Senin, 27 Mei 2013

Narsistis Yang Menggelikan dan Hakekat Sebuah Perjalanan

Sifat narsis memang sudah sifat alami manusia. Hasrat ingin “berbagi” memang menjadi beda tipis dengan hasrat pamer. “Berbagi” bahwa kita sudah pernah memakan makanan enak tertentu, atau pergi ke tempat tertentu. Hasrat-hasrat tersebut menemukan tempatnya pada social media, tempat kita bisa dengan mudahnya memajang etalase kehidupan. Kebanggaan akan hasil foto perjalanan tentu akan afdol jika kita berhasil memajangnya di akun social media.

Hal itu tentu tidak salah. Toh gambar-gambar yang kita bagi tadi adalah hasil keringat sendiri, penuh perjuangan untuk mendapatkannya. Angle yang pas, kamera yang canggih, kemampuan memperhatikan detail kecil. Hasil kerja keras pula yang membuat kita mampu membeli makanan atau pergi ke suatu tempat. Halal. Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal itu.

Terlebih, di social media, orang pada umumnya berhubungan dengan teman-teman yang berada dalam lingkaran kecil pergaulan mereka. Hal ini bisa diartikan bahwa lingkaran pergaulan tersebut memiliki kesetaraan dalam hal kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, juga intelektualitas. Sangat minim terjadi konflik. Lagipula jika sudah merasa tidak nyaman dengan posting seseorang, ada fitur ‘unfollow’, ‘unshare’, atau ‘unfriend’. Beres deh urusan.

Tapi untuk beberapa hal, tidak sesederhana itu. Yang paling aktual tentunya kejadian ricuh perayaan hari raya suci umat Buddha, Waisak yang jatuh pada akhir pekan lalu. Situs berita okezone telah menayangkan berita kericuhan yang terjadi seputar perayaan ini. Oke, mungkin saja ada andil kurangnya kordinasi panitia dengan penduduk setempat dan para turis. Mungkin juga ada unsur keterlambatan Bapak Menteri Agama yang mengganggu prosesi acara, mungkin juga hal-hal lain seputar prosedural dan perizinan yang memang kurang diperhatikan.

Tapi kita tidak bisa pungkiri bahwa ada andil yang tak kalah besar dalam kericuhan tadi. Sangat disayangkan bahwa yang saya maksud adalah tingkah no respect dari para turis. Bayangkanlah jika anda sedang berdoa khusyuk dengan cara anda, lalu suara celotehan gaduh membahana, belum lagi kilatan lampu blitz kamera-kamera mainstream DSLR akhirnya mengganggu ibadah anda. Belum lagi mereka yang memaki-maki batalnya pelepasan lampion akibat hujan deras turun.

Mereka memaki-maki batalnya pelampiasan lampion yang berakibat mereka gagal mendapatkan sebuah objek, tapi tidak memikirkan betapa terganggunya proses peribadatan orang lain.

Egoisme dan sifat yang tidak ada respect semacam ini  memang buah dari sifat narsis berlebihan. Namanya juga etalase kehidupan, orang tentu cenderung memajang hal-hal terbaik yang bisa dilihat orang. Pengalaman langka seperti prosesi waisak di Candi Borobudur memang masuk kriteria sebagai event yang keren dan kece untuk didatangi, malah bisa juga kita sebut hipster, tanpa kita berpikir bahwa prosesi itu adalah semata ritual keagamaan yang membutuhkan suasana tenang ketimbang ekspos berlebihan.

Saya pernah membaca, bahwa di Amerika Serikat dokter spesialis bedah plastik bisa mendapat penghasilan hingga 6 juta dollar setahun untuk mengoprasi wajah, hidung, hingga payudara (saya percaya di Indonesia sih tidak se-ekstrim ini). Setelah ditelisik, mereka memang melakukan hal itu salah satunya agar bisa dengan percaya diri memajang foto di akun social media mereka. Di era sekarang, first impression dari sisi penampilan memang dianggap lebih krusial ketimbang pengamatan mendalam terhadap karakter seseorang. Jika ingin berkenalan dengan seseorang, kita terbiasa mengintip akun social media orang tersebut sebelum bertemu langsung. We let the social media define us.

Kembali ke persoalan para traveller ini, saya jadi teringat sebuah posting sarkastis tentang perangai para traveller ini disini. Meski tidak sepenuhnya sependapat dengan tulisan tersebut, namun ada beberapa poin penting yang penulis tegaskan mengenai kurangnya kesadaran dari para traveller untuk setidaknya menjaga kemurnian destinasi wisata yang mereka datangi.

Saya pribadi not quite a traveller, karena terbilang jarang bepergian. Meski demikian, saya memang menyimpan keinginan untuk suatu saat dapat mengunjungi beberapa tempat di suatu belahan dunia. Semula, memang tujuan saya cukup cheesy untuk itu, dan tidak bisa dipungkiri memang keinginan untuk pamer tetap ada, meski hanya ke beberapa orang dekat.

Buku-buku bermutu tentang cerita perjalanan (misalnya 99 Cahaya di Langit Eropa oleh Hanum Rais) dan juga tulisan-tulisan seperti diatas lumayan membuka pikiran tentang bagaimana menyikapi sebuah perjalanan. Bahwa memperlakukan travelling sebagai eskapisme dan untuk kegiatan foto-foto narsis belaka hanya akan menghilangkan esensi dan makna dari sebuah perjalanan.

Perjalanan harus memberikan suatu pelajaran, perenungan, pengetahuan bahkan aksi nyata ketimbang sekadar menjadi bahan cerita “Saya sudah pernah kesini, kesitu, kesana…” ataupun penghias status social media macam. “3 hari 4 malam ke 3 negara, capek banget tapi senang.”