Senin, 09 Maret 2015

My Nice Boss

Ini adalah cerita fiksi tentang seorang pemuda pekerja kantoran, sebut saja dia Si Gondrong. Rambutnya memang tidak gondrong lagi, karena kantor jelas tidak mengizinkannya. Tapi karena ia memanjangkan rambutnya semasa kuliah, nama ‘Gondrong’ pun sudah melekat, sekalipun ia tidak lagi gondrong.

Dengan cukuran rapi dan klimis, Gondrong kini menikmati “meja mie ayam” miliknya. Disebut meja mie ayam, karena memang tidak ada sekat seperti kubikal layaknya pekerja lain. Sebagai auditor, ia lebih banyak bekerja di kantor klien dan amat jarang di kantor sendiri. Untuk itulah, kantor hanya menyediakan meja besar dengan banyak kursi untuk para junior auditor seperti dirinya. Tidak ada tempat duduk dan nomor ekstension yang tetap, karena siapa yang datang duluan, dialah yang berhak menduduki tempatnya.

Gondrong memiliki senior-senior yang dapat dikategorikan galak dan demanding. Mbak Martina misalnya, dengan pengalamannya yang sudah lima tahun, ia jelas sudah tahu seluk beluk pembuatan laporan untuk klien-kliennya. Ketika berurusan dengan anak buahnya, ia bisa bersikap bengis seperti seorang sosiopat yang tidak memiliki empati. Tidak peduli anak buahnya sedang sakit, ada urusan keluarga, tidak peduli siang atau malam, awal pekan atau akhir pekan, mereka harus siap sedia jika dibutuhkan.

Gondrong tidak pernah sampai membawa segala tindakan senior-seniornya ke hati. Ya, mungkin karena dia cowok juga. Dia sadar bahwa senior-senior itu menjadi sedemikian demanding karena mereka pun dituntut hal yang sama oleh para Manager-nya. Dan para manager juga dituntut hal yang sama pula oleh para Partner. Dan seterusnya. Sebagai penghuni terbawah dalam ‘rantai makanan’, Gondrong pun merasa tidak ada gunanya jika ia melawan.

Kita semua hanya memainkan peran, begitu pikirnya. Di balik tampang-tampang lelah dan tertekan semua yang bekerja di gedung ini, mungkin saja mereka sama sepertinya yang juga senang bermain. Senang menghabiskan akhir pekan sambil nongkrong bersama teman-teman seperti yang kadang dilakukannya, senang berfoto selfie dan ingin dipuji seperti kakak perempuannya, senang mengoleksi batu akik seperti pamannya, dan lain-lain. Pastilah ada aspek manusia yang sebenarnya tersembunyi di balik topeng-topeng itu.

Walaupun begitu, Gondrong tetaplah ingin melakukan sesuatu yang berbeda. Ketika ia dipromosi menjadi senior, ia bertekad untuk menjadi sosok senior yang lebih berempati, lebih bersahabat. Pokoknya lebih baik ketimbang senior-senior yang selama ini memperlakukannya.

Promosi
Waktu promosi pun tiba. Gondrong telah menjadi seorang auditor senior, posisi yang menuntutnya untuk bertanggung jawab atas segala kegiatan fieldwork yang dilakukan timnya. Mewawancarai klien, meminta dan mengumpulkan data, hingga membuat draft report. Posisi yang juga membuatnya memiliki anak buah.

Gondrong membuktikan janjinya. Ia adalah sosok senior kesayangan para junior. Sosok senior yang baik, berperasaan, berempati dan malah tidak segan untuk melakukan porsi pekerjaan junior jika diperlukan. Para junior pun berebut untuk menjadi anggota timnya. Ia juga tidak pelit dan tidak hitungan soal uang. Traktir-mentraktir, mengantar dan menjemput anak buahnya bukanlah hal luar biasa baginya.

Saya berhasil, begitu pikirnya. Pekerjaan beres, anggota tim menyukainya walaupun ia jauh lebih capek karena harus sering meng-cover pekerjaan anak-anak buahnya. Karir Gondrong pun terbilang cepat. Dalam waktu dua tahun saja, ia sudah dipromosi ke level Assistant Manager, atau satu level lagi di bawah Manager, posisi middle ladder yang tentu saja menjadi impian banyak orang.

Gondrong merasa terlalu lelah bekerja sebagai auditor. Hanya beberapa bulan sebelum promosi, ia mengundurkan diri untuk bergabung dengan perusahaan lain di luar industri auditor. Ia merasa sudah cukup, dan anak-anak buahnya juga telah ia persiapkan dengan baik. Begitu pikirnya.

Tapi ternyata ia tidak sepenuhnya benar. Beberapa bulan setelah kepindahannya, terjadi sedikit kekacauan dalam pengerjaan laporan klien-klien yang ia pegang dulu. Anak-anak buah yang dipikirnya sudah mampu bekerja secara mandiri, ternyata tidak mampu menyelesaikan laporan sesuai tenggat waktu yang disepakati. Pak Joko, atasannya dulu, menghubunginya.

