Senin, 25 Agustus 2014

Setelah Elvis dan Beatles, Lalu Sekarang Apa?

Semalam, saya yang sudah cukup mengantuk menyempatkan diri untuk menonton sebuah talkshow di sebuah stasiun tv. Kebetulan, para bintang tamu yang hadir yaitu para vokalis band dari era 90an, menarik perhatian saya untuk menonton.

Pembicaraan antara host dengan narasumber awalnya berlangsung agak text book. Tapi lama kelamaan, para narasumber dengan pengetahuannya yang mumpuni di bidang musik memberi saya pengetahuan baru yang cukup menggelitik. Menggelitik untuk pertanyaan sesuai dengan judul entri tulisan ini.

Sebelum era sekarang, dunia musik seolah terbagi menjadi dua periode besar.Periode pertama adalah periode pertunjukan di mana gedung pertunjukan musik kerap dipenuhi penonton yang ingin menyaksikan sebuah konser musik. Pada masa itu, konser musik sudah berpadu dengan dunia pertunjukan sehingga hal-hal teknis semacam lighting, backing vocal, koreo dan sejenisnya juga sudah digarap –layaknya sebuah pertunjukan spektakuler.

Namun pertunjukan itu menampilkan seorang artis yang memainkan lagu orang lain, bukan lagunya sendiri. Elvis Presley yang notabene menjadi artis paling terkenal saat itu tidaklah memainkan lagunya sendiri, melainkan lagu yang orang lain tulis untuknya. Elvis, bagaimanapun tetaplah seorang musisi besar.Ia bernyanyi dan bermain gitar sama bagusnya, dan tentunya tampil di panggung dengan penuh kharisma. Ia adalah ikon saat itu. Elvis menandai sebuah era.

Setelah era Elvis berlalu, muncullah sekelompok pemuda dari Liverpool, Inggris yang kemudian membentuk sebuah band bernama The Beatles. Bedanya dengan Elvis, mereka menuliskan lagunya sendiri. Lirik, melodi, harmoni, ekspresi, hingga pembagian vokal juga mereka garap.Alih-alih meminta bantuan sekelompok penyanyi untuk menjadi backing vocal, mereka –seperti telah disinggung- membagi-bagi part vokal dalam lagu-lagu mereka. Jadilah sebuah band yang menampilkan lagu mereka sendiri, lalu menggabungkannya dengan unsur pertunjukan.

Apa yang dilakukan oleh The Beatles saat itu ternyata disukai oleh publik. Hal ini lantas menjadi sebuah revolusi di industri musik. The Beatles kemudian seperti kita ketahui memberi pengaruh kepada nyaris seluruh musisi pop setelahnya. Nada, notasi dan pola dari lagu-lagu pop maupun rock yang kita dengar sekarang bisa dibilang terinsipirasi dari Paul McCartney dkk.

Kemudian, band-band maupun penyanyi-penyanyi setelah Beatles yang mengembangkan apa yang dimulai. Pada era 70an, para musisi dengan bakat-bakat luar biasa kemudian menciptakan tehnik-tehnik baru sesuai dengan instrumen yang mereka kuasai, lalu menciptakan standar bahwa seperti inilah musik harus digarap. Lagu demi lagu diproduksi dengan amat serius, penuh cita rasa dan ekspresi yang maksimal.

Tehnik bernyanyi, mencipta lagu, kostum dan lainnya kemudian semakin dieksplorasi.Skill dan taste dari para musisi menjadikan lagu-lagu semakin variatif. Musik kemudian berkembang di bawah naungan industri kapitalis yang makin menyebarkan pengaruh ini ke seluruh dunia. Dari sekadar kegiatan bernyanyi di kamar mandi hingga menjadi industri yang amat masif. Musik pun bukan hanya sekadar trend, pertunjukan atau ekspresi semata, melainkan sudah menjadi gaya hidup dan budaya.

