Alkisah ada seorang pemuda. Wajahnya
tidak ganteng, tapi tidak juga jelek. Badannya tinggi tegap, pembawaannya ramah
dan simpatik. Jika berbicara dengan orang lain, ia nampak antusias bahkan
walaupun ia tidak terlalu dekat dengan lawan bicaranya. A decent guy.
Pemuda ini bukan pemuda
kebanyakan. Ia anak tunggal yang terlahir dari keluarga menak, alias kaya raya,
alias tajir. Keluarganya memiliki banyak harta dan bisnis yang setiap saat siap diwariskan
untuk sang pemuda.
Sang pemuda dididik dengan benar.
Sekolahnya baik, prestasinya baik, kelakuannya baik. Ia juga sangat nurut dan
patuh pada orang tuanya, pada kakek dan neneknya. Ia seperti sudah berkali-kali
diberi penegasan bahwa ialah pewaris tunggal kerajaan kecil dari keluarga
besarnya, untuk itulah ia harus memiliki sifat-sifat yang dipandang perlu. Jadilah
ia dibentuk untuk menjadi anak baik, penurut, sopan, pandai, lurus dan tidak
macam-macam. Ia juga tidak sembarang berteman dengan orang. Anda pemabuk? Maaf,
lingkaran pergaulan tertutup untuknya.
Sepertinya sudah terlalu banyak
cerita picisan semacam ini, dan Anda pasti sudah terlalu bosan mendengarnya. Namun
bukan rangkaian cerita tentang nasib si pemuda yang ingin saya sampaikan di
sini.
Saya kasihan dengan si pemuda.
Ia memang tidak kekurangan harta,
tidak pula kekurangan kasih sayang. Bahkan berlebih. Orang tua dan kakek-neneknya
sangat menyayanginya, sangat membanggakannya. Si pemuda telah tumbuh sebagai anak idaman keluarga. Namun dibalik semua itu, saya melihat hidupnya bagaikan robot. Robot yang tinggal digerakkan dengan remote kemanapun
maunya mereka.
Pemuda ini tidak pernah pulang
larut malam bersama teman-temannya. Kegiatannya selalu dipantau, tidak pernah
menonton konser hingga menjelang pagi, tidak pernah main Playstation di rumah atau
kos-kosan teman sampai pagi, tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri bersama teman-teman
lalu memajang foto dengan sembrono di instagram dan path. Ia tidak berbicara
sembarangan, tidak membuang-buang waktu. Hidupnya datar bagaikan musik... (ah sudahlah).
Satu lagi yang membuat saya
kasihan adalah menyangkut perempuan. Sebagai pemuda normal, tentu saja ia
mendambakan perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya. Cuma ya itu, tidak
sembarang perempuan yang diperbolehkan untuk memasuki kerajaan kecil milik
keluarga besarnya. Perempuan itu harus cantik, kaya, baik hatinya, baik
pergaulannya, sehat, seiman dan satu suku. Perempuan sempurna (di mata
keluarga).
Inilah yang saat ini mengganggu
pikiran si pemuda. Ia baru saja putus dengan pacarnya, yang sayangnya memang
hanya memiliki satu-dua kriteria dari belasan kriteria wajib yang ditetapkan oleh
keluarga besar pemilik kerajaan kecil.
Dari lahir, ia sudah dibentuk
untuk menuruti kata-kata orang tua dan keluarganya. Iapun tidak sampai hati
untuk membangkang. Ia selalu ingat bahwa ia adalah seorang anak baik. Anak
patuh dan penurut, kalo gak nurut nanti kualat. Ia seperti sudah di program
untuk melakukan hal A, B dan C saja meskipun dunia menawarkan cerita A sampai Z.
Ia seperti mobil ferrari yang
dipaksa berkendara sepelan bajaj. Ia bagaikan anak posh yang gagal nonton konser DWP gara-gara terjebak macet, padahal
konser itu adalah penanda status gaulnya. Ia seperti kucing ras yang penurut,
patuh dan tidak bisa berkelahi sehebat kucing garong. Ia memiliki pensil warna
lengkap dengan 320 warna namun hanya boleh menggunakan 16 warna saja dalam
menggambar. Ia adalah smartphone mahal yang digunakan oleh Om-om ganjen tapi
gaptek. Ia bagaikan drummer metal yang dipaksa memainkan lagu pop!
Boleh saja keluarganya merasa senang dengan apa yang telah dipertontonkan si pemuda. Tapi bagi si pemuda, ia hanyalah menjalankan peran dan belajar untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Masa mudanya berlalu begitu saja tanpa kesan. Ia tidak pernah menikmati jadi robot, namun ia sendiri tidak kuasa untuk mempertanyakan program yang telah ditanamkan pada sistemnya.
Ironis!