Rabu, 22 Juli 2015

Draft Day – Review Film

Pernahkah kita berkumpul satu meja dengan 10 orang teman, di mana terdapat tiga orang yang asik bercerita hingga tertawa terbahak-bahak, sementara tujuh orang lainnya termasuk kita hanya terdiam karena tidak mengerti apa yang dibicarakan tiga orang itu? Seolah mereka tidak sadar bahwa mereka sedang membicarakan topik ‘lokal’ yang hanya dimengerti mereka sendiri, dan tentu saja dalam beberapa tingkatan akan membuat risih orang-orang di sekitar mereka. 

Saya berpendapat, dalam dunia olahraga, seperti itulah negara Amerika Serikat.

Negara ini seolah menciptakan dunianya sendiri. Mungkin ini adalah salah satu manifestasi mereka sebagai negara adikuasa, yang merasa harus menjadi pelopor, bukannya pengikut. Mereka memiliki versi sendiri terhadap sepak bola, yaitu (American) Football, dan mereka sungguh berani sekali menyebut sepak bola konvensional sebagai soccer. Kecuali bola basket yang telah dikenal luas oleh dunia, Amerika Serikat juga memiliki tontonan yang sepertinya hanya mereka yang bisa mereka nikmati sendiri seperti Baseball, Nascar, hingga Hoki Es.

Olahraga-olahraga ini tetaplah hidup meskipun negara lain tidak ada yang mengikuti jejak mereka. Pasar dalam negeri mereka sudah cukup untuk menjadi penggerak industri, dan tidak kalah pentingnya, mereka mampu mengemas berbagai acara ini dengan teramat menarik, alias menggabungkannya dengan unsur pertunjukan, atau showbiz.

Salah satu motor penggerak dalam industri pertunjukan adalah dunia perfilman yang mereka miliki. Ketika mereka memfilmkan sesuatu, maka penonton seakan dibuat terhipnotis sekaligus terhibur. Mereka yang tadinya awam terhadap suatu subjek, dalam waktu kurang dari dua jam saja (sesuai durasi film) lantas bisa berubah menjadi paham, terima kasih pada begitu lengkapnya penggambaran dalam film.

Film berjudul Draft Day, rilis tahun 2014 dibintangi Kevin Costner dan Jennifer Garner, bercerita tentang sebuah hari yang menjadi hajatan tahunan yang penting di dunia American Football (selanjutnya disebut football saja). Dalam momen yang dikenal dengan nama draft day ini, klub-klub yang bertanding di Liga Nasional (NFL) diberi kesempatan untuk mengontrak pemain-pemain terbaik dari universitas demi memperkuat tim menghadapi musim yang baru.

Sejalan dengan sistem draft, tim yang pada musim terakhir prestasinya paling buruk mendapatkan kesempatan untuk mengambil first draft, atau pemain paling menonjol dalam liga mahasiswa. Sebaliknya, tim yang musim lalu prestasinya bagus, tidak mendapat keistimewaan dalam memilih pemain draft mereka. Hal ini bertujuan agar sebuah tim tidak terus menerus terpuruk, atau sebaliknya tidak ada tim yang terlalu mendominasi. Dalam sistem franchise yang tidak mengenal promosi-degradasi, menjaga keseimbangan kompetisi memang menjadi pilihan yang wajib diambil agar eksistensi terjaga.

Dalam film arahan Ivan Reitman ini, Sonny Weaver Jr (Costner), General Manager dari Cleveland Brown, tim football asal kota Cleveland mendapatkan tawaran yang cukup menggiurkan dari tim Seattle Seahawk berupa berupa pemilihan draft pertama. Dari situ muncullah nama seorang quarterback yang digambarkan begitu berbakat bernama Bo Callahan. Callahan adalah fenomena dalam dunia football mahasiswa. Anthony Molina, pemilik Brown meminta Weaver Jr mengiyakan tawaran tersebut. Staf pelatih Brown juga memberi rekomendasi positif soal Callahan.

