Minggu, 09 Juni 2013

Indonesia Bebas Bubble Property?

Perumahan atau tempat tinggal adalah kebutuhan pokok, yang sayangnya makin hari makin mahal. Rasanya usaha kita sudah keras, kerja lembur sudah dilakukan, penghasilan juga terus meningkat. Namun, peningkatan harga rumah seperti tidak terkendali belakangan ini, sehingga seberapapun tingginya penghasilan kita, laju kenaikan harga properti sulit dikejar.

Saya pernah membaca di sebuah artikel. Sepasang suami istri, dua-duanya bekerja, memiliki penghasilan gabungan 7 juta rupiah per bulan. Mereka sudah 10 tahun menikah, dan belum bisa memiliki rumah sendiri. Dengan asumsi pengeluaran rumah tangga 3 juta per bulan, gaya hidup tidak hedon, tidak pernah eat for fun dan lain-lain, rumah masih belum bisa terbeli.

“Harga rumah untuk kelas menengah hingga menengah kebawah berkisar 200 hingga 700 juta. Uang muka minimal 50 juta plus administrasi dan lain-lain 20 juta. Saat ini, mencapai 70 juta saja sulit.” Begitu ucap mereka, juga terkait kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan kewajiban DP rumah menjadi minimal 30% khusus untuk rumah diatas tipe 70m persegi.

Terlalu picik dan kurang sensitif rasanya jika kita menghakimi orang itu dengan mengatakan “Salah sendiri kenapa gajinya cuma bisa segitu?” Padahal sebuah negara memang punya kewajiban untuk menyediakan perumahan yang layak bagi rakyatnya, ketimbang terus membela kepentingan pihak tertentu dalam hal ini.

Properti Untuk Investasi, atau Spekulasi
Dari dulu, investasi dalam bentuk properti selalu jadi primadona. Harga tanah dan bangunan yang selalu naik dan tidak pernah turun menjadi alasan banyak orang untuk berinvestasi disini, meski properti bukanlah liquid asset yang mudah dijual. Kisah orang tua yang membelikan rumah bagi anaknya yang masih kecil sudah banyak kita dengar, hal itu mereka lakukan untuk berjaga-jaga jika harga properti melangit dan anak mereka tidak mampu membelinya. Pendeknya, mereka melakukan hedging pada properti yang mereka beli sekarang.

Kini, investasi orang-orang makin beragam seiring banyaknya proyek pembangunan apartemen-apartemen di pusat kota. Apartemen-apartemen itu dibeli untuk kemudian dijual lagi, atau disewakan. Tidak untuk ditinggali. Para developer jelas senang dengan fenomena ini karena proyek mereka pasti untung besar, seperti diberitakan disini.

Para investor baik kelas berat maupun kelas teri ini jelas mengharapkan keuntungan, dan bukan tidak mungkin pembeli rumah mereka berikutnya akan membeli rumah itu dengan tujuan yang sama, yaitu dijual kembali. Harga yang meningkat juga tidak mereka pikirkan, akibatnya investasi berubah menjadi spekulasi. Aktivitas seperti inilah yang juga menjadi salah satu penyebab harga rumah yang kian melambung dan cenderung tidak realistis.

Dalam hal ini, developer tentu tidak ada beban karena meskipun terjadi kredit macet yang berakibat penyitaan, para developer ini telah lebih dulu mendapat dana dari bank saat membangun proyek. Akan terjadi krisis ekonomi jika bank tidak mampu menjual properti yang mereka sita karena harganya sudah terlalu tinggi dan tidak ada yang mampu membelinya karena jauh diatas harga sebenarnya.

Bubble Property di Indonesia?
Pada fenomena bubble property, terjadi kenaikan harga yang tak terkendali sehingga properti tidak mampu dibeli oleh masyarakat. Akibatnya, akan banyak kredit macet. Setelah itu, kemudian harga properti mengalami crash alias jatuh tiba-tiba yang mengakibatkan pihak-pihak seperti pengembang dan kreditor (bank) ikut terpukul. Dengan kata lain, perekonomian akan ikut hancur.

