Selasa, 23 Juni 2015

Antara Mushalla, Pahlawan Kesiangan dan Celana Jeans

Saya memiliki kenangan akan mushalla sederhana ini. Jaraknya hanya beberapa ratus langkah kaki dari rumah orang tua. Di mushalla itu, saya biasa mengerjakan salat tarawih saat bulan ramadan, juga sempat mengikuti taman pendidikan Al Quran semasa kecil.

Ketika itu, keadaan mushalla dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Langit-langit yang rendah, ditambah lagi dengan ditutupnya pintu selatan untuk membatasi jamaah pria dan wanita, membuat bagian dalam mushalla tidak ubahnya ruang sauna. Mungkin terdengar berlebihan, tapi coba saja masuk ke sana saat jamaah sedang penuh-penuhnya. Oh iya, ditambah lagi, mushalla ini tidak memiliki fasilitas pendingin ruangan berupa AC. Hanya mengandalkan beberapa buah kipas angin, yang saling meniupkan hawa pengap yang tidak memiliki kesempatan untuk bersirkulasi dengan udara di luar.

Setidaknya, seperti itulah kenangan saya akan mushalla masa kecil itu.

Bertahun-tahun saya tidak lagi memiliki waktu untuk salat tarawih berjamaah di mushalla itu, terlebih setelah saya bekerja, di mana saya baru sampai di rumah pada malam hari, dan juga setelah saya menikah yang berarti pindah rumah.

Hingga beberapa hari lalu, saya kembali mengunjungi mushalla itu ketika ada kesempatan.

Betapa terkejutnya saya melihat bagian dalam mushalla. Ya, mushalla itu memang telah direnovasi total, sehingga dari luar saja sudah kelihatan berbeda. Lebih kokoh, lebih cantik. Namun bagian dalamnya lah yang benar-benar berbeda.

Bagian yang masih diperuntukkan bagi jamaah pria ini mengalami perbaikan dalam banyak hal. Penerangan, pendingin ruangan, bahkan papan elektronik berisi informasi waktu salat sudah terpampang gagah. Begitupula langit-langit yang sudah ditinggikan. Hilang sudah kesan sempit, rasa gerah dan berbagai ketidaknyamanan.

Selalu ada cerita di balik sebuah perubahan. Adalah sekelompok remaja generasi baru yang menggagas perubahan ini, di mana mereka juga mendapat dukungan dari sebagian tokoh masyarakat. Dengan telaten, mereka mencari donatur, lalu melakukan perbaikan menyeluruh atas mushalla, dengan beberapa di antara remaja ini turut langsung dalam renovasi. Yang luar biasa, mereka mengirim salah satu imam mushalla ke tanah suci dalam rangka ibadah umrah. Bahkan, sampai ada wacana untuk menjadikan mushalla ini sebagai masjid, meski untuk itu membutuhkan upaya yang lebih keras menyoal birokrasi pemerintahan, persetujuan warga dan juga pertimbangan kapasitas berbanding dengan jumlah jamaah. Namun 
soal meningkatkan status mushalla menjadi masjid, tentu saja merupakan persoalan lain.

Bagaimanapun, selalu ada pihak yang tidak suka pada 'mereka yang berada di panggung'.

Sekelompok 'anak lama' yang pada zaman saya kecil menjadi pengurus mushalla tidak terlalu senang dengan transformasi yang terjadi pada mushalla ini, sekalipun perubahan ini berjalan ke arah yang lebih baik.

Mereka, yang juga sudah meninggalkan lingkungan ini karena pekerjaan, pada suatu waktu berinisiatif mengadakan pertemuan kecil guna membahas fenomena ini. Tapi entah mengapa saya lebih melihatnya sebagai keputusasaan akan tergerusnya eksistensi. Segregasi berbasis semangat primordial coba dikumandangkan, seakan persoalan ini adalah persoalan kultur yang serius. Padahal semua orang tahu, pada intinya ini hanyalah soal melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Para 'anak lama' ini sebetulnya memiliki momentum mereka sendiri pada saat mereka masih menjadi pengurus mushalla, yang sayangnya tidak mereka manfaatkan pada saat itu. Terdengar seperti pahlawan kesiangan, bukan? 