Namun Weaver Jr bukanlah sosok yang mudah percaya pada angka-angka statistik semata maupun euforia sesaat yang timbul karena peluang mendapatkan seorang pemain handal. Ia melihat hal yang orang lain tidak mampu melihat, yaitu hal-hal nonteknis dari seorang pemain seperti sikap atau attitude, dan juga mampu menerjemahkan data statistik sesuai konteksnya, bukan sekadar melihat angka-angka belaka lalu mengambil kesimpulan yang dangkal. Weaver Jr adalah sosok idealis, cerdas, keras kepala, sekaligus sedikit ‘gila’, menjadikan karakternya sebagai episentrum dari film.

Dari sinilah kemudian tercipta drama, kehebohan pada hari-H draft day, juga betapa kerasnya perjuangan Weaver Jr hingga pada akhirnya berhasil mendapatkan pemain-pemain yang sesuai dengan kebutuhan tim, tidak peduli begitu banyak kritik dan keraguan yang dialamatkan kepadanya.

Kelebihan utama dari film ini terletak pada pemaparan yang jelas. Saya yang tidak mengerti banyak soal football dan juga kompetisi Superbowl nyatanya mampu menikmati film ini dari awal hingga akhir. Plot yang progresif memang cukup membantu sehingga penonton awam seperti saya tidak perlu memutar otak terlalu keras tentang urutan kejadian. Dari film ini pula tergambar betapa mumpuninya pengelola NFL dalam menerapkan aturan-aturan rumit dari sistem draft, sekaligus betapa menariknya industri olahraga Amerika Serikat karena ditunjang oleh showbiz yang amat profesional.

Menonton film ini dari awal hingga akhir layaknya menyaksikan seorang yang begitu handal dalam melakukan pekerjaannya. Pesan yang ingin disampaikan sang pembuat film juga terkirim dengan baik, menggambarkan dinamika dunia football secara umum, sekaligus ketegangan dalam draft day yang dieksekusi dengan amat mendetil. Film ini sedikit mengingatkan saya pada film semisal The Damned United atau Coach Carter, film yang menonjolkan ilmu manajemen, namun berlatar belakang olahraga.


Saya sampai berharap, sepak bola konvensional memiliki film sejenis ini. Film yang menggambarkan kesibukan bursa transfer, permainan para agen, konflik antara presiden dengan pelatih klub, pemain dengan suporter, dan lain-lain. Mengambil sudut pandang beberapa tokoh seperti Adriano Galliani, Jorge Mendez, Brendan Rodgers, Florentino Perez, Jose Mourinho hingga Paul Pogba rasanya cukup. Sayangnya, dunia Hollywood masih belum berteman dekat dengan hingar bingar sepak bola Eropa.

Selasa, 21 Juli 2015

Membeli Kenangan Dalam Bentuk Bon Jovi

Segera setelah konfirmasi konser Bon Jovi di Gelora Bung Karno, Jakarta, 11 September 2015 mendatang, generasi yang menjalani masa muda tahun 1990an larut dalam euforia yang sama: Nostalgia.

Bon Jovi, band yang berdiri tahun 1983 di New Jersey, Amerika Serikat, memang memiliki banyak hits bertemakan cinta yang terkenal hingga ke seluruh dunia pada zaman itu. Always, I’ll Be There For You, Bed of Roses, Keep The Faith, You Give Love a Bad Name, dan In These Arms adalah sedikit di antaranya. Lagu-lagu rock ballad tadi telah menjadi memori bagi sebagian besar dari anak-anak 90an. 

Kedatangan Bon Jovi tentu saja membuat pria dan wanita usia 30 tahunan ke atas yang udah cocok dipanggil om dan tante (tapi sering denial) ini semakin senang, dan menambah alasan untuk beretorika bahwa zaman mereka muda lah yang paling menyenangkan. Setidaknya ada satu poin yang bisa ditambah para om dan tante yang teramat bangga dengan masa mudanya ini, yaitu saat merasakan cinta monyet, lagu Bon Jovi-lah yang mengiringi, bukannya band-band yang 'seperti itu'. Hehe.

Satu hal yang menjadi kelebihan Bon Jovi adalah reception dari berbagai kalangan. Untuk penggemar pop, melodi yang dihasilkan Bon Jovi masih bisa dinikmati, dan bagi rocker, hentakan-hentakan dihasilkan band ini tidaklah malu-maluin. Para metalhead pun akan dengan senang hati berbaur. Dan tidak ketinggalan, bagi para pujangga wanna be yang doyan ngegombalin gebetan, Jon Bon Jovi adalah sosok panutan.

