ganti konstruktor ya. Soalnya dia kayanya ga cocok sama yang sekarang.”
(baru dibales besoknya)
Dia: “Iya, keliatannya sih gitu”
Gue: “…”
Dia: “Sorry, dari kemaren meeting.”
**
Dear friends, how things have changed a lot.

Dulu, yang datang futsal bisa 30 orang, minimal 20. Yang mau main sampai berebutan, kita bisa sampai bikin tiga tim. Sekarang? Ngumpulin 10 orang aja susah.

Dulu, mau ketemuan gampang. Gak pakai janjian jauh-jauh hari, gak pakai mikir panjang-panjang, gak pakai lupa, udah langsung pada kumpul. Sekarang? Udah janjian sejak jauh hari pun masih juga batal.

Dulu, mau ngopi gampang. Tinggal telpon, langsung pada dateng. Gak pakai liat jadwal, gak pakai ijin sana-sini. Sekarang? Telpon pun susah diangkat.

Dulu, obrolan kita haha hihi tanpa makna, dan kita bahagia saja dengan itu. Sekarang? Obrolan kita semakin serius, dan obrolan haha hihi semakin dihindari.

Gue seneng, kebanyakan temen gue memiliki pekerjaan yang begitu membutuhkan tenaga dan pikirannya, gak heran makanya mereka sibuk. Gue juga senang, temen-temen gue sekarang sedang berusaha menjadi kepala keluarga dan sosok ayah yang baik, jadinya mereka sering menghabiskan waktu terbatasnya bersama keluarganya.

Gue juga seneng, temen gue punya kegiatan yang keren, sampai-sampai gak punya waktu untuk membalas chat. Bahwa waktu 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu masih dirasa kurang. Beberapa teman, bekerja lebih keras dibanding orang pada umumnya, dan itu pertanda bahwa mereka amat kompeten dan dapat diandalkan.

You know what, I’m happy for all of you. I really do.

Hanya aja, gue pernah dengar istilah “sibuk itu hanya mitos, karena jika elo merasa sesuatu itu penting, maka elo akan menyediakan waktu.”

I’m fine kalo dianggap prioritas nomor sekian, toh gue bukan orang yang mentransfer uang ke rekening elo tiap bulannya. Gue bukan orang yang beliin pampers buat anak lo, gue juga bukan orang yang mengisi bensin mobil lo dan mengisi pulsa handphone lo.

Hanya saja, kini gue merasa semua kata-kata bos gue tadi sangatlah benar. Bahwa kita memang pada akhirnya akan sendirian. Gue cuma sedang denial untuk membuktikan bahwa dia salah. Tapi, ternyata dia memang benar. Kita memang sendirian, dalam banyak hal.

Bahwa masa-masa gampang ngumpul itu memang sudah lewat, berganti dengan masa-masa gampang lupa dan gampang batalin janji. Sekarang, gue tidak mau bersedih apalagi marah, gue hanya ingin mencerna, lalu menerima semuanya dengan lapang dada. Karena gue percaya, ini hanyalah sebuah perpindahan fase, dari anak-anak menjadi orang dewasa. Dari quarter life crisis ke midlife crisis.

Beberapa dari kita harus berjuang lebih keras dari yang lainnya, dan beberapa lainnya tidak perlu berjuang sama sekali karena semuanya sudah serba ada. Atau, beberapa dari kita hanya tinggal meminta. Rezeki memang udah ada yang ngatur.

Beberapa dari memiliki hidup yang lurus dan gak pernah belok-belok, sementara beberapa dari kita sempat tersasar sebentar lalu kembali lagi ke jalan yang benar. Dan beberapa tidak pernah kembali dan terus tersesat. Semua sudah diatur yang kuasa. 

Dan semua itu, kita raih (mostly) bersama keluarga masing-masing. Karena, kita memang akan diminta pertanggung jawaban tentang keluarga kita, bukan teman kita.

Tapi bagaimanapun, tetap saja, gue rindu saat-saat kita gampang ngumpul, gampang ngobrol dan gampang ketawa. Sesekali, mungkin? Marilah kawan, luangkan waktu walau hanya sejam-dua jam untuk tertawa sebait-dua bait.

Rabu, 30 September 2015

Apa Yang Salah Dari Menjadi Karyawan?

