Setelah
berbulan-bulan dan membiarkan ruang kebebasan ini berdebu, akhirnya saya
kembali untuk mengisinya, dan menumpahkan sedikit pikiran saya kesini.
Sebagaimana ruang ini adalah ruang berekspresi, inilah tempat paling nyaman buat saya untuk mengemukakan segala hal yang tidak saya sukai dalam dunia ini. Hal-hal yang saya gak suka tapi sepertinya tidak ada yang bisa saya lakukan untuk mengubahnya.
Kali ini saya
ingin menyorot soal bulan puasa. Bukan, bukan dari perspektif agama, banyak
orang lain yang lebih paham mengenai itu.
Tapi benarkah di
bulan ramadhan ini kita harus tetap berjibaku dalam kerasnya hidup sekeras 11
bulan lainnya? Saya pernah membaca bahwa di bulan suci ini kita sebaiknya
melonggarkan pikiran duniawi, berhenti sejenak berjibaku mengejar dunia dan
berkonsentrasi pada ibadah dan ibadah. Memohon ampunan dan berkah.
Sayangnya di
dunia yang matrealistis ini hal itu sama sekali tidak dimungkinkan. Para perusahaan
tempat kita bekerja paling-paling hanya memberi sedikit kelonggaran jam kerja
setengah jam atau satu jam lebih awal. Beberapa perusahaan malah sama sekali
gak ada spirit ramadhan karena mereka akan tetap bekerja lembur seperti
biasanya. Dan beberapa orang malah menjadikan ramadhan sebagai ajang mengais
rezeki, bukan meningkatkan ibadah. Fenomena-fenomena absurd juga terus terulang
berupa banyaknya acara lawak siaran langsung pada saat sahur. Benarkah mereka
sebenarnya memiliki selera untuk melucu dan berteriak-teriak di tengah malam
saat orang dianjurkan untuk lebih mengencangkan ibadah? Oh tidak, uang telah
membeli semuanya. Membayar semuanya. Kapitalisme
ini telah menggurita sedemikian superlatif. Dunia dipaksa berputar terus dengan kecepatan maksimum, membuat pelaku-pelakunya menjalani hari-hari penuh teror dan tekanan.
Kelezatan dari
keuntungan dan segarnya guyuran uang memang telah lama membelenggu hati nurani
kita dan mengaburkan makna dari bulan suci ini. Kebanyakan orang berpikir,
bulan ini hanyalah bulan dimana kita tidak boleh makan dan minum di siang hari.
Itu saja.
Mengapa kita
tidak bisa melihat dunia pendidikan dan dunia olahraga? Mereka memiliki waktu
liburan yang panjang setelah sepanjang tahun bekerja keras. Kompetisi Eropa
memiliki hari libur selama 3 bulan di musim panas, dan sebulan di musim
dingain. Dunia pendidikan juga seperti itu, mereka memberi libur panjang bagi
siswa-siswa dan guru-guru mereka setelah sepanjang tahun berjibaku memajukan
pendidikan. Mengapa industri-industri ini tidak mau mengikuti mereka?
Para pekerja
hanya diberi jatah 12 hari cuti dalam setahun, itupun dengan berbagai syarat
dan potongan-potongan. Mereka harus mengambil jatah cuti hanya untuk bisa pergi
berlibur bersama keluarganya. Para pelaku industri ini tak ubahnya seperti
mesin yang tidak boleh berhenti bekerja. Saya bukannya ingin melegitimasi bulan ini sebagai bulan untuk bermalas-malasan dan tidak bekerja. Namun tidak bisakah setidaknya kita mengerem diri dan tidak memaksakan diri bekerja hingga larut malam bahkan hingga keesokan harinya? Bukan maksud saya ingin menganjurkan untuk memasang jangkar supaya kita berhenti total, tapi setidaknya bisakah kita mengurangi kecepatan?
Anda mungkin
menilai saya orang yang malas dan banyak protes karena menuliskan hal ini. Terserah,
ini dunia yang bebas, termasuk bebas berpendapat. Anda juga boleh menilai saya
orang yang tidak ikhlas, tapi coba bayangkan betapa lebih bermaknanya hidup ini
jika semuanya tidak sekedar dinilai dari materi. Islam sebenarnya telah memberikan bulan ramadhan untuk kita berhenti sejenak dari rutinitas. Berhenti sejenak untuk beribadah kepadaNya setelah nyaris sepanjang tahun kita sering menepikanNya disamping urusan-urusan duniawi kita. Haruskan bulan suci ini kembali kita perlakukan sama seperti bulan lainnya? Sebagai penutup, saya ingin mengutip satu bait lirik dari lagu band favorit saya, Padi. "Bukankah hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari."