Apa yang
menarik dari sebuah refleksi akhir tahun? Jika hanya membicarakan betapa
suksesnya kita, atau sebaliknya betapa merananya kita, tentu hanya akan
terdengar norak dan klise. Jika hanya menuliskan catatan kilas balik peristiwa
penting bulan per bulan, akan terlihat membosankan.
Tapi memang
tidak bisa dipungkiri, tahun 2014 ini buat gue adalah tahun yang teramat
berwarna untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Gue akan mencatat refleksi ini
se-simple mungkin.
1. Rumah Sakit
Tahun 2014, beberapa
anggota keluarga dekat –bahkan keluarga inti- jatuh sakit. Sakit yang bukan
sembarang sakit, tapi sampai harus menjalani perawatan. Menunggui anggota
keluarga yang terbaring lemah di rumah sakit bukanlah hal menyenangkan. Entah
berapa kali gue mengunjungi rumah sakit tahun ini, walaupun beberapa di
antaranya adalah momen bahagia yaitu kelahiran anak kedua.
Saat orang
terdekat terbaring sakit, kita menjadi lebih bijak dalam bersikap. Klise
memang, tapi orang paling keji di dunia pun akan lebih memilih mendoakan
anggota keluarganya yang sedang sakit ketimbang mempermasalahkan hal lain. Momen
ini pula yang mendekatkan kita dengan keluarga, setelah biasanya kita melupakan
mereka dalam keseharian.
Di rumah
sakit pula, konon lebih banyak doa yang dipanjatkan dengan tulus ketimbang di
rumah ibadah.
2. Buku
Tak pernah
terpikirkan sebelumnya bahwa tulisan-tulisan sepak bola gue akan berakhir dalam
bentuk buku. Bukanlah buku ilmiah yang kaya pengetahuan dan kaya akan data,
bukan pula buku yang mengisahkan pengalaman nyata. Menulisnya pun ramai-ramai,
bukan tulisan gue seorang. Bagaimanapun respon atau berapapun angka penjualan,
gue juga gak ambil pusing.
Tapi ada
perasaan yang gak bisa dijelaskan ketika melihat nama terpampang di toko buku
besar, dan ini seakan membuat segala kerja keras bernilai. Bisa dibilang, ini
adalah salah satu pencapaian paling mengesankan selama tahun 2014. Sebuah legacy dan portofolio yang nyata, dan
mungkin saja ini adalah yang pertama dan terakhir.
Oh iya, dari
menulis buku pula terjadi pengalaman-pengalaman seru lainnya, seperti siaran
radio.
‘Mas, kalo
lagi siaran radio tuh ngomong, jangan ngangguk atau geleng’ begitulah petuah
dari sang announcer kocak yang gue lupa namanya.
3. Pajak
Kapan gue
pernah suka sama pajak? Tidak pernah. Kuliah di jurusan pajak pun bukan
keinginan, melainkan karena kebetulan. Selama kuliah, gue juga gak pernah dapat
IPK yang memuaskan.
Tapi entah
kenapa, pajak membawa rejeki. It pays all my bills. Selama delapan tahun
kerja, selalu di bidang ini. Dari menjadi konsultan, hingga kini bekerja di
sebuah perusahaan.
Khusus untuk
tahun ini, sebuah lompatan besar terjadi. Buat orang yang gak passionate, ini tentu saja sebuah gift yang teramat cantik. Tapi gue gak
menganggapnya sebagai hadiah, ini lebih kepada amanat. Dan yang namanya amanat,
tentu harus diemban dengan sungguh-sungguh. Inilah sebabnya mengapa gue bilang
bahwa buku yang gue terbitkan tadi mungkin menjadi yang pertama sekaligus
terakhir. Amanah ini akan memaksa gue untuk mengerahkan fokus lebih dari
seratus persen, dan sejenak melupakan yang lain.
Fokus. Ini adalah
kata kuncinya. If you chase two rabbits,
you will lose them all.
4. Teman
Gue sempat
mengenal beberapa orang yang membuat kagum. Kagum akan pengetahuan dan cara
hidup mereka. Tapi sayangnya, gue juga melihat orang-orang yang sama berubah
menjadi sosok-sosok yang tak terbayangkan sebelumnya. I thought I knew you, but I didn’t.
Gue gak akan
membeberkan pendapat gue, apalagi mengonfrontir. Gue akan diam saja sembari
berharap hidup akan mengajarkan mereka. Secarik kertas yang pernah diremas
memang tidak akan pernah bisa kembali licin seperti bentuk sebelumnya. Walaupun
kita seterika sekalipun supaya kembali licin.
Begitulah
dahsyatnya kata-kata. Untuk itu, gue akan lebih berhati-hati lagi
menggunakannya. Dan karena alasan itu, gue banyak memilih diam. Diam adalah
cara gue untuk menyelesaikan masalah, dengan waktu sebagai perantara. Tidak
semua hal perlu dibicarakan, dan beberapa hal memang lebih baik jika didiamkan
saja.
Bagaimanapun,
you’ll get something when you lose
something.
Sebuah
‘klub’ istimewa berhasil terbentuk, yang gue namakan sendiri sebagai The Breakfast Club. Bukan klub yang
gimana-gimana sih, hanya kumpulan bapak-bapak berusia 30 tahunan dengan segala
cerita glorifikasi dan melankolia midlife
crisis yang sedang dijalani.
5. Musik
Menonton
konser adalah sebuah kegiatan yang cukup paripurna bagi penggemar musik. Selain
bisa melihat sang artis dari dekat, euforia akan sound yang dahsyat menghujam, performa mengagumkan dari para
personel dan bagaimana lelahnya mengantre lalu berjingkrak selama berjam-jam
menjadikan kegiatan nonton konser musik sebagai pengalaman tersendiri.
Karena
alasan itu pula, gue gak mau menonton konser musik yang artis atau genre-nya
bukan favorit. Bikin capek badan aja, apalagi buat bapak-bapak kantoran kaya
gini. Untuk tahun 2014, terima kasih kepada seorang kolega yang mengajak nonton konser Dream Theater!
***
Lebih dari
itu semua, tahun 2014 menghadirkan satu pelajaran penting: ‘Family comes first’.