I.
Bangun jam empat pagi, berangkat satu jam kemudian. Si kecil masih tertidur. Di jalan, ketemu macet. Sampai di kantor ketemu atasan yang cerewet. Pulang teng-go, atasan kembali mendelik, tapi kerja lembur pun buat apa. Toh kerjaan memang tidak selesai-selesai. Sampai di rumah, anak sudah terlelap.

Ah saatnya akhir pekan. Ajak anak bermain di mall yang sejuk. Belikan mainan, buku bacaan dan makanan enak. Dua hari berharga ini ya cukup lah mengganti kurangnya quality time karena harus bekerja.

Memasuki tanggal 20, saldo rekening semakin tiris. Pulsa handphone hampir habis, ban motor sudah tipis, minuman air lemon diganti jeruk nipis. Sabar, seminggu lagi gajian. 

Akhirnya gajian. Hamdallah. Eh baru berapa detik gajian, aneka cicilan dan iuran telah meng-autodebet rekening. Ditambah lagi pengeluaran rutin lainnya. Seketika, gaji telah hilang dua pertiganya.

Lalu pada akhir tahun, resah menunggu bonus. Atasan kembali memanggil, kali ini ia terdengar lebih bijak daripada motivator. Ia memotivasi dan selalu meminta kita bersyukur, padahal intinya mau memberi tahu jika kenaikan gaji dan bonus tahun ini tidak sebesar sebelumnya.

Tak terasa, setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun berlalu. Masa pensiun di depan mata. Rumah sih sudah lunas, tapi si kecil kini sudah besar. Kebutuhannya makin banyak. Baru kemarin minta dibelikan laptop, sekarang minta dibelikan tablet. Untuk keperluan kuliah, katanya.

Dan kita sudah bisa menakar berapa uang pensiun kita dari besarnya gaji sekarang dan prosentase kenaikan gaji tahun-tahun mendatang. Memang cukup besar, tapi sepertinya tidak cukup besar untuk membiayai hidup dan menikahkan anak. Ah, mau tidak mau, berpikir ulang untuk memulai bisnis. Untuk menyambung hidup. Padahal, sudah tua dan ingin bersantai.

Beginilah kehidupan seorang karyawan alias corporate slave. Sudah kerja keras, di jalan kena macet, diomeli bos, dibayar pas-pasan, pensiun pun tidak seberapa. Pilihan hidup yang salah, ya?

II.
Mengapa tidak memilih profesi lain? Mengapa nyaman, mengapa mau dininabobokan, mengapa rela terus menjadi alas kaki dan orang suruhan? Mengapa mau saja diminta melakukan yang orang lain minta, jika hasil yang didapat toh tidak seberapa?

Mengapa tidak menjadi penulis produktif yang menerbitkan buku untuk menggerakkan revolusi, atau membuat band yang menyuarakan kritik sosial, atau menjadi pembuat film indie, atau menjadi aktor idealis, atau menjadi atlet nasional. Atau... menjadi aktivis, kritikus, atau setidaknya... menjadi singa di media sosial?

Mengapa tidak menjadi pendidik generasi muda, atau menjadi tokoh masyarakat yang mengayomi, atau menjadi pemuka agama yang dihormati?

Mengapa tidak menjadi pengusaha? Selain untungnya lebih besar, juga membuka lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi orang lain.

Setidaknya merdeka, tidak menjadi kacung.

III.
Terkekang dan tidak bebas mungkin menjadi alasan yang sering dikemukakan oleh mereka yang tidak mau menjadi karyawan. Tidak bisa bangun siang, tidak boleh datang telat, dan harus terjebak dalam sistem bukanlah cara hidup yang enak.

Tapi sejatinya, apapun pekerjaan kita, apakah benar kita merdeka sepenuhnya? Mungkin kita tidak punya atasan dan tidak punya obligasi untuk datang tepat waktu ke kantor, tapi pastinya kita tetap dibebani target. Ada sistem dan aturan main yang harus diikuti, hanya saja bentuknya yang berbeda.

Misalnya kita membuka warung bakso di garasi rumah. Kita tetaplah dibebani kewajiban membayar gaji karyawan dan beban operasional lain. Selain itu, tentu saja kita mengambil untung agar kita bisa makan. Apakah semua itu bisa dilakukan sembarangan tanpa aturan dan sistem? Apakah kita bisa membuka warung semaunya, lalu kita tutup saat kita malas berjualan? Kan enggak juga.