Seakan tidak terlalu menghiraukan friksi antargolongan ini, saya menikmati betul salat di mushalla 'baru' ini. Begitu nyaman, jauh berbeda dengan yang saya alami sewaktu kecil.

Saya pun datang dengan membawa perbedaan sendiri. Di saat mayoritas jamaah mengenakan pakaian muslim berupa baju koko, sarung, dan peci, saya malah mengenakan 'setelan main' berupa poloshirt dan celana jeans.

Mengenakan celana jeans, apalagi untuk menghadiri salat berjamaah di rumah ibadah, menjadikan polemik bagi sebagian orang yang berpikiran sempit. Rasanya saya tidak perlu mengelaborasi polemik ini karena sudah terlalu banyak yang membahas. Pendek kata, bahan jeans, yang pada awal pembuatannya abad ke-18 diperuntukkan bagi pekerja pengeboran barang tambang, kurang sesuai dengan kepribadian (atau cara berpakaian) seorang muslim.

Saya tidak mau ikut mengkotak-kotakkan persoalan, karena mengenakan celana jeans, bagi saya adalah soal preferensi. Saya tidak bermaksud menjadikan preferensi pribadi sebagai pembenaran untuk menabrak aturan-aturan yang berlaku, namun setidaknya, preferensi mengenakan celana jeans bagi saya tidak lebih karena alasan kenyamanan. Bukan untuk menyombongkan diri atau apapun. Lagipula, apa yang mau disombongkan dari sebuah celana yang sudah bertahun-tahun dimiliki? Bahan jeans yang tebal dan awet, juga warna yang tidak monoton membuat saya lebih senang mengenakan berbahan denim ini. Terlebih, dalam keseharian di kantor, saya lebih sering mengenakan celana hitam berbahan katun. Anggap saja sekalian berganti suasana.

Terlepas dari segregasi antara 'anak baru' dan 'anak lama', juga kain sarung dan celana bahan dengan celana jeans, tidak mengubah fakta bahwa yang kita perjuangkan adalah hal yang sama: kenyamanan dan kekhusyukan beribadah. Serta tentu saja memanfaatkan bulan ramadan sebaik-baiknya.

Jumat, 19 Juni 2015

Mengenang Ramadan Masa Kanak-kanak

Bulan Ramadan, selain merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan, juga dimaksudkan sebagai bulan untuk meredam. Bagi saya, bulan yang juga sering disebut bulan puasa ini memang sejatinya diperuntukkan untuk sedikit mengerem aktivitas kita setelah sebelas bulan lamanya beraktivitas. Banyak lembaga pendidikan mengurangi jam belajar, dan banyak perusahaan mengurangi jam kerja. Selain memberi kesempatan orang untuk lebih khusyuk dalam beribadah, juga memberi kesempatan untuk berkumpul lebih sering dengan keluarga. Pendeknya, banyak kegiatan duniawi yang dikurangi frekuensinya demi memanfaatkan momen penuh berkah ini.

Namun bagi anak-anak, bulan Ramadan bukanlah sebuah momen untuk meredam dan bercermin. Memangnya apa yang mau diredam dan direfleksikan dari masa kanak-kanak yang penuh sukacita? Apa pula yang perlu dipikirkan masak-masak oleh anak kecil yang belum memiliki tanggung jawab seberat orang dewasa?

Maka tidak heran jika bulan Ramadan, dengan segala nilai spiritual yang ada, akan selalu disambut dengan keriangan oleh anak-anak. Bagi anak-anak, bulan Ramadan bukanlah soal bagaimana mengkhatamkan bacaan Al Quran, shalat tarawih sebulan penuh, itikaf pada sepuluh malam terakhir, atau bagaimana cara berlomba-lomba dalam mengeluarkan amal. Bagi anak-anak, bulan Ramadan menjadi semacam kulminasi kemunculan tradisi-tradisi yang menyenangkan, yang hanya terjadi setahun sekali.