Bagi saya sendiri, ya sama saja. Lagu-lagu Bon Jovi menemani hari demi hari semasa sekolah dulu. Gitar-gitaran bareng, berlagak seperti mereka saat berlatih di studio band, sampai nonton bareng video konser mereka di stadion Wembley, London melalui perangkat video CD. Bon Jovi telah menciptakan kultur musik tersendiri di kalangan remaja 90an, suka atau tidak. 

Dalam mengantisipasi kedatangan mereka, perasaan saya tidak seantusias ketika Metallica atau Megadeth datang. Lagu-lagu lawas Bon Jovi hanya enak dinikmati jika dibawakan dengan nada asli sesuai album rekaman. Namun faktor usia membuat saya sangsi akan performa Jon nanti. Boleh jadi, nadanya diturunkan atau cara bernyanyinya dimodifikasi. 

Posisi gitaris juga tidak lagi dihuni sang ikon, Richie Sambora. Beberapa orang yang saya kenal batal menonton konser karena ketiadaan Richie. Bagaimana tidak, Richie adalah sosok di balik solo gitar bluesy dalam lagu Always atau Lie To Me, juga suara revolusioner dalam lagu Livin' on a Prayer. Richie juga memiliki suara yang khas sebagai backing vocal. Menyaksikan Bon Jovi tanpa Richie Sambora, mungkin sama saja menyaksikan Guns n Roses tanpa Slash.

Karena alasan itulah saya memilih untuk membeli tiket tribun, bukan festival seperti biasanya. Saya hanya ingin nostalgia, berjingkrak sesaat dua saat, menikmati atmosfer musik 90an yang semakin jarang diperdengarkan secara massal, juga berkumpul dengan generasi seangkatan tanpa gangguan dari histeria lebay khas abg. 

Nantinya di stadion GBK, kita semua memang datang dengan tujuan ‘membeli’ kenangan.

Senin, 13 Juli 2015

Malam Lailatul Qadr

Jadi, suatu ketika saya bertemu seorang teman baik. Sepanjang ngobrol, dia dengan begitu yakin mengatakan hal-hal yang menjadi tujuannya. Aspirasinya. Apa yang ingin dicapainya. Dan sekarang dia mulai merancang jalannya itu.

Beberapa waktu lalu, saya bertemu teman baik lain. Dia bangkit dari sebuah luka yang besar, dan tahukah? Dia sekarang berjalan lebih kuat ketimbang dirinya sebelum terluka. Kini, dia tengah berada di seberang samudera untuk menggapai impiannya.

Sama halnya dengan teman saya yang satu lagi, teman yang begitu bergairah jika diajak berbicara pajak dan akuntansi. Silakan tertawa terbahak seolah ia adalah fanboy dari akun twitter auditor cabul, tapi kini ia tinggal beberapa langkah lagi akan menjadi partner, alias posisi tertinggi dalam karir jasa perpajakan. Dan ia amat mungkin meraihnya bahkan sebelum umurnya 40 tahun.

Lalu saya melihat pada diri sendiri. Apa tujuan saya? Mengapa saya masih berprinsip 'go with the flow' ketika teman-teman saya telah merintis jalannya sendiri, bukan sekadar mengikuti jalan yang tersedia? Mengapa saya masih saja harus pasrah, mengangguk, menurut, dan menahan diri setiap kali saya diperintahkan melakukan sesuatu? Dan mengapa saya rela saja diberitahu terus menerus tentang apa yang saya harus lakukan, dan bagaimana melakukannya.

Bukannya hendak tidak bersyukur. Sebaliknya, saya berterima kasih telah diberi kehidupan -bahkan kehidupan yang diinginkan jutaan manusia lain ini-. Meskipun saya berulang kali menyatakan penolakan, membelot dari jalan yang lurus, terlalu banyak mempertanyakan apa yang seharusnya cukup dijalankan, dan terlalu memusingkan perkara yang mungkin terlihat sepele bagi orang-orang besar itu.

Saya cuma menginginkan menjadi 'besar', tapi saya sendiri tidak yakin bagaimana cara menjembatani impian itu. Saya menginginkan banyak hal, tapi kenyataannya saya tidak visioner-visioner amat untuk bisa merancang jalan saya sendiri. Tidak seperti teman-teman baik saya.