Bank dunia beberapa waktu lalu pernah mengemukakan kekhawatiran terkait ancaman bubble property di Indonesia. Mereka melihat pada dua faktor, yaitu pertama adalah kenaikan harga apartemen yang mencapai 45% per Desember 2012, yang juga diikuti oleh sektor perkantoran dan industri. Kedua, tingkat pertumbuhan kredit apartemen yang juga meningkat, sehingga mendorong kenaikan harga properti.

Saya bukanlah seorang ekonom, namun banyak pihak yang meyakini bahwa kekhawatiran Bank Dunia tidak beralasan. Mereka tidak melihat faktor solidnya ekonomi makro di Indonesia, juga rasio kredit properti dan kredit nasional yang masih dalam batas normal.

Peningkatan jumlah kelas menengah yang merupakan konsumen properti juga berpengaruh untuk mencegah terjadinya bubble property. Kelas menengah dengan kemampuan konsumsi dan investasi yang tinggi akan selalu menjamin stabilitas demand-supply sektor perumahan. Artinya selama properti masih banyak pembeli, keadaan masih aman.

Benarkah demikian?

Ironi dan paradoks akhirnya melanda hidup banyak orang. Banyak apartemen atau rumah kosong dimana pemiliknya berharap untuk mendapat untung dari penjualan atau persewaan, sementara di lain sisi banyak orang yang sulit memiliki rumah meski sudah bertahun-tahun mengumpulkan uang. Keadaan sekarang memang seperti mendukung yang kaya makin kaya, yang miskin makin susah.

Meski banyak pihak yang mengatakan bahwa membicarakan bubble property adalah sesuatu yang berlebihan, namun potensi kesana jelas ada. Boleh saja harga properti di Indonesia jauh lebih rendah dibanding Singapura maupun Hong Kong misalnya, namun perbandingan tadi menjadi sia-sia mengingat disparitas pendapatan perkapita Indonesia dengan kedua negara tersebut masih menganga.

Catat, pendapatan perkapita Indonesia 3 ribuan dollar AS, sementara Singapura 50 ribuan, alias nyaris 20 kali lipat dari Indonesia. Hal ini jelas berarti bahwa daya beli orang Indonesia masih jauh dibawah Singapura. Jangan sekadar melihat pada fenomena pertumbuhan kelas menengah semata, namun lihat pula banyak orang sudah termasuk dalam kategori kelas menengah yang masih kesulitan memiliki rumah, apalagi kelas bawah.

Akan makin sulit memperoleh rumah ketika para pengembang lebih memilih untuk mengerjakan proyek anjangsana alias proyek apartemen mewah berharga miliaran per unit, ketimbang menyediakan hunian murah seperti rumah susun untuk menjamin ketersediaan tempat tinggal bagi kalangan yang lebih membutuhkan.

Melihat fenomena ini, kekhawatiran Bank Dunia bukanlah omong kosong. Sesuatu harus dilakukan untuk mengendalikan harga properti dan merumuskan kebijakan disintensif pada praktek spekulasi di bidang properti.

Rabu, 05 Juni 2013

Fast & Furious 6, a movie review

Tanpa banyak bicara, Joe Taslim, aktor Indonesia yang namanya mencuat berkat peran apiknya di film The Raid akhirnya memasuki ranah Hollywood dengan turut membintangi film dengan profil tinggi, Fast & Furious. Bagi kita pemerhati dan penonton setia film, kehadiran Joe Taslim adalah motivasi ekstra untuk menonton film yang penuh dengan adegan mobil terbang ini, setidaknya agar kita terdengar update.

Joe Taslim ambil bagian dalam sebagian besar film, alias tidak muncul sebagai figuran. Ia memperlihatkan kemahiran bela diri yang tinggi, akting yang tidak kaku meski porsi dialog yang ia mainkan tidak sebanyak Vin Diesel atau Paul Walker, yang memang masih menjadi jagoan utama film ini.

F&F 6 sebenarnya tidak memberikan nuansa yang berbeda selain kehadiran seorang aktor Indonesia didalamnya. Setelah sekuel sebelumnya mereka mengacak-acak jalanan kota Rio De Janeiro, kini mereka mengambil latar kota sejuta CCTV, London. Mobil cepat, pertarungan tangan kosong dan senjata serta jagoan yang banyak tetaplah menjadi sesuatu yang dijual dari film ini.