Dimulai dari malam pertama tarawih, anak-anak sudah riuh memenuhi masjid, mushalla atau surau. Bermodal kain sarung, mereka bercanda dengan teman-teman. Kain sarung digulung, lalu diayunkan dengan gerakan seperti back-hand ala petenis dunia, yang kemudian menghasilkan sensasi pedas pada kulit temannya yang terkena sabetan. Tidak mau kalah, sang korban membentuk kain sarungnya hingga menyerupai gada rantai, semacam senjata yang populer pada abad pertengahan. Ia balas memukulkan bola gulung kain sarungnya pada kaki temannya, hingga temannya itu menjerit kesakitan. Acara berantem-beranteman ini usai setelah salah seorang bapak-bapak melerai mereka, sambil menjewer atau menyentil kuping tentunya.

Sepanjang salat tarawih, anak-anak ini pun masih bercanda. Mengelitiki pinggang, menginjak kaki, hingga berebut tempat sujud membuat ibadah ini jauh dari khusyuk. Selepas salat, mereka langsung ngibrit sebelum orang-orang dewasa sempat memarahi, tapi kemudian tersadar harus kembali lagi ke mushalla karena harus meminta penceramah untuk menandatangani agenda ramadan sebagai tugas dari sekolah.

Sepulang dari masjid, anak-anak ini pulang ke rumah masing-masing untuk makan malam, lalu kembali keluar rumah untuk berkumpul di sekitaran masjid. Apa yang dilakukan? Pilihannya bermacam-macam, dari perang petasan dengan anak kampung sebelah, nimbrung permainan karambol orang dewasa, hingga bermain sepak bola jika lampu lapangan serba guna dinyalakan. 

Selepas bermain, mereka beristirahat sejenak. Minuman bersoda, es teh manis atau es temulawak menjadi pilihan. Minuman yang akan dibatasi konsumsinya jika berada di rumah. Sungguh nikmat air dingin kaya gula ini mengalir ke tubuh-tubuh yang belum saatnya memikirkan selembar kertas berisi hasil medical check up.

Tibalah pada saat yang dinantikan: membuat suara gaduh untuk membangunkan orang sahur. Kaleng, botol, galon atau apa saja digunakan untuk membuat bising. Begitu riuh, berisik dan gaduh. Namun begitu khas. Mereka lalu pulang ke rumah masing-masing untuk makan sahur, menunggu hingga adzan subuh sambil terkantuk-kantuk, lalu tertidur hingga siang hari jika sedang libur sekolah.

Sore harinya, kegiatan sudah dimulai kembali. Mengumpulkan makanan dari donatur untuk berbuka di masjid, tadarusan, lalu kembali bermain sepak bola di tanah lapang hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu mereka berbuka puasa bersama dengan riang gembira. Makan dengan lahap hingga lupa diri, hingga perut sakit dan orang-orang dewasa mulai menceramahi “Tuh kan, udah dibilangin kalo makan buka puasa itu jangan rakus dan terburu-buru!” Minimal, kita pernah sekali mengalami kejadian semacam ini.

Setelah itu mereka kembali tarawih, lalu begitu terus sampai 30 hari. Sampai mereka bosan sendiri dan menanti-nantikan hari kemenangan, yaitu hari Idul Fitri. Saat di mana mereka tidak perlu lagi menahan lapar dan haus di siang hari, dan saat di mana mereka mendapatkan duit lebaran dari om, tante, kakek, nenek atau orang kampung terpandang yang melakukan open house. Juga menagih uang hadiah puasa kepada orang tua karena berhasil menamatkan puasa tanpa sekalipun batal. 

Siklus ini akan berlangsung bertahun-tahun sampai usainya masa kanak-kanak, sampai pada suatu masa di mana persoalan-persoalan lain mulai menghinggapi, hingga kemudian mereka menemukan makna ramadan yang lebih dalam lagi seiring dengan ilmu yang semakin bertambah.