Kini adalah masa di mana penikmat musik (dan musisi?) seperti lelah untuk menggarap musik dengan level keseriusan dan kesempurnaan seperti generasi 70an atau 80an. Industri musik pun seperti turut mengamini bahwa pasar telah jenuh dengan musik-musik yang ‘berat’. Musik-musik yang lebih sederhana tidak masalah selama lirik yang dinyanyikan mudah diingat dan dipahami, juga para artisnya berpenampilan menarik.

Seakan sejalan dengan budaya instan dan serba cepat, kebanyakan orang juga tidak ambil pusing dengan kualitas lagu. (Mungkin) mereka kini mendengarkan lagu di tengah aktivitas yang mereka lakukan, jadi ya asalkan lagu-lagu tersebut membangkitkan mood untuk bekerja, ya tidak jadi soal. Lagu-lagu maupun musisi-musisi tersebut begitu mudahnya timbul semudah mereka tenggelam.

Dengan segala fenomena ini, industri musik kemudian memasuki era baru yang somehow ya seperti yang kita dengar selama ini.

Minggu, 03 Agustus 2014

Jadi, Metallica atau Megadeth?

Membanding-bandingkan adalah salah satu pekerjaan favorit manusia. Apple dengan Samsung (terlepas dengan adanya istilah apple to apple), Maradona dengan Pele (terlepas dari mereka berdua berbeda generasi), Jupe dengan DePe (terlepas dari.. ah sudahlah) dan lainnya. Alasan pun dicari-cari. Perselisihan sepele pun diangkat habis-habisan seolah kedua subjek memang seperti air dengan minyak yang tidak pernah bisa bersatu. Makin ribut, makin asik.

Namun di antara pembandingan-pembandingan yang ada, saya lebih suka melihat bagaimana orang-orang membandingkan dua band metal ternama, Metallica dan Megadeth (yang bukan penikmat musik mereka feel free to navigate away) yang seakan gak ada habisnya. Kebetulan, dua band ini hidup di era yang sama, juga menghasilkan karya-karya dengan produktivitas dan kadar kesuksesan finansial yang kurang lebih sama pula terlepas dari pasang surut yang mereka alami.

Saya tidak ingin menjadi orang ke-1233556789876543 yang turut membandingkan mereka. Menurut saya karena faktor seorang Dave Mustaine-lah kedua band ini terus dibanding-bandingkan. Seperti kita tahu, Mustaine yang notabene pendiri Megadeth adalah mantan gitaris Metallica yang pemecatannya diwarnai kontroversi. Kini Megadeth (Mustaine) dan Metallica nampak sudah akur, atau mungkin saja merasa sudah terlalu tua untuk terus berantem dan ngambek-ngambekan.

Dua band ini adalah alasan mengapa saya bisa mengapresiasi musik metal yang bising, berisik, brutal dan (kalau kata seorang teman) biadab. Cerita perkenalan saya dengan genre inipun cukup unik. Saya yang hingga berusia 15 tahun tidak pernah dengerin musik metal tiba-tiba merasakan adanya sensasi aneh saat pertama kali mendengarkan nomor ballad Metallica semacam The Unforgiven dan lagu-lagu metal nge-rock yang terdapat di album metal sejuta umat, Black Album. Dari sinilah lalu berlanjut ke pencarian pada Megadeth di mana saya kemudian menemukan lagu Trust pada album Crypticwritings.

Dua lagu tadi menjadi gerbang perkenalan saya dengan album-album mereka yang lain, meskipun hingga kini saya masih tidak hapal sebagian besar lagu-lagu mereka. Yah, mungkin saya hanya hapal 30-50% lagu-lagu mereka, itupun yang memang sering dibawakan saat mereka konser. Saya bukanlah penggemar sejati musik metal jika mengacu pada kuantitas menyimak album dari dua band ini, terlebih saya tidak mendengarkan band metal lain selain mereka.

Anyway, Metallica dan Megadeth mungkin benar bising, berisik, brutal dan mungkin saja biadab. Tapi saya telah mencapai tahap untuk bisa menilai bahwa kedua band ini memainkan musik yang berkelas, susah ditiru, dan tentu saja susah untuk diminati oleh para penggila musik easy listening. “Mainin lagu yang santai aja-lah, jangan yang bikin sakit kuping,” demikian kutipan yang saya ingat dari seorang vokalis band pop dalam wawancaranya di sebuah majalah remaja seolah menganggap musik metal adalah musik yang tidak enak didengar.

