"We don't know what we've got 'til it's gone."
Itu kata-kata yang sudah biasa kita baca. Jangan-jangan di truk Pantura juga ada grafitinya.
Coba yang lain.
"Kita tidak pernah tahu hal yang benar-benar diinginkan sampai kemudian merasakannya sendiri."
Mungkin itu yang gue rasain ketika bulan lalu berkunjung ke Jepang. Sebelumnya, Jepang gak pernah masuk bucket list negara yang ingin gue kunjungi. Buat gue, negara ini sebatas memori masa kecil lewat cerita-cerita anime maupun dramanya. Bagian dari invasi budaya besar-besaran sebelum kini tentara budaya ber-skin care Korea Selatan mengambilalih. Tapi saat justru gak semua yang diinginkan bisa tercapai, yang gak terlalu diinginkan malah dapet.
Ya namanya juga lyfe...
Dari dulu, gue bukan si traveller. Berjalan cepat di bandara, berkumpul di keramaian atau mendatangi destinasi wisata populer yang penuh dengan manusia masih kalah menarik ketimbang chill di kamar sambil dengerin musik metal atau dengerin cerita serem atau pengalaman lucu orang-orang di Spotify atau Youtube.
Wisata pantai? Rasanya nongkrong berjam-jam di pinggir pantai yang terik sambil foto kaki nginjek pasir bukan kegiatan favorit gue buat chill. Vitamin sea? Wah, apalagi itu. Gue yang nyebur kolam aja ogah, apalagi nyebur ke laut. Lo bisa bilang gue si anti air deh.
Mendaki gunung? Tidak, saya bukanlah Ninja Hattori. Buat gue, naik gunung itu (apalagi yang gak terlatih dan cuma ikut-ikutan) adalah bentuk mencari bahaya dan jadinya malah ngerepotin orang. Kalo cuma jalan-jalan santai ke daerah pegunungan sambil makan Indomie dan jagung bakar sih masih ok lah.
Pilihan lain yaitu city tour masih kerap gue lakukan, tapi ya terbatas sekali. Hak cuti yang diberikan kantor pada kenyataannya sulit digunakan dengan maksimal. Sekalinya cuti, pasti diiringi rasa tidak tenang, yang akhirnya cuma bisa liburan sebentaran banget. Kalo cuma sehari-dua hari menjelajahi sebuah kota, rasanya kurang eksplorasi. Alhasil, jadilah gue gak benar-benar menaruh minat lebih untuk travelling sebelum pensiun dari kerja.
Tapi perjalanan ke Jepang bulan lalu boleh jadi sedikit mengubah pandangan gue terhadap banyak hal. Tentang negara itu sendiri dan tentang travelling.
Kesempatan mengunjungi Jepang tiba-tiba datang. Kantor tempat bekerja mengadakan outing karyawan ke luar negeri pada awal tahun 2023. Sedianya, kami akan berangkat ke Turki, namun karena pihak travel mengabarkan potensi badai salju pada tanggal keberangkatan, terpaksa tujuan dialihkan. Berkat kerja keras dari tim panitia, akhirnya malah jadi berangkat ke Tokyo.
Gue bukan wibu, alias golongan penggemar budaya dan cara hidup orang Jepang yang memang unik itu. Apresiasi gue terhadap Musik dan film Jepang pun ada di level yang biasa-biasa aja. Sebelum berangkat, gue jadinya berekspektasi akan mengunjungi sebuah negara maju, sibuk, padat, dan ramai di mana-mana. Buat kaum introvert, sepertinya akan melelahkan secara sosial.
Singkatnya, kami sekantor mendarat Bandara Internasional Narita. Di tempat kedatangan turis yang berjarak sekitar 3 jam dari pusat kota Tokyo ini, gue seperti merasakan dunia yang benar-benar berbeda dalam segala hal. Kelelahan fisik dan sosial segera terganti dengan banyak pengalaman baru.
Matahari emang bersinar terang, tapi angin dingin menusuk tulang. Suhu sisa-sisa musim dingin tentu cukup menantang bagi kita-kita orang tropis yang biasanya baru pergi ke daerah Lembang aja udah kedinginan. Untungnya udah siap dengan pakaian-pakaian winter sonata season yang tebal dan ngabisin ruang koper.
Vending machine atau mesin penjual minuman otomatis jadi hal yang cukup menarik perhatian. Gak nyangka aja ada vending machine berisi banyak pilihan minuman yang begitu gampang digunakan. Bukan hanya menyediakan minuman dingin, tapi juga hangat. Maap kalo norak. Narik duit Yen juga ternyata bisa dilakukan di Seven Eleven, tau gitu ngapain banyak-banyak nukar duit dari Money Changer di Jakarta..