Maka untuk itu, di malam ganjil 10 hari terakhir ramadan 1436 H yang saya sendiri tidak dapat memastikan apakah malam ini termasuk malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, ijinkan saya berdiam diri untuk merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi. Karena sebagai manusia yang terbatas akal dan pikirannya, terdapat beberapa hal yang saya merasa begitu memerlukan bimbingan, alih-alih merasa sombong bisa menentukan takdir sendiri. Atau merasa otak terlalu pintar untuk menafsirkan apa-apa yang sebenarnya harus dilakukan. Atau bahkan, terjebak dalam permainan 'si mata satu' di mana sebetulnya ialah yang menginginkan orang lain percaya bahwa apa yang sedang dikerjakannya dengan rapi tidak lebih dari sekadar teori konspirasi murahan. Tapi ini soal lain.

Kembali ke malam 1000 bulan. Jika memang inilah yang dimaksud, berikanlah saya sedikit tanda. Atau, jika memang tidak ada tanda, ya tidak masalah. Daripada membuat saya besar kepala, apalagi menjadi riya. 

Lalu keesokan paginya, sesuatu meminta saya membaca dan memahami Surah Adh Dhuha. Saya baca berulang-ulang, berpikir dan cari tahu.


Dan akhirnya saya mengerti.

Mengerti apa? Baca dan pahami sendiri isi Surah Adh Dhuha.

Kamis, 09 Juli 2015

Selingkuh Itu (Tidak) Indah

Belom terlalu lama sejak saya menuliskan topik perselingkuhan, cerita tentang topik sensitif ini kembali menghampiri kehidupan saya.

Untuk kali kesekian, saya mendengar cerita tentang perselingkuhan yang dilakukan orang yang saya kenal. Sepertinya sekarang ini perselingkuhan udah bukan hal aneh. Lama-lama, bakal ada seleb media sosial yang ngomong "Ah elo mah overrated banget nanggapin perselingkuhan. Padahal 9 dari 10 orang udah melakukannya!"

Tapi, beginilah ceritanya:

Cerita pertama datang dari seorang.. katakanlah teman lama. Dia melakukan perselingkuhan terang-terangan. Terang-terangan? Apakah dia gak suka melakukannya gelap-gelapan? Maksudnya adalah dia sudah dalam tahap cuek. Sudah berani bilang "Kamu mau dipoligami, atau dicerai?" Teman lama ini memang (sebelum menikah) dikenal sebagai playboy

Tapi, seperti halnya playboy-playboy yang lain, dia punya kata-kata andalan: “Lebih baik bandel sebelum nikah, lalu insaf dan jadi suami setia selepas nikah. Daripada hidup lurus sebelum nikah, lalu bandel setelah nikah.”

Pernyataan ini amat berbahaya. Tidak lebih dari generalisasi dangkal bahwa pria yang hidupnya lurus (tidak main perempuan) sebelum menikah, sudah pasti kemungkinan besar akan berselingkuh setelah mereka menikah. Cara berpikir ini terlalu sederhana, sekaligus melecehkan para pria berkelakuan 'lurus' (dan pria gak laku-laku).

Sekarang, terbukti kata-katanya itu hanya sampah. Dulu bandel, toh sekarang masih bandel.

Cerita kedua datang dari seorang perempuan paruh baya bersuami yang gagap teknologi alias gaptek. Ia membuat akun Facebook setelah diajari tutorial sederhana oleh teman-teman searisannya. Untuk orang-orang yang terlalu naif, Facebook bisa menjadi kotak pandora. Dan benar saja, perempuan itu asik berselancar di situs temuan Mark Zuckerberg hingga kemudian bertemu teman-teman lamanya.

Sudah ketebak, di antara teman-teman lama, terdapat mantan pacar. Terjadilah CLBK (Cerita Lalu Belum Kelar) di antara mereka berdua. Hubungan ini lalu mengalami eskalasi hingga ke tahap-tahap yang lebih menyerempet bahaya.

