Minggu, 01 September 2013

Pledoi Generasi Nunduk

Dear para Om dan para Tante yang kami hormati,

Kami tahu kalian sering mencela generasi kami. Generasi nunduk, alias generasi yang sering menundukkan kepala kearah layar sentuh ponsel sejak dini. Ya, mau bagaimana lagi? Kami memang sejak SD sudah memiliki ponsel cerdas karena benda ini tidak ubahnya gamewatch atau tamagotchi di era kalian. Semua teman kami punya benda itu.

Bukan salah kami kalau lebih senang menghabiskan waktu didepan layar ponsel ketimbang memainkan permainan tradisional seperti kelereng, congklak atau dampu. Bukannya tidak ingin, tapi memang sudah tidak ada lagi yang memainkannya. Masa iya harus bermain sendiri? Mau dibilang apa?

Kalian mencela kami yang kecil-kecil sudah menyanyikan lagu cinta-cintaan, padahal kami tidak mengerti apa itu cinta, toh tidur sendirian saja kami masih tidak berani. Mau bagaimana lagi? Zaman om dan tante kecil, acara khusus anak-anak di televisi sangat banyak. Begitu pula lagu anak-anak dengan lirik yang juga. anak-anak seperti 'si lumba-lumba' atau 'si nyamuk nakal'. Dulu ada om Papa T. Bob, sekarang tidak ada lagi yang mau membuatkan lagu anak-anak lagi buat kami sepertinya. Sekarang, kami disuguhi acara musik pagi dengan gerakan nasional cuci jemur. Ah rasanya semua pihak inginnya kami lebih cepat dewasa, jadilah kami dijejali soal cinta-cintaan sejak kecil. Apakah itu juga salah kami?

Tidak ketinggalan, kalian juga mencela pilihan klub sepakbola favorit kami. Apakah salah jika kami begitu mengidolai Lionel Messi dan Barcelona atau Cristiano Ronaldo dan Real Madrid dan bukannya Johan Cruyff atau Zico? Iya, hanya dua klub itu yang kami tahu di liga Spanyol, sisanya kami hanya menonton liga Inggris. Apakah salah kami jika menyukai Manchester biru, bukannya yang merah? Tolong diingat, kami masih belajar membaca ketika Ole Gunnar Solksjaer yang katanya bermuka bayi itu mencetak gol kemenangan di final tak terlupakan itu. Sekarang, media banyak mengenalkan kami pada Chelsea dan Mancheser City, apakah ini juga salah kami?

Kami sadar jika kami tidak menonton Mtv dengan VJ mereka yang keren, tidak familiar dengan musik grunge dan alternative yang asik itu. Yang kami tahu hanyalah musik-musik seragam itu-itu saja. Studio band sudah sulit kami temui untuk berlatih, pada akhirnya kami berpikir buat apa capek-capek menguasai alat musik padahal dengan modal joget dan lipsync udah banyak yang suka, produser kami juga suka. Alasannya 'mengikuti pasar'. Kami heran juga sih, media kan punya pengaruh besar. Mereka seharusnya bisa membentuk pasar dong, tidak hanya mengikutinya demi rating semata.

Kami juga tidak menyukai era ini, om dan tante. Semakin konsumtif dan tidak terkendali, semakin ngawur dalam ekspresi. Kami krisis identitas, dan makin sulit mencari panutan. Tapi mau bagaimana lagi? Banyak acara yang makin tidak mendidik, akses informasi juga makin tak terbatas, malah jadinya kebablasan. Om dan tante boleh bilang kami diuntungkan dengan adanya internet dan mbah gugel, tapi ya om dan tante tau sendiri kan, membuka internet itu bisa saja membuka kotak pandora jika kami tidak mampu menyaring informasi. Dan orang tua kami tidak bisa lagi mengawasi karena akses tersebut ada di tangan kami, yaitu smartphone itu tadi.

Kami juga seperti om dan tante, bermain social media. Kami bingung. Berkespresi penuh layaknya remaja, kami dibilang alay. Tapi mau coba ngomongin hal berat, dibilang sok tua. Memang kami kadang berlebihan, segala hal kami tumpahkan di socmed. Kami suka lupa kalau kami berteman dengan om dan tante kami, yang dengan kata lain, mereka ikut mengawasi kami. EYD juga kami abaikan, huruf dan angka kami gabungkan dalam satu kalimat. Maafkan kami yang telah merusak tata bahasa. Duh. Sulit bagi kami menentukan siapa yang harus kami follow di twitter. Seperti ada dua kubu besar dan mereka saling serang. Kami harus pilih yang mana? Pengetahuan kami hanya sebatas buku pelajaran, jangan samakan dengan om dan tante yang sudah makan asam garam kehidupan. Akhirnya kami cuma bisa ngetwit "folbek dong kaka".

Maafkan kami ya om dan tante, sepertinya kami butuh bantuan tapi terlalu gengsi ngomongnya. Di pergaulan kami, cuma ada istilah 'woles' atau 'move on' atas segala persoalan, padahal ternyata gak sesederhana itu.

Harapan kami sih semoga tontonan televisi makin berkualitas sehingga kami bisa pintar seperti om dan tante. Bisa punya cerita menarik seperti om-om dan tante-tante yang besar di era 90an. Kami juga tidak mau terlalu cepat dewasa karena masa kanak-kanak ya memang masa bermain yang tak akan terulang. Kami juga capek dengan kurikulum pendidikan yang berubah terus, dikira kami kelinci percobaan? Kami ingin jam sekolah hanya sampai siang saja supaya ada waktu buat kami bermain dan mengerjakan hobi. Ya masa sih sekolah cuma ngejar prestasi akademik aja? Ya gak om? Ya gak tante?

Yaudah deh om dan tante, henpon udah bunyi terus nih, teman-teman ngajak nongkrong di minimarket deket rumah. Kalo gak ikutan, saya bisa gak punya teman deh. Dibilang kuper deh. See you!