“Ndrong, saya cuma mau kasih tau ke kamu kalo pekerjaan salah satu klien kamu yang dulu itu, kini bermasalah. Tim kami tidak mampu menyelesaikan laporan dengan tepat waktu.”

“Waduh, saya turut sedih nih, Pak. Kira-kira, kenapa ya bisa begitu? Padahal sebelumnya tidak ada masalah.”

“Kamu tahu? Di situlah sebetulnya masalahnya. Kamu terbiasa mengerjakannya sendiri dan terlalu melonggarkan anak-anak buah kamu. Isu-isu yang besar juga kamu tangani dan pecahkan sendiri tanpa melibatkan tim. Mereka memang senang bekerja dengan atasan seperti kamu, tapi ternyata setelah kamu pergi, mereka malah kesulitan karena ternyata tidak mendapat bekal yang cukup dari kamu.”

Gondrong pun terkejut sekaligus terpana mendengar perkataan itu. Ia diam saja, tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Segala ilmu yang telah ia pelajari dan pengalaman yang ia dapat ternyata masih belum apa-apa. Baru kali ini ia merasa telah melakukan kesalahan perhitungan. Miscalculation perihal anak buah yang ternyata berdampak sama besarnya dengan miscalculation dalam hal angka.

“Eh tapi jangan salah sangka, Ndong. Saya bukannya mau menyalahkan kamu. Gaya kepemimpinan kan memang macam-macam. Ada yang otoriter, ada juga yang seperti kamu. Saya tidak mempermasalahkan kesulitan ini, toh ini bisa terjadi pada siapa saja. Seiring waktu, mantan anak-anak buahmu akan belajar dari pengalaman mereka.”

“Toh dari situ kamu bisa belajar, dong. Besi yang ditempa dengan keras akan menghasilkan pedang yang bagus dan tajam, tapi jika menempanya kurang keras, ya gak akan jadi apa-apa. Kamu bisa sebagus ini karena dulu kamu diajari oleh senior-senior yang galak, mungkin ini yang kamu belum sadari. Nah sekarang kan kamu sudah bekerja di tempat yang baru dan punya anak buah, maka tempalah anak-anak buah kamu dengan tepat, dan sesuaikan dengan ekspektasi kamu terhadap mereka. Kamu sudah nonton film Whiplash? Kira-kira begitulah dunia yang kita hadapi. Seorang Terence Flecher pun memiliki keyakinan bahwa the next Charlie Parker won’t get discouraged. Untuk membentuk karakter yang hebat, tentu dibutuhkan tempaan yang juga kuat, walaupun boleh jadi tidak semua orang bisa memahaminya.”

Gondrong terdiam cukup lama, lalu ia kemudian merespon “Benar juga sih kalau dipikir-pikir, Pak. Mereka yang dulunya menjadi anak buah saya sampai sekarang masih suka bercerita kepada saya. Mereka menceritakan betapa enaknya bekerja di bawah tim yang saya pimpin, berbeda dengan yang sekarang. Tadinya saya pikir, itu adalah sebuah tanda keberhasilan, tapi ternyata saya salah ya.. Tapi, Pak, saya punya satu pertanyaan lagi.. Bagaimana jika anak-anak buah saya malah berbalik membenci saya akibat sikap dan tuntutan yang saya berikan. Dan bukannya malah pekerjaan saya selesai, malahan jadi berantakan karena mereka tidak mau mengerjakan?”

“Memang tidak ada jalan yang mudah. Jika kamu ingin men-develop orang lain, hanya itu yang bisa dilakukan. Kecuali jika kamu hanya ingin memelihara para deadwood dan rela mendengarkan keluh kesah mereka terhadap segala sesuatu yang bahkan tidak perlu dikeluhkan. Dan bukannya saya memintamu untuk berhenti jadi orang baik, tapi kamu juga perlu memikirkan bahwa segala kelonggaran dan pemakluman yang telah kamu berikan kepada anak-anak buah kamu, akan berimbas pula pada atasan-atasan mereka yang menggantikan kamu. Mereka akan terus membanding-bandingkannya dengan kamu. Tentu saja hal ini akan membebani mereka. Saya bukannya menyarankan kamu untuk berubah dengan drastis, karena itu pasti sulit. Kamu hanya perlu untuk sesekali menjadi lebih keras, dan tentunya pada tempatnya. Tidak perlu memaki, misalnya. Cukup meninggikan sedikit nada suara dan memasang mimik wajah yang lebih serius dari biasanya, pasti mereka akan mengerti. Karena pada dasarnya, bawahan itu akan menuruti atasan, kok.”