Lalu, cerita ketiga dari teman saya lebih heboh lagi. Katakanlah nama teman saya ini Juki, dan selingkuhannya bernama Rogayah. Rogayah ini memang memiliki kerentanan selingkuh yang tinggi karena suaminya bekerja di luar kota. Jarang pulang. Nah si Juki ini seperti kucing garong yang gak bisa liat ikan asin nganggur dikit di meja makan. Disambarlah ikan asin ini.. eh maksudnya si Rogayah ini. Padahal, Juki juga sudah punya anak dan istri.

Seperti perselingkuhan pada umumnya, Juki dan Rogayah semula tidak menuntut satu sama lain. Mereka melakukannya just for fun. Gayung bersambut. Juki yang bandel ketemu Rogayah yang kesepian. 

Tapi lama kelamaan, Rogayah meminta lebih. Karena kebetulan belum punya anak dari suami sahnya, ia lalu minta anak kepada Juki. Ia pengen dihamili oleh Juki. Pusinglah si Juki ini.


Tiga jenis cerita ini menggambarkan betapa naifnya kita. Dengan sedikit saja keleluasaan dan godaan, terjadilah perselingkuhan. Terlalu gampang dan murahan. Tapi sayangnya, mereka beranggapan bahwa cinta itu tidak pernah salah, hanya waktu yang salah. Kasihan banget si waktu, disalahin melulu. Dan mungkin karena alasan ini, sampai tercipta premis ngawur: selingkuh itu indah. 

Lha kok waktu yang disalahin? Jika memang cinta tidak salah, lalu apakah cinta peduli pada keluarga yang menjadi korban? Sebagai makhluk yang dianugerahi akal sehat, kita memegang kendali, bukan sebaliknya. Jika kita masih bersikap seperti anak kecil yang keinginannya selalu ingin dituruti, apalah artinya umur yang bertambah, pangkat yang meninggi, tabungan yang menggunung dan status sosial yang terhormat?

Tapi, bukan berarti saya adalah orang yang bener. Saya masih belum berhak mengklaim diri sebagai orang yang bener, padahal belum teruji. Selain tidak punya mantan, saya juga gak punya pesona Don Juan dan uang Paman Gober. Lagian, ngapain sih cari-cari masalah baru dalam hidup. Tanpa begini-ginian, masalah udah banyak. Hidup udah susah, buat apa dibikin tambah susah.

Jadi buat saya, selingkuh itu susah, dan sama sekali tidak indah.

Minggu, 05 Juli 2015

LGBT

LGBT. Belakangan, singkatan ini amat populer di kalangan publik terkait keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk melegalisasi pernikahan di antara kaum tersebut. Langkah ini menyusul negara-negara lain yang lebih dulu melegalkan, seperti Belanda, Slovenia, Finlandia, Belgia, Brasil, Selandia Baru, Kanada, Denmark, Prancis, Islandia, Irlandia, Luksemburg, Meksiko, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Portugal dan Uruguay.

Status Amerika Serikat sebagai negara adidaya, juga membuat negara tersebut secara tidak resmi menjadi pusat budaya dunia. Bagaimana tidak, seluruh dunia begitu hapal film-film produksi Hollywood, juga begitu fasih menyenandungkan lirik-lirik lagu yang dinyanyikan artis-artis asal negeri Paman Sam. Pemilihan presiden di negara itu juga tidak lepas dari perhatian dunia, dan tidak jarang menjadi headline dari media negara-negara dunia ketiga.

Maka rasanya tidak terlalu mengherankan jika isu LGBT yang terjadi di Amerika Serikat menjadi santapan pembahasan sebagian besar kita yang berada jauh di Indonesia. Sekalipun akan banyak pihak yang mencibir kelakuan ini sebagai tindakan latah dan reaksioner khas inlander. Berpuluh-puluh tulisan cerdas, bernas dan berkualitas naik cetak. Para pemuka agama, budayawan, selebriti dunia nyata sampai selebriti dunia maya pun ikut menyuarakan pemikiran-pemikiran yang amat mengagumkan.

Bagi mereka yang kontra, tentu dasar agama yang dikedepankan. Ada pula yang mengedepankan fitrah kita sebagai manusia yang memang berkembang biak demi kelangsungan peradaban. Ada juga pelajaran sejarah kaum Nabi Luth yang kembali diangkat tinggi-tinggi ke permukaan sebagai pengingat.