Kini, mereka telah berada pada usia 30an. Sedikit lagi memasuki midlife crisis. Zaman juga telah berubah. Mereka kini lebih memilih dibangunkan sahur oleh alarm pada ponsel pintar daripada suara anak-anak. Mereka kini juga lebih banyak memberi, daripada menerima. Betapa zaman telah berubah. Mereka juga tidak bisa bersantai lagi selama ramadan. Pekerjaan tetaplah pekerjaan, para atasan tidak akan peduli, toh kegiatan usaha tetap berjalan bahkan hingga malam takbiran. Deadline tetap saja deadline.

Lalu suatu ketika, tibalah mereka di mushalla tempat mereka biasa melakukan ibadah salat tarawih seperti saat mereka kecil. Mereka melihat kembali sekelompok anak kecil yang berisik dan membuat gaduh. Lalu pada malam takbiran, mereka kembali melihat anak-anak kecil yang sama bergantian menabuh bedug dan meneriakkan kalimat takbir tanpa lelah, sembari membagi-bagikan zakat fitrah berupa beras dan kebutuhan pokok kepada para mustahiq, atau golongan yang berhak menerima zakat. Di lain kesempatan, mereka membaca berita tentang keributan yang ditimbulkan anak-anak muda zaman sekarang pada acara Sahur On The Road (SOTR). Betapa bodohnya anak-anak kecil itu.

Kali ini, mereka hanya tersenyum, sembari mengingat bahwa hal-hal inilah yang dilakukan sewaktu kanak-kanak dulu. Berbeda dengan anak sekarang yang sudah serampangan mengendarai sepeda motor walau masih di bawah umur. Generasi 90an seperti mereka baru mengendarai motor saat mereka sudah mampu membelinya dengan gaji sendiri. Kembali ke tema sentral tulisan, bahwa bagaimanapun, dalam episode Ramadan yang datang setiap tahunnya, masa ramadan kanak-kanak tetaplah yang teramat berkesan untuk dilupakan. 

Senin, 15 Juni 2015

Teman Nongkrong Yang Asik

Interaksi dengan sesama manusia, suka atau tidak, adalah kebutuhan. Manusia tetaplah membutuhkan manusia lain, sekalipun ia kaya raya, sukses besar, ataupun melarat. Dan bentuk interaksi paling sederhana adalah saling berbicara, atau mengobrol. Mengobrol tentu tidak sekadar mengobrol, karena biasanya dilakukan sembari menyantap kudapan, menyeruput kopi, menyesap teh, merokok atau malah menenggak bir dingin. Apapun hidangannya, di manapun tempatnya, kegiatan seperti ini lazim disebut nongkrong.

Kecuali anda seorang antisosial, maka anda pasti pernah nongkrong, entah di warung kopi dekat rumah atau kafe sejuk dengan ambience yang tidak malu-maluin untuk difoto. Nongkrong ini, sayangnya bersifat eksklusif. Anda tentu tidak mau membuang-buang waktu untuk nongkrong bersama orang-orang yang tidak anda inginkan, bukan? Dan karena nongkrong identik dengan mengobrol, maka teman nongkrong adalah teman yang enak diajak mengobrol. Seperti apa orang itu? Saya sih punya kriteria sendiri.

Wawasan Luas
Sebuah ide besar kadang datang dari kegiatan sederhana seperti ini. Untuk mendapatkan ide tersebut, tidak jarang bahwa teman nongkrong yang asik ini adalah sosok yang berwawasan luas, atau setidaknya mahir di satu bidang. Dengan wawasan luas inilah, ia dapat memberikan pengetahuan yang tidak nanggung sehingga bisa mencerahkan kita yang hanya mendengar. 

Tapi, bukan berarti juga saya senang dengan seorang Mr. Know It All Wanna Be. Seseorang yang selalu terlihat ingin menonjol dalam setiap percakapan, selalu ingin dibilang paling tahu segalanya. Ketika anda berbicara musik jazz, ia langsung nimbrung seolah paling paham, begitu pula ketika anda beralih ke topik sejarah. Orang ini selalu sibuk menyandingkan pengetahuannya dengan lawan bicara. 

Anda tidak perlu berusaha keras bersikap seperti itu jika anda bukan seorang polymath seperti halnya Leonardo Da Vinci, Galileo Galilei, Confucius, Benjamin Franklin ataupun Bruce Dickinson.