“Tapi pak.. Benar-benar pertanyaan terakhir nih.. Kan memang tidak semua orang bisa di-develop. Dan tidak semua orang juga yang mau di-develop, bukan?”

“Ya, kamu benar. Tidak semua orang memiliki ambisi, sebagian hanya ingin ikut arus dan selamat. Itu juga tidak sepenuhnya salah. Hidup memang tidak sekadar di kantor, bukan?”

“Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas waktunya. Terima kasih atas percakapan telepon ini.”

“Sama-sama. Oke, saya mau meeting dulu nih. Sampai ketemu lagi ya!”

Jumat, 06 Maret 2015

Terbulity dan Martabucks

Lima sahabat duduk dalam sebuah rumah sederhana di kota Surabaya. Mereka memiliki kesamaan dalam selera kuliner, yaitu sama-sama penggemar martabak. Untuk mewadahi hobi ini, mereka berembuk untuk membuat gerai martabak. Ini adalah pembicaraan yang sudah puluhan kali dilakukan. Setelah sedari dulu mereka hanya berkumpul untuk bermain atau bersenda gurau, kini mereka berniat melakukan sesuatu yang lebih serius. Bukan tanpa resiko, karena jangankan pertemanan, ikatan keluarga saja bisa bubar jalan jika terjadi persengketaan dalam hal duit. Tapi mereka sudah berkomitmen, apapun yang terjadi nantinya, persahabatan akan tetap dijaga.

Semuanya telah disiapkan, tinggal eksekusi.

Mereka langsung membuka dua toko, di Surabaya sebagai induk, dan di Jakarta sebagai cabang. Toko ini diberi nama Terbulity, alias Terang bulan dengan quality, atau kwaliteit, atau kualitas. Dua dari mereka hijrah ke Jakarta untuk membuka gerai di ibukota. Sementara tiga lainnya mengelola cabang Surabaya.

Bisnis berjalan lancar. Tidak bombastis memang, tapi tidak juga terlalu sepi. Martabak yang mereka jual memang menggunakan bahan-bahan dengan mutu terbaik terbaik dan tentu saja berukuran besar, menjadikan pengalaman tersendiri dalam memakannya. 

Suatu hari di cabang Jakarta datanglah seorang pebisnis, sebut saja dia Pak Teddy. Pak Teddy ini terkesan dengan rasa martabak mereka.

Pak Teddy lalu mengutarakan keinginan untuk jadi pelanggan tetap dan berkomitmen membeli dalam jumlah besar untuk penyediaan snack di kantornya. Tapi dia juga meminta Terbulity membuat varian baru dan ukuran-ukuran yang lebih kecil. 

Sementara itu, gerai Terbulity di Surabaya berjalan seperti biasa. Dari usaha ini, mereka menjalin keakraban dengan pelanggan-pelanggan. Ada lima orang pelanggan tetap ini. Mereka datang dari berbagai profesi. Ada pegawai swasta, pemilik toko kelontong, penerjemah, pemandu wisata, hingga pegawai negeri.

Lima sekawan ini seketika menjadi akrab satu sama lain saking seringnya mereka membeli martabak nikmat Terbulity. Mereka terkesan dengan prinsip gerai martabak baru ini yang terbuat dari bahan-bahan berkualitas berukuran besar namun harganya lebih murah. Mereka tipe orang yang amat memerhatikan dua hal ini. Karena rasa adalah segalanya dan size does matter bigger is better.

Lama kelamaan, lima sekawan ini sudah diajarkan cara mengaduk, membentuk dan membalik-balik adonan di kuali, memotong dengan rapi, hingga mengemas dengan menarik. Bahkan resep dalam adonan pun mereka kini sudah tahu. Dengan begitu, terang saja mereka merasa sudah ikut memiliki toko. Lima sekawan ini pun mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan, strategi pemasaran, dan lain-lain.

Ketika toko Jakarta menjual martabak dengan ukuran lebih kecil dan rasa yang lebih variatif -yang banyak menghasilkan laba- mereka ikut bersuara. Mereka tidak setuju karena toko ini jadi berubah haluan sebagai pencari untung semata.

Perbedaan pendapat mewarnai jalannya toko Surabaya dan Jakarta. Toko Jakarta pun meradang, merasa dilangkahi dan tidak dianggap. Terlebih, memasukkan 'orang luar' tanpa persetujuan adalah sebuah bentuk pelanggaran komitmen.

Pada akhirnya, mereka pecah kongsi karena tidak kunjung menemukan pemecahan masalah. Gerai Jakarta pun menjual martabak dengan varian lebih banyak, sementara gerai Surabaya tetap menjual martabak berkualitas tinggi dan berukuran besar seperti sebelumnya. Mereka yang di Jakarta kemudian mengganti nama gerai Terbulity mereka dengan nama yang lebih mengena untuk orang-orang ibukta: Martabucks.


Sekarang, baik Terbulity maupun Martabucks berjalan sendiri-sendiri.