Tapi bagi mereka yang pro, dasar agama dibuang ditepikan. Pledoi yang (menurut mereka) lebih canggih, bermartabat, liberal, humanis dan modern diapungkan baik ke media cetak maupun media daring dengan tidak kalah gencarnya. Juga dengan melakukan aksi memasang latar pelangi pada profile picture, mengetik tagar #LoveWins, selebrasi hingga turun ke jalan. Bahwa orientasi seksual dan pelegalan pernikahannya adalah kemenangan yang paripurna bagi tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), sesuatu yang ter(disepakati) oleh dunia atas prakarsa mereka yang menjadi pemenang Perang Dunia II.

Yang kontra marah dengan ketidakwajaran ini, tapi yang pro lebih galak. Bukan hanya diserang, tapi merasa haknya dilimitasi. 

Saya bukannya bermaksud latah ingin ikut-ikut berkomentar, apalagi saya bukan siapa-siapa dan juga tidak memiliki kepentingan apapun. Saya juga tidaklah sepintar mereka para pegiat budaya modern yang begitu rajin membaca jurnal, buku, riset sehingga lantas bertransformasi menjadi sosok freethinker yang begitu mengagungkan logika dan superioritas ilmu pengetahuan. Agama itu dongeng yang dibuat-buat manusia, agama itu cuma alat propaganda, agama itu cuma buat jualan, agama itu impor. Agama begitu, agama begini.

Untuk yang satu ini, sikap saya sedari dulu sudah jelas. Saya tidak ingin mengatakannya secara gamblang. Tapi yang bisa saya katakan adalah, saya tidak ingin anak-anak saya menjadi seperti itu. Saya ingin anak-anak saya bersekolah, berkarya, menikah dengan pasangan lawan jenis, memiliki keturunan lalu hidup normal dan selamat dunia akhirat.

Dalam banyak hal, saya sebenarnya fleksibel.

TAPI, hanya untuk persoalan-persoalan remeh temeh seperti: 

  • makan nasi padang pakai tangan atau sendok dan garpu, 
  • makan bubur ayam diaduk atau tidak diaduk, 
  • memilih paha (ayam) daripada dada (ayam) sebagai pasangan makan nasi uduk, 
  • makan soto dengan nasi dicampur atau dipisah, 
  • memilih selai sarikaya atau coklat keju pada roti bakar, 
  • memilih antara gado-gado atau ketoprak, 
  • saus bolognaise atau carbonara
  • mau nikah di gedung atau di rumah, 
  • bulan madu di Bali atau Singapura, 
  • liburan ke pantai atau ke gunung.

Saya amat setuju jika hal-hal semacam ini dikembalikan saja kepada masing-masing preferensi individu. Namun tidak untuk hal signifikan seperti orientasi seksual.

Hal yang memang sudah fitrah dan prinsipil, tentunya harus diikuti sebagai bentuk ketaqwaan kita kepada sosok yang telah memberikan kita hidup, nafas, makan, rezeki, jodoh dan semua kehidupan yang sesaat ini. 

Hal-hal yang memang diatur untuk tujuan yang baik, oleh Dzat yang derajatnya bermiliar-miliar kali lipat hebatnya dari kita, memang kadang tidak masuk kepada logika. Lagipula, apalah arti logika kita sebagai manusia yang terbatas jika dibandingkan dengan ketentuan-Nya. Dia yang maha besar, tiada banding dan tiada batas.

Bukannya ingin menggurui. Selain memang bentuk akan sikap saya pribadi, saya hanya ingin membekali anak-anak saya menjalani zaman yang semakin lama semakin mengherankan ini. Zaman di mana yang salah diagungkan, orang alim dileluconkan, dan yang memegang prinsip malah dianggap kaku dan gak sesuai dengan tuntutan zaman yang udah modern. Modern muke lu!

Ini adalah sikap, dan saya tidak tertarik akan segala bentuk debat. Kalau punya pendapat berbeda, silakan tetap jalani dengan penuh tanggung jawab jangan asal ikut-ikutan. Tidak perlu juga membuang-buang energi untuk memengaruhi orang lain yang berpendapat berbeda. Ini sudah masalah prinsip. Let’s just agree to disagree