Begitu menaiki bus yang mengantar ke pusat kota, gue yang sebetulnya masih ngantuk karena gak bisa tidur di pesawat malah batal tidur.
Pemandangan baru ini sangat sayang untuk dilewatkan. Mobil-mobil yang tertib adalah hal ternyaman yang gue lihat. Rasanya hampir gak terdengar sahut-sahutan klakson atau pekik amarah dari sesama pengendara mobil, juga gak ada motor boti alias bonceng tiga. Meski umumnya orang Jepang nyetir dengan kecepatan tinggi, tapi gak ada pengemudi ugal yang saling memotong jalan, menyelak antrian, putar balik sembarang, parkir sembarang, lawan arus, atau berperilaku gagah-gagahan lainnya yang biasa kita lihat di negara Konoha.
Dilihat dari bentuk bangunan, ternyata kota yang dulunya bernama Edo ini gak futuristik-futuristik amat. Memang kota megapolitan berpenduduk 37 juta jiwa ini sudah lama dibangun dan ditata. Beberapa gedung di kawasan Sudirman, Kuningan atau SCBD bahkan terlihat lebih menarik ketibang sejumlah bangunan tinggi di Tokyo yang terlihat agak jadul. Bedanya, ya tata kotanya lebih rapi.
Belum lagi bicara keteraturan lain. Gue lihat sendiri kebiasaan mereka berbaris, mengantre, menjalankan semuanya sebagai sebuah order in chaos, sekaligus jaga kebersihan. Benar-benar bangsa yang mengagumkan. Makanan dan minuman? Tentu saja kesempatan makan tempura, sushi, salmon sashimi, teriyaki, katsu atau karage langsung di tempat asalnya adalah kisah menarik buat diceritain, walaupun gue tetep kangen ketoprak yang berantakan dan bubur ayam yang asin pedes gurih.
Kerapian dan keteraturan bangsa Jepang khususnya orang Tokyo ini punya sisi lain lho. Dari tulisan-tulisan orang asing yang sempat berkunjung atau menetap di Jepang, mereka bilang kalau orang Jepang punya cara pandang yang agak secluded alias kurang peduli dengan dunia luar. Imbasnya, mereka bangga dengan bangsa sendiri (yang mana adalah hal wajar pada titik tertentu) dan cenderung memandang negatif para gaijin atau orang asing kayak kita gini. Istilahnya xenophobia, kalo kata orang-orang di disiplin Ilmu Sosial.
Apa iya seperti itu?
Emang sih, orang Jepang terbiasa hidup di lingkungan yang bisa dibilang homogen. Suku bangsa asli mereka yang paling banyak diketahui orang mungkin hanya Yamato, Ainu, atau Ryukyu. Bahasanya pun sependek pengetahuan gue juga tidak banyak berbeda, hanya aksaranya (Katakana, Hiragana, Kanji) yang berbeda namun serupa secara fonetik.
Dalam periode kunjungan yang begitu singkat, gue malah gak terlalu melihat fenomena ini. Yang ada, mereka cenderung cuek kepada kami para gaijin. Artinya, gak ada pandangan-pandangan aneh dan sinis kepada kami... malahan mereka seperti tidak memedulikan aktivitas kami para turis yang sebentar-sebentar berfoto atau melakukan hal-hal norak khas turis pada umumnya.
Dari pengalaman langsung berinteraksi, justru mereka bersikap baik dan helpful ketika ditanya cara memesan makanan atau ditanya peron kereta yang benar. Para pengendara juga dengan senang hati memberi jalan kepada kami pejalan kaki, dan sebaliknya jika kami pejalan kaki membiarkan mereka lewat, mereka akan mengangguk dengan sopan. Ya mereka mungkin cuek, tapi gak seperti robot kok.
Pada akhirnya, kota Tokyo memang punya banyak wajah. Modern dan mewahnya Ginza, meriahnya Harajuku menjadi satu dengan keasrian Taman Yoyogi dan tradisionalnya Kuil Meiji Jingu. Dari Nishi Kasai yang seperti Little India menuju Marunouchi yang SCBD banget, dari Asakusa yang seperti Pasar Baru dan distrik anime Akihabara yang begitu menyala dan berwarna, hingga Pasar Ikan Tsukiji dan kawasan orang tajir Roponggi Hills yang belum sempat dikunjungi.
Belum apa-apa sudah bikin pengen balik lagi. Travelling ternyata gak buruk-buruk amat jika kita pergi ke tempat yang tepat. Memang betul sih keramaian Tokyo begitu cepat bikin batere sosial habis, tapi dengan menyendiri sejenak di kafe jadul Asakusa ternyata cukup membantu.
Ah, dasar Si Paling Jepang.