Senin, 14 Maret 2016

Menonton London Has Fallen



Film London Has Fallen telah dirilis sejak awal Maret 2016. Film yang dibintangi Gerard Butler dan Aaron Eckhart ini adalah sekuel dari Olympus Has Fallen yang tayang tahun 2013. Mengusung genre action, film ini jelas yang paling saya tunggu sepanjang tahun ini. Saya pun menyempatkan diri menontonnya di bioskop, setelah kali terakhir menonton di teater besar ini tahun lalu saat diputarnya franchise Mission Impossible berjudul Rogue Nations.

London Has Fallen memang tidak menawarkan hal baru. Masih seputar film action ala Hollywood bertema lone survival, penyelamatan presiden, penjahat yang banyak tapi tetap saja kalah, dan menyoroti terorisme. Lalu jagoan (Amerika) lah yang tetap menjadi pemenangnya. Tidak ada yang baru, bukan?

Maka dari itu, saya memang tidak berharap banyak dari sisi plot. Saya juga bukan kritikus film yang bersedia mendedah setiap jengkal efek dan aspek teknis dari film. Bukan begitu cara menikmati film action, kalo menurut saya. Saya memang hanya kangen dengan adegan berantem, tembak-tembakan, kejar-kejaran tanpa ada unsur drama berlebih. Dan buat saya, film semacam ini akan saya nilai baik andai saja tidak ada kekeliruan yang terlampau mendasar.

Pembuat sekuel London Has Fallen ini mencoba menawarkan segmen yang lebih luas. Petualangan Mike Banning (Butler) sebagai pengawal presiden Amerika Serikat, Benjamin Asher (Eckhart) merambah ke luar negeri, yaitu kota London di Inggris. Diceritakan bahwa presiden Asher bersama pemimpin-pemimpin dunia barat lain menghadiri upacara pemakaman perdana menteri Inggris yang tewas secara mendadak dan misterius. Namun pengamanan dalam upacara berskala besar ini telah disabotase dan disusupi oleh kelompok teroris yang memang bermaksud membunuh para pemimpin dunia barat sekaligus menabuh genderang perang.

Jadilah para pemimpin ini seperti tikus yang masuk perangkap. Satu persatu pemimpin ini tewas dibunuh para teroris, dan akhirnya menyisakan perdana menteri Inggris yang baru dan presiden Asher. Saat perdana menteri Inggris berhasil diamankan (proses pengamanannya pun tidak diceritakan detil, hanya dibawa masuk ke dalam katedral St. Paul saja), tinggallah Asher menjadi sasaran tunggal para teroris. Seperti sudah bisa ditebak, Asher kemudian bergantung pada kepiawaian bertarung dan bertahan hidup dari Banning.

Memang tidak ada yang istimewa dari rangkaian cerita, namun penonton pasti akan mengernyit bingung pada serangan teroris yang terjadi begitu saja tanpa penggambaran yang jelas. Mungkin ini ditujukan untuk membuat penonton menerka-nerka sendiri. Boleh lah kalau memang penjahat di sekuel ini ada keterkaitannya dengan sekuel pertama, lha ini enggak sama sekali karena di sekuel pertama (Olympus Has Fallen), penjahatnya berasal dari Korea Utara. Semua seperti terjadi begitu saja.

London Has Fallen banyak mengambil setting kota London, dan peperangan yang terjadi di sini adalah perang kota, berbeda dengan Olympus Has Fallen yang mengambil setting di Gedung Putih. Diceritakan pula bahwa kepolisian sudah disusupi, sehingga muncul perintah dari Scotland Yard untuk melakukan sortir kepada setiap anggota polisi, manakah yang telah berkhianat, mana yang tidak. Sayangnya, eksekusi instruksi ini juga tidak diperlihatkan dengan detil. 

Tidak pula digambarkan keadaan darurat militer, yang ada malah situasi kota yang dibuat sepi dan gelap (listrik telah dilumpuhkan kelompok teroris) dan seluruh warga diminta untuk tinggal di rumah tanpa terlihat personel militer yang berjaga. Suatu keadaan yang menurut saya lebih cocok untuk situasi darurat bencana virus dan sejenisnya. Padahal untuk menghadapi teror militer semacam ini, bukankah seharusnya menggunakan kekuatan militer juga?

Anyway, saya bukan pula pengamat sipil dan militer, jadi bisa saja unek-unek saya itu tak beralasan dan asumsi-asumsi saya ini keliru.