Tidak Arogan
Seorang yang arogan bisa saja sebegitu membanggakan profesinya, seakan profesi lain tiada arti dan tanpa keahlian profesionalnya, maka tatanan masyarakat akan runtuh. Orang seperti ini menggunakan keahlian profesionalnya ataupun status pergaulannya sebagai standar untuk menilai orang lain.

Polisi arogan: “Elo semua gak bakal hidup aman kalo gak ada polisi kaya gue!”
Dokter arogan: “Kalo gak ada dokter kaya gue, siapa yang bakal ngobatin penyakit lo?”
Ekonom arogan: "Kalo bukan karena penelitian-penelitian gue, ekonomi bangsa ini bakal runtuh!"
Editor arogan: "Gak nyangka direktur perusahaan sekaliber dia masih gagap EYD saat menulis."
Anak mobil arogan: "Penampilannya memang keren, tapi lihat dong mobilnya, dekil dan gak terawat."

Memiliki keahlian tinggi dan pencapaian eksepsional di bidang yang digeluti memang membanggakan, tapi cobalah untuk sadar bahwa setiap orang memang terlahir memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap orang juga telah memilih bidang keahliannya sendiri dan tidak mungkin untuk menjadi sempurna di semua bidang.

Dan jangan lupa, bagaimanapun anda merasa hebat, sesungguhnya anda tidak sehebat itu, kokNo matter how good you are, there are always someone better.

Berpikiran Terbuka
Hanya karena seseorang tidak pernah selingkuh (mungkin karena gak laku), bukan berarti dia berhak memberi label buruk kepada temannya yang berselingkuh karena terus menerus digoda teman perempuannya. Juga hanya karena seseorang memiliki pandangan politik berbeda, bukan berarti kita harus memaksakan pandangan politik kita.

Seseorang punya jalan cerita dan lika-liku hidup masing-masing yang menyebabkannya memilih suatu jalan, dan kita sama sekali tidak berhak menghakiminya karena cerita hidup seseorang memang berbeda-beda. Manusia memang terlalu terbiasa untuk melihat segala sesuatu dari luarnya saja, padahal apa yang dia lihat sama sekali tidak merepresentasikan yang terjadi. 

Lagipula, siapalah kita ini sampai merasa berhak untuk menilai hidup orang lain? 

Sikap Positif
Sangat menyenangkan nongkrong bersama orang-orang yang positif. Mereka tidak suka mengeluh, mereka memandang hidup dengan lebih optimis. Oke, sesekali mengeluh tentu tidak mengapa, tapi mbok ya jangan setiap nongkrong obrolannya keluhan melulu. Mengeluhkan bos yang gak cocok dengan kita, gaji yang kurang, istri yang galak, mertua yang bawel, anak yang bandel, perut yang menggendut, mobil yang butut, sampai rumah yang sempit. Tidak jarang, orang seperti ini sering membicarakan betapa enaknya hidup orang lain, hingga lupa mensyukuri apa yang sudah didapat. Rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.

Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalah hingga anda sendiri yang bergerak untuk melakukan sesuatu. 

Dan ingatlah, betapapun anda menganggap hidup orang lain lebih baik, banyak orang tidak beruntung di luar sana yang menginginkan hidup seperti yang anda punya.

Tidak Banyak Bergosip
Bergosip, bukan hanya kerjaan wanita. Banyak juga pria yang gemar bergosip. Awalnya hanya ngomongin orang secara pekerjaan, lama kelamaan menjadi personal. Lama kelamaan sinis. Akhirnya, di matanya, segala sesuatu tentang orang yang digosipin itu menjadi jelek, dan dia ingin orang lain berpendapat sama. Memang bergosip kadang menyenangkan, tapi tidak lebih untuk lucu-lucuan belaka. Kalau sudah sampai tahap selalu menjelek-jelekkan, apalagi menghina dan menjatuhkan kredibilitas, tentu saja keterlaluan.