Sama halnya ketika kita menjadi musisi, penulis atau aktor. Sudah pasti ada ‘pihak yang lebih berkuasa’ yang meminta kita untuk memenuhi target tertentu. Ada editor, sutradara, produser, manager, bahkan penggemar yang harus didengar permintaannya karena memang itu yang harus dilakukan agar kegiatan tetap berjalan. Bahkan andai memilih untuk berada di jalur independen, tetap saja kita ‘terbebani’ untuk memenuhi keinginan orang lain.

Teman saya yang seorang pengusaha pun, nyatanya sering bekerja hingga larut malam di kantor sewaannya demi menyelesaikan sebuah proyek. Selain memenuhi kepuasan diri, tentu saja ia melakukan ini demi kepuasan klien. Hal yang sama juga berlaku untuk pekerjaan 'non-kantoran' yang lain.

Entah anda karyawan atau bukan, kita sama-sama bekerja untuk orang lain, atau setidaknya untuk kepentingan yang lebih luas, bukan untuk diri anda sendiri. Ini hanya masalah pilihan hidup dan preferensi. Tidak lebih dari itu.

IV.
Berbicara soal pilihan, saya melihat beberapa faktor cukup berpengaruh pada pilihan hidup seseorang. Saya kenal seseorang yang tidak mau kerja kantoran. Dia memilih untuk mengelola klinik milik keluarga. Dulu sih dia pernah kerja kantoran, tapi gak tahan karena sering dimarahi bos. Dalam hal ini, saya berkesimpulan bahwa dia memiliih untuk hidup selow karena merasa ortunya udah tajir melintir dan untuk itu gak perlu berusaha keras seperti kebanyakan orang.

Ada juga yang memilih untuk tidak kerja kantoran karena preferensinya (dan ketidaksukaannya) pada ideologi tertentu. Ya, kalo itu sih biar saja kita kembalikan kepada masing-masing orang.

Bukan bermaksud mencari pembenaran, tapi menurut saya tidak ada yang salah dari menjadi karyawan kantoran. Jadi karyawan itu seperti belajar hidup. Kita belajar untuk diinjak-injak orang, tidak digubris orang, dijadikan 'sapi perah' supaya kita tidak sombong dan mau belajar. Bahwa di satu sisi masih banyak orang yang lebih pintar daripada kita, dan di lain sisi masih banyak yang begitu bersyukur bisa diterima sebagai pegawai kantoran karena keterbatasan skill yang dia punya.

Yaaa, dunia kerja kantoran memang penuh dengan orang-orang brengsek yang senang sikut-sikutan demi mendapat simpati dari atasan, demi besarnya jumlah bonus dan insentif.

Menjadi karyawan juga bisa membuat kita miskin empati, dan hanya peduli pada kubikalnya saja. Seorang karyawan kerap kehilangan ketajaman pikiran karena terbiasa mengerjakan hal sama bertahun-tahun. Menjadi penghuni zona nyaman yang sudah pasti akan kelabakan jika diminta melakukan hal yang di luar kebiasaan.

Tapi banyak juga kok yang hidupnya tertolong oleh perusahaan. Tertolong karena menjadi karyawan. Ada seorang karyawan yang sejak muda sudah terserang stroke, tapi perusahaan membiayai pengobatannya dan tetap mempekerjakannya hingga ia pensiun. 

Ada juga teman saya yang lima belas tahun lalu tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, tapi diterima kerja oleh sebuah perusahaan sebagai tenaga admin, lalu dia dibiayai kuliahnya oleh perusahaan dan kini dia merintis jalan sebagai seorang lawyer.

Oke, yang barusan itu terdengar seperti versi kesekian dari konsep American Dream, tapi yang sulit pun banyak. Dan baru saja, saya bersalaman dengan seorang office boy yang pensiun setelah 35 tahun bekerja di perusahaan. "Saya cuma lulusan SMP, alhamdulillah kantor ini mau mempekerjakan saya dalam waktu yang lama. Walau banyak anak muda, tapi saya dipertahankan sampai pensiun."

Hidup seorang karyawan seperti itu. Monoton, robotik, membosankan dan tidak dihargai. Tapi buat sebagian besar orang, itulah satu-satunya pilihan hidup. Tidak ada salahnya menjadi karyawan, seperti halnya tidak ada salahnya menggeluti profesi lain.