Secara keseluruhan, London Has Fallen memang tidak memberi kepuasan dari segi plot, percakapan-percakapan, dan juga hal-hal teknis yang memberikan pengalaman tersendiri saat menonton. Tapi ya itu tadi, hal-hal semacam ini memang bukanlah yang paling utama saya cari ketika menonton film action, melainkan unsur hiburannya saja.

Selasa, 08 Maret 2016

Saya dan Gerhana 1983

Beberapa hari ini, banyak yang membicarakan fenomena gerhana matahari total yang akan datang besok (9/3). Hanya negara Indonesia yang dapat menyaksikan fenomena alam ini, khususnya di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Selain wilayah Indonesia, gerhana matahari total ini juga dapat disaksikan di wilayah Samudera Pasifik.

Peristiwa alam ini memang langka. Terakhir kali negara Indonesia mengalaminya adalah.. jreng jreng.. tanggal 11 Juni 1983 antara jam 9 hingga 10 pagi. Tanggal dan jam itu adalah kelahiran saya di dunia. Gak ada yang nanya? Biarin. Hehehe. Disebut langka memang tidak salah, karena para ahli memperhitungkan bahwa gerhana matahari total berikutnya yang akan melintasi Indonesia akan jatuh pada tahun 2023 mendatang.

Kalau kita baca cerita-cerita seputar gerhana matahari total tahun 1983, pemerintah saat itu yang masih diduduki Presiden Soeharto malah memberi instruksi khusus. Melalui menteri penerangan Harmoko, masyarakat dihimbau untuk tidak keluar rumah dan tidak melihat gerhana dengan mata telanjang. Berbahaya, bisa membutakan mata. Cara paling aman menyaksikan gerhana matahari total adalah melalui siaran langsung TVRI atau Radio RRI.

Reaksi masyarakat pun beragam, dan lebih banyak mengaitkan peristiwa langka ini dengan hal-hal yang berbau klenik dan takhayul, berangkat dari legenda Batara Kala. Jadilah saat itu orang-orang berdiam diri di rumah, ditambah lagi kebetulan hari itu adalah hari sabtu dan tentu saja libur akhir pekan. Ada yang membunyikan kentongan dan kaleng, menutup jendela, bersembunyi di kolong tempat tidur, bahkan sampai ada yang mudik ke kampung halaman demi menjaga tanaman dan hewan ternaknya. Situs Liputan 6 pun menyebut rangkaian peristiwa ini sebagai pembodohan massal.

Sekarang, di era keterbukaan informasi dan keceradasan masyarakat yang bertambah (wah kalo ini sih bisa diperdebatkan hehehe), pemerintah dan para pelaku bisnis malah menyulapnya sebagai peluang. Di Makassar, pemerintah kota bahkan telah menyiapkan acara khusus di seputaran Pantai Losari. Semacam nonton bareng, mungkin.

Anyway, tanggal 10 Juni 1983 menurut cerita ortu, ibu saya yang tengah hamil 8 bulan saat itu baru saja memeriksakan kandungannya. Dokter bilang, saya akan lahir kira-kira pada akhir bulan Juni atau awal Juli 1983. Tapi Tuhan sepertinya menginginkan saya lahir tepat pada saat peristiwa gerhana terjadi, atau keesokan hari setelah ibu saya memeriksakan kandungan. Untungnya saya tidak dinamai aneh-aneh karena itu.

Kembali, namanya juga orang Indonesia, sanak famili saya cukup terkejut dengan kelahiran saya yang ‘tiba-tiba’ ini. Mulailah banyak yang mengaitkan saya dengan hal-hal klenik ini-itu. Ingat sinetron Gerhana yang populer tahun 90an? Banyak menanggap bahwa orang yang lahir tepat pada peristiwa semacam ini pasti memiliki indera keenam, tenaga dalam atau semacam itulah. Asik juga ya. Kalo punya kekuatan super, saya bisa tangkep koruptor-koruptor, para begal motor, para penipu dengan modus mama minta pulsa, atau para alay yang suka naik motor ugal-ugalan.

Tapi setelah hampir 33 tahun lahir ke dunia ini, saya berani bilang kalau tidak ada efek apapun bagi saya terkait kelahiran yang bertepatan dengan gerhana matahari total langka itu. Sebaliknya, saya malah merasa amat asing dengan hal-hal klenik, dan lebih menganggap diri saya lebih banyak tertarik pada hal-hal yang logis. Buat saya, gerhana matahari total 11 Juni 1983 pun hanya menyisakan cerita yang biasa-biasa saja seputar kelahiran. Ya, setidaknya kelahiran saya bertepatan dengan sebuah peristiwa langka :).