Musik metal juga kerap digenerelisasi sebagai pembawa pengaruh buruk. Mereka dikatakan mengajarkan kekerasan, satanis dan anti ketuhanan. Lirik-liriknya juga kerap bertema ajakan bunuh diri maupun pemujaan terhadap hal-hal yang dianggap tidak pantas. Musik yang enggak banget.

Namun tidak sedikit pula pembelaan yang pernah saya dengar.

“Musik metal buat sebagian orang mungkin hanya musik yang berisik, tapi buat saya musik metal adalah musik yang paling pol dalam penyaluran ekspresi,” ujar salah satu gitaris cewek metal yang saya lupa namanya.

“Untuk mengerti musik metal memang diperlukan intelegensi. Kecepatan dan kerumitan memang gak semua orang bisa ngikutin,” tutur salah seorang random person yang saya temui pada konser Megadeth di Jakarta tahun 2007 lalu.

Metallica dan Megadeth adalah band cadas dengan intelegensi tinggi. Tidak sekadar memainkan musik cepat dan teriak-teriak gak jelas, sebaliknya mereka mengusung standar tinggi dalam penggarapan album maupun konser. Tidak ada lip-sync performance seperti artis-artis acara musik pagi dengan penjoget cuci-jemur, tidak ada chord dan rhythm section sederhana dan ketukan konstan menjemukan.

Bagaimana dengan sisi melodi? Well, dua band ini adalah band cadas yang mungkin paling melodik, soulful dan memiliki ciri khas. Notasi yang diambil Metallica mungkin banyak didominasi kord E mayor dengan variasi di sekitarnya, ataupun A minor. Nuansa gelap, getir dan artikulasi yang jelas dan berat menjadi ciri khas James Hetfield, sang frontman Metallica. Sementara Dave Mustaine yang menjadi leader sekaligus songwriter Megadeth memiliki warna vokal yang lebih crunchy dengan artikulasi yang kadang sulit diinterpretasi. Lagu-lagu yang dihasilkan juga sebetulnya berbeda, meskipun banyak yang bilang mirip.

Untuk urusan harmonisasi, Megadeth menurut saya masih lebih unggul. Marty Friedman, Dave Ellefson dan Nick Menza (Friedman dan Menza bersama dua Dave adalah anggota dari Classic Megadeth) adalah pemegang instrumen yang Anda inginkan dalam sebuah band. Presisi, kecepatan, dan harmoni yang mereka hasilkan membuat musik Megadeth terdengar serumit musik jazz namun dibungkus kebrutalan musik metal. Ini pula yang menyimpulkan bahwa secara line-up personel, Megadeth memang masih unggul.

Namun musik bukanlah sekadar skill. Seberapapun seringnya Hammett ‘terpeleset’ memainkan solo gitar pada nomor-nomor ballad (sehingga terdengar amat kentara) dan seberapapun Lars Ulrich yang memainkan drum dengan ketukan semaunya, tidaklah menjadikan Metallica kalah kualitas dari Megadeth.

Karakter vokal Hetfield masih sulit ditandingi vokalis band manapun. Metallica juga menelurkan Black Album, album yang bukan hanya super sukses secara komersial, tapi juga membantu memperkenalkan genre Metal kepada penggemar musik genre lain di seluruh dunia. Banyak penggemar metal (termasuk saya) yang kemudian turut mendengarkan Megadeth dan band metal lain setelah mendengarkan Black Album.

Inilah yang menjadikan Metallica seakan lebih terdengar berkarakter dan berpengaruh, terlepas dari nyaris sempurnanya Megadeth dalam bermusik. Vokal Hetfield, notasi-notasi yang mereka mainkan dan keberanian mereka untuk memodifikasi musik (walaupun banyak berkompromi dan menanggalkan akar), namun membawa mereka pada level kesuksesan komersial yang berada sedikit di atas Megadeth.


So, who wins? I still don’t know.