Small people talk about other people. Kita tidak akan terlihat baik dengan cara menjelekkan orang lain.

Rendah Hati
"It's hard to be humble... When we perfect in every way," begitulah kata orang, menggambarkan betapa sulitnya bersikap rendah hati. Terlebih pada era sosial media, di mana anda akan terbiasa memberitakan kepada dunia tentang apa yang anda lakukan, di restoran mana anda makan malam, di kafe mana anda ngopi, di hotel mana anda menginap, di kota mana anda berlibur, mobil apa yang anda kendarai, begitu nyamannya rumah besar anda, betapa pintarnya si kecil, juga seberapa kerennya koleksi batu akik anda.

Memiliki semua itu memang menyenangkan, tapi tentu saja anda tidak perlu memberitahu semua orang. Memperlihatkan satu-dua koleksi barang mungkin akan terlihat wajar sebatas aktualisasi diri, tapi perlukah anda memamerkan setiap jengkal isi rumah, semua kegiatan dan kumpulan foto tentang hebatnya si buah hati?

Itu tentang bersikap terhadap diri sendiri, lalu bagaimana bersikap terhadap orang lain? Jika seseorang sedang berbicara tentang pengalamannya, tanggapilah dengan positif. Misalnya si A sedang bercerita pengalaman liburannya ke Singapura, tidak perlu kita menyombongkan diri bercerita pengalaman liburan kita ke Paris. Walaupun kita memang pernah ke Paris, tidak perlu bercerita secara sukarela kecuali ketika orang lain bertanya.

Atau, jika teman kita bercerita tentang anaknya yang sudah bisa sholat, tidak perlu membandingkan dengan anak anda, sekalipun anak anda sudah hapal Al Quran.

Kita tidak perlu menunjukkan superioritas atas orang lain hanya untuk dibilang hebat. 

Selera Humor Yang Baik
Pertemanan tanpa cela-celaan tentu saja hambar. Begitu pula acara nongkrong tanpa menertawakan teman sendiri atau diri sendiri, tentu saja akan terlalu serius seperti halnya wawancara kerja atau rapat direksi. Alangkah menyenangkannya kita bertemu teman yang masih bisa diajak bercanda dan sedikit bersenda gurau, sekalipun teman kita itu sudah memiliki jabatan dan kedudukan yang tinggi.

Kita tidak perlu terlalu menjaga wibawa seperti ketika kita berada di kantor saat sedang nongkrong santai bersama teman. Kita juga tidak bisa berlaku seperti direktur ketika kita berada di depan anak-anak, karena anak-anak kita hanya ingin bersama sosok seorang ayah, bukan sosok direktur.

Karena hidup memang soal berakting dan menempatkan diri. 

Tidak Mendewakan Uang dan Tidak Pelit
Tujuan utama nongkrong adalah bertemu dan bersilaturahmi dengan teman, bukan semata mencari tambahan penghasilan. Menjadi sosok matrealistis di zaman sekarang memang tidak salah karena semua memang butuh uang, tapi mendasari segala tindakan dengan uang juga tidak baik.

"Mau minta tolong sama gue? Wani piro?
"Gue salut sama si A, biar orangnya culas, tapi uangnya banyak."

Orang seperti ini jelas akan melakukan sesuatu dengan mengharap imbalan, dan menilai seseorang dari banyaknya uang yang dimiliki. Cenderung menghalalkan segala cara demi uang. Peduli apa soal moral.

Kalo mau cepet kaya, ya gak usah nongkrong lah, sering-sering aja nonton video motivasi hadiah dari buku how to be rich for dummies yang elo pinjam dari teman. 

Kan nongkrong juga butuh duit, masak sih minta ditraktir melulu? Irit atau pelit?

Tidak Keberatan Berbicara Hal Remeh Temeh
Kadang kita perlu membicarakan hal-hal yang lebih ringan dan menyenangkan. Kita yang sudah sehari-hari bertarung dengan deadline dan target, tentu saja malas dong jika ter(di)paksa terus menerus mendengarkan obrolan berbobot macam politik, hukum ataupun ekonomi ketika sedang bersantai. 

Why so serious?