Semakin lama, film ini seperti ingin membersihkan nama Dominic Toretto, yang semula selalu menjadi buronan polisi. Mereka menjadikan Toretto cs sebagai pemburu penjahat yang sesungguhnya bernama Owen Shaw, seorang mantan anggota tentara Amerika dengan spesialisasi kendaraan perang.

Tambahan drama, Letty, pacar dari Dom yang ‘sebelumnya’ mati, tiba-tiba muncul lagi dengan ingatan yang hilang dan berkomplot dengan Shaw. Ya, seperti yang sudah bisa ditebak, Letty kembali ke pelukan Dom. Absurd memang, karena Dom sudah memiliki pacar baru dari Brazil bernama Elena, seorang polisi dan juga seorang janda. Bagaimana sikap Elena selanjutnya hanya menambah keanehan cerita.

Family, La Famiglia, Keluarga. Itulah yang coba ditonjolkan oleh film ini, di luar adegan-adegan mobil cepat, mobil terbang, mobil meledak, mobil tergilas tank, cewek mobil dan mobil-mobil lainnya. Nilai keluarga yang diusung Dom memang unsur sentimental yang akan dengan mudah digali untuk mengaduk-aduk emosi dari penonton.

Drama kembali diletakkan dalam kematian. Ya, di tiap edisi film ini sepertinya selalu ada anggota yang mati. Seolah tercipta pola bahwa masing-masing anggota ‘keluarga’ ini akan mati satu persatu di setiap sekuelnya, dan hanya tinggal menyisakan Dom. Mungkin saja.

Melihat Jason Statham muncul di credit title, sudah jelas bahwa sekuel ketujuh film ini akan menghadirkan Statham sebagai villain. Menarik, karena selama ini kebanyakan Statham berperan sebagai jagoan. Tapi sebetulnya sekuel ketujuh ini adalah lanjutan dari sekuel ketiga. Coba aja tonton ulang sekuel ketiga yang judulnya Tokyo Drift ini.

Senin, 03 Juni 2013

John D. Rockefeller

Lain halnya dengan Andrew Carnegie, John D. Rockefeller adalah seorang American Builder yang seperti tidak memiliki batasan. Orang jaman sekarang menyebutnya kelompok orang dengan ambisi ‘sky-limit income’.

Rockefeller, seperti Carnegie, juga seorang American Builder yang membangun negeri ini melalui industri besar yang ia rintis.  Rockefeller juga bukanlah seseorang yang sudah kaya sejak lahir. Ayahnya hanya pedagang kecil. Seperti memang sudah hukum alam, kerja keras dan ambisi adalah sahabat dari kesuksesan. Dan kesuksesan adalah sahabat dari kekayaan. Dan, bagi banyak orang di dunia ini, kekayaan adalah sahabat kebahagiaan.

Rockefeller yang lahir tahun 1839 dikenal namanya sebagai juragan minyak terkaya sepanjang sejarah, bahkan jika dilihat lebih luas lagi, dialah manusia terkaya di dunia. Jika Bill Gates memiliki kekayaan sebanyak 60 miliar US Dollar, maka Rockefeller hanya memiliki 1,4 miliar US Dollar. Tapi, 1,4 miliar US Dollar pada era Rockefeller adalah setara dengan 300 miliar US Dollar, atau kurang lebih 5 kali lipat dari kekayaan Bill Gates sekarang.

Rockefeller sejak usia 16 tahun sudah bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah kantor di Cleveland. Kerja keras dan tidak memboroskan uang adalah karakter khas Rockefeller sejak kecil. Berkat hal tersebut, karirnya terus meningkat dan tentunya gajinya juga meningkat. Jiwa enterpreneur membuatnya tidak puas hanya sebagai pekerja. Ia ingin menjadi pemilik. Dari keinginan itulah segala pencariannya dimulai.

Minyak adalah komoditas yang paling banyak dicari dan diperebutkan orang. Banyak negara berperang karenanya, banyak orang mati karena menjadi korbannya. Dan Rockefeller adalah salah satu yang menjadi kaya raya karenanya. Memulai penambangan kecil-kecilannya di Cleveland yang ia namai dengan Excelsior Work, Rockefeller kemudian menemukan bahwa usahanya terhambat oleh biaya transportasi dan penyimpanan yang mahal. Saat itu, kereta api masih menjadi satu-satunya alat transportasi yang efisien untuk mendistribusi minyak. Untuk penyimpanannya, dibutuhkan banyak tong-tong besar yang juga berharga mahal.

Rockefeller dengan cepat menyadari masalah itu. Seperti para pengusaha sukses lainnya, ia berpikir untuk menguasai lini bisnisnya dari hulu ke hilir. Dari produksi hingga distribusi, termasuk melibas perusahaan kompetitor yang akan menyulitkannya. Ia kemudian merekrut Henry Flager, seseorang dengan kedekatan orang-orang di perusahaan kereta api untuk memperoleh diskon. Usahanya berhasil, bahkan lalu ia membeli gerbong-gerbong kereta api sendiri. Tidak hanya itu, ia juga membuat tong penyimpanan minyak sendiri. Dengan demikian, ia sukses menekan biaya usahanya.

Dengan kegigihan, kekerasan hati dan juga kekejaman dan kelicikan, Rockefeller terus mengembangkan bisnis minyaknya. Pada tahun 1870, ia membuat perusahaan kilang minyak pertamanya, Standard Works. Setelah menggabungkan Standard Works dan Excelsior Works, lahirlah perusahaan yang kelak menjadikannya kaya, Standard Oil.

Rockefeller juga bukan orang yang cepat puas. Ambisinya adalah menguasai seluruh negeri, dan hal itu membuatnya tertarik melirik industri baja yang dikuasai industrialis lainnya, Andrew Carnegie. Saya telah jelaskan kisah Rockefeller-Carnegie dalam tulisan sebelumnya. Intinya, dengan kenekatan dan keuletannya, Rockefeller bahkan mampu menghajar Carnegie di bidang baja, bidang yang dikuasainya. Rockefeller seolah mengajarkan bahwa ketamakan haruslah tiada batas, tidak tanggung-tanggung. Ia juga memberlakukan sistem pengelolaan usaha yang kini dikenal sebagai perwalian atau trust. Saya akan coba jelaskan mengenai trust dalam tulisan berikutnya.

Kekayaan Rockefeller yang tidak selalu ia dapati dengan cara yang lurus memang membuatnya memiliki banyak musuh. Banyak yang menganggap ketamakan membuatnya melakukan segala cara untuk menggulingkan kompetitornya, bahkan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika. Dikatakan dalam website History Channel, Rockefeller melakukan praktek-praktek seperti menyuap karyawan kompetitor untuk menjadi mata-matanya, membuat perjanjian rahasia, membajak karyawan kompetitor untuk bergabung dengan ancaman, dan lainnya. Ia dituduh mengumpulkan kekayaan dengan cara menghancurkan orang lain.

Presiden Amerika Serikat saat itu, Theodore ‘Teddy’ Roosevelt adalah seorang nasionalis yang sangat menentang praktek trust atau monopoli. Dimata Teddy, monopoli adalah praktek bisnis yang tidak sehat yang semata-mata hanya memperkaya sedikit orang, mengganggu dunia usaha, juga mengakibatkan upah buruh menjadi sangat rendah. Agak sulit menemukan sosok berani seperti Teddy di era sekarang.

Teddy memperkarakan Rockefeller ke pengadilan. Dan benar saja, Rockefeller kemudian dipaksa untuk melepas atau menjual sebagian dari usahanya tersebut. Sherman Act disahkan tahun 1880 oleh Kongres dalam rangka pelarangan monopoli. Setelah bertahun-tahun berkutat di litigasi, tahun 1911 Standard Oil terpecah menjadi 30 perusahaan baru.

Bagaimanapun, hal itu tidak menghalangi sepak terjang Rockefeller. Ia bahkan mencapai suatu hal yang melebihi banyak orang dalam hal menyumbang kekayaan. Kontribusi filantropi Rockefeller bahkan melebihi yang disumbangkan Carnegie. Jika industrialis baja itu total menyumbangkan 350 juta US Dollar, maka Rockefeller menyumbang 500 juta. Terlepas dari caranya membangun kerajaan korporasi, kekayaan yang ia sumbangkan sangat berharga bagi dunia medis dan pendidikan.

Bagaimana kita menilai sosok ini adalah tergantung dari perspektif